"Maaf Pak Ustadz, tapi prosedur tetap harus kami jalankan. Ada yang melapor dengan sangat meyakinkan..."
"Saya yang melapor!" seorang pria setengah baya bermuka masam menerobos kerumunan. Telunjuknya menuding tepat ke wajah Hamid. "Tidak pantas mantan pembunuh jadi imam! Ini penghinaan! Merusak kehormatan masjid kita yang suci!"
Bisik-bisik mulai terdengar. Beberapa jamaah mundur menjauh dari Hamid.
"Astaghfirullah," Pak Ustadz menggeleng sedih. Dia melangkah pelan mendekati si pelapor. "Wahai saudaraku, justru yang merusak kehormatan masjid adalah sikap kita yang tidak memberi kesempatan saudara kita untuk bertaubat. Bukankah Allah Maha Pengampun? Lihatlah tas besar yang kau curigai itu..."
Pak Ustadz membuka tas Hamid. Isinya? Mushaf Al-Quran dan buku-buku agama.
"Selama di penjara, Hamid tidak hanya menghafal Al-Quran, tapi juga belajar untuk mengajarkannya. Setiap hari dia membawa ini semua untuk mengajar anak-anak di musholla dekat pasar."
Suasana hening. Hamid menunduk dalam-dalam, air matanya menetes diam-diam membasahi sajadah.
"Mulai besok," Pak Ustadz menepuk pundak Hamid dengan hangat, suaranya bergetar penuh haru, "kamu tidak hanya mengajar mengaji di mushola pasar. Anak-anak masjid kita juga butuh guru yang hafal Al-Quran. Yang lebih penting lagi, mereka butuh teladan nyata tentang taubat dan pengampunan Allah."
Polisi akhirnya tersenyum lega dan pamit undur diri. Satu per satu jamaah mendekati Hamid, meminta maaf atas prasangka buruk mereka selama ini. Si pelapor? Dia yang pertama menjabat tangan Hamid dengan mata berkaca-kaca.
"Maafkan saya, Ustadz Hamid," ucapnya tulus.Â
Di sudut gang itu, sajadah lusuh Hamid masih tergelar. Saksi bisu perjalanan seorang hamba kembali ke jalan Tuhannya. Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Hamid bisa sujud syukur di dalam masjid, ditemani wangi sajadah dan lembutnya AC yang menyapu tubuh.