"Siapa yang bisa menggantikan?"
Hamid menunduk, tangannya gemetar. Hafalan Al-Quran masih melekat dalam ingatannya, tapi haruskah ia memberanikan diri?
"Maaf," Hamid memberanikan diri menghampiri kerumunan, "kalau diizinkan, saya bisa membantu."
Semua mata tertuju padanya. Ada yang menatap ragu, ada yang berbisik-bisik, tapi Pak Ustadz tua yang menjadi takmir masjid justru tersenyum.
"Kamu anak Ustadz Mahmud kan? Yang dulu sering imam di sini?"
Hamid mengangguk pelan.
"Alhamdulillah. Mari, masjid ini rumah Allah, terbuka untuk semua hambaNya."
Dengan langkah gemetar, Hamid maju ke mihrab. Ketika suaranya mengalunkan takbiratul ihram, beberapa jamaah terkesiap. Suara merdu yang dulu sering mereka rindukan kini hadir kembali. Ayat-ayat Al-Quran mengalir lancar dari lisannya, membuat suasana khusyuk luar biasa.
Usai shalat, beberapa orang mencoba mendekati Hamid dengan tatapan penuh selidik. Suara langkah sepatu boots yang berat memecah keheningan ketika dua orang polisi berseragam memasuki masjid dengan tergesa-gesa, keringat mengucur di dahi mereka.
"Kami mendapat laporan ada mantan narapidana mencurigakan di sekitar masjid," ujar salah satu polisi sambil mengatur nafas. "Katanya dia membawa tas besar yang mencurigakan."
"Tunggu sebentar!" Pak Ustadz tua yang rambutnya sudah memutih berdiri dengan tegap, suaranya lantang namun tenang. "Hamid baru saja mengimami kami. Bacaan Al-Qurannya begitu indah sampai membuat beberapa jamaah menangis khusyuk. Dia sudah berubah."