"sampai kapan?"
"sampai kapan, kamu seperti ini?" Dia terdengar lelah.
Aku mendongak seolah melawan langit, aku terus mengucapkan kata apapun yang keluar dari mulutku, tapi wajahnya makin tampak seperti anak kucing di dalam kardus di pinggir jalan di kala hujan lebat.
Terabaikan.
Tanpa sadar aku telah melukainya. Aku ingin bilang aku tidak sakit. Sama sekali tak satu pun organ tubuhku terasa sakit. Tapi entah kenapa aku tak bisa mengatakannya. Aku seolah terperangkap di tubuh tak bertuan ini.
"Baiklah." akhirnya aku putuskan.Â
Aku akan mengakhiri sakitku. Dan lelahnya. Hanya ada satu jalan untuk mewujudkannya.
---
Dunia.
Jeda.
Detak.
Hirup.
Rasaku.
Aku menoleh pada lukisan di dinding pucat di depanku. Puncak gunung dan lembah berwarna aneh, menatapku. Aku termangu. Mendalami arti dari lukisan abstrak yang pernah Dia pamerkan padaku dulu.
Betapa aku ingin sekali menyapa sinar dan menganggapnya sahabat. Aku ingin meraih tangannya dan berkata, "semuanya akan baik-baik saja."
Tiba-tiba wajah ibu kantin penjual es lemon itu memenuhi kepalaku.