Mohon tunggu...
Syah Jehan Annisa
Syah Jehan Annisa Mohon Tunggu... Lainnya - XI MIPA 1 - 31

Siswi SMAN 28 Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Cerpen: Asam

1 Desember 2020   18:14 Diperbarui: 1 Desember 2020   18:26 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"Sesak," jawabku pada akhirnya.

Matahari sudah berpulang. Rumah ini seperti tak mau diatur. Pintunya dibiarkan terbuka. Temboknya nyaris berupa kaca. Semuanya transparan. Kata Dia, ini supaya aku merasa sedang berada di luar ruangan. Dia telah membuat kamarku dengan sedemikian detil. Kukatakan ini seperti replika dunia. Begitu penuh cahaya yang menyilaukan mata, burung-burung berisik bergosip di pagi hari, harum bunga di pojokan tembok dan sampah bakar dari luar, masuk menusuk hidungku bercampur menjadi kolaborasi sempurna. Persis dunia. Dia memang jenius.

"Apa benar sesakit itu?" setelah hening yang cukup lama, pemuda itu bertanya lagi.

Aku memundurkan badanku, menyandar pada kursi. Aku pejamkan mata. Lalu membukanya kembali. Aku melakukannya berulang kali berharap rasa itu dapat memberiku sedikit waktu. Pemuda itu menatapku dengan mata damai, seperti tadi, masih setia menunggu jawaban. 

Ingin rasanya menjawab. Tapi, mulutku terasa kelu seolah semesta tidak mengizinkanku untuk membuka mulutku tentangnya.

Setiap hari, Dia mengelilingiku. Setiap aku butuh, Dia rentangkan tangan panjangnya. Setiap benakku terasa penuh, Dia menyelubungiku.

Dia tahu, aku sangat sangat mencintainya. Aku memelototinya ketika Dia sedang mengaduk bubur yang mengepulkan asap putih. Dia memajukan bibirnya, meniup sendok penuh bubur itu, lalu menyodorkannya ke dekat mulutku. Aku hanya ingin melebarkan mulutku, menerima semua yang Dia tawarkan, tapi tetap, tubuhku kaku seperti sebatang kayu. Dalam diriku, aku meronta ingin memeluknya dan tak sudi melepasnya lagi. Dan seperti biasa tubuhku tak mau menurut. Aku hanya dapat melihatnya. Tapi aku masih disini, Dia pasti tahu itu kan?

Aku ingin sekali mengadu padanya bahwa belenggu dengan rantai ke urat nadi dan memanjang ke tulang belakang itu telah memilihku. Aku tak bisa memilihku.

Pada akhirnya, yang bisa aku lakukan adalah memaksakan senyum dan pamit dari pemuda itu. Aku belum siap.

---

"Masih di sini?"

Bola mataku mencari asal suara itu serasa berenang di dalam api. 

"Aku? oh. Aku ... tentu saja! aku tak akan ke mana-mana, Sayang." 

Aku menjawab, tapi lagi-lagi Dia tidak dengar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun