Mohon tunggu...
Syah Jehan Annisa
Syah Jehan Annisa Mohon Tunggu... Lainnya - XI MIPA 1 - 31

Siswi SMAN 28 Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Cerpen: Asam

1 Desember 2020   18:14 Diperbarui: 1 Desember 2020   18:26 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"Se-asam itu kah harimu?"

Aku menoleh, menatap seorang pemuda dengan helm yang masih menutupi wajahnya.

"Maaf?" tanyaku. Pemuda itu melepas helmnya dan memajukan dagunya seolah menunjuk ke arah satu gelas jus lemon tanpa gula tanpa susu yang disodorkan ibu kantin padaku. Dia bertanya sambil cengengesan. Menatapku serupa anak kelinci dalam kandang harimau.

Mual tiba-tiba muncul, menjalar ke ulu hati, lalu menyengat seperti lebah.

... ahh, begitukah, batinku. 

Aku melengos tanpa sepatah kata. Pandanganku kabur dan pipiku mulai basah, rupanya mataku telah berkhianat. Buru-buru aku membayar jus lemonku dan pergi mencari tempat duduk.

Aku kadang rindu mentari. Saat malam hari, yang bernama 'senyap' tanpa bahasa tanpa suara suka menyapa dan kerap melahapku bulat-bulat. Dan saat itu terjadi, hanya ada aku dan gelap. Romantis, bukan? Aku yakin bila Dia tahu, Dia pasti cemburu berat. Ya, itupun jikalau Dia masih Dia yang ku kenal dulu. Aku merindukannya. Setiap saat.

Sejak Dia pergi, segalanya terasa semu. Seperti tidak pernah benar-benar berpijak di tanah. Seperti tidak benar-benar melihat dunia. Seperti tidak benar-benar menghirup dan menghembuskan napas. 

Semua terasa hambar, remang-remang, abu-abu. Tidak terang, gelap pun tidak. Tidak putih, hitam pun tidak. Tidak bahagia, sedih pun tidak. Seperti berada di pertengahan jalan yang dihimpit kenormalan dan ketidaknormalan. Maju tidak mampu, mundur pun tidak mau. Apa ini yang disebut titik keanomalian? Hidup dengan setengah asa. Setengah harapan. Setengah senyum. Lalu setengah bagian yang tersisa.... kerapuhan. 

Rasanya asam.

"Kamu tahu?"

"di luar begitu ramai, percayalah." 

Suara yang beberapa menit lalu ku dengar di depan kedai jus terdengar lagi, memaksaku untuk mengangkat wajah. Menatap seorang pemuda dengan helm yang ditenteng dan jus alpukat penuh dengan susu kental manis.

"Maksudnya?" Tanyaku tak mengerti. 

Pemuda itu dengan santainya duduk di depanku tanpa izin dan mulai mengelurkan suaranya lagi.

"Kau harus melihatnya."

"keluarlah,"

"lihatlah, anak-anak mengejar mentari itu." Lagi-lagi. Kalimat itu lagi. 

Kenapa lidah pemuda itu terasa manis, sama sepertinya.

"Dia suka melahapku," kataku. 

Pemuda itu menyipitkan kedua matanya seolah masih menunggu jawaban lain dariku.

Kadang dalamnya tanya membuatku meremas dada di mana hati berada, aku ingin mengadu tapi lidahku kelu. Mendadak sakit itu kembali. Entah di mana dan bagaimana, aku tak mau mencoba, karena aku yakin kamu pasti akan bertanya kenapa. Untuk kesekian kali. Aku muak.

"Sesak," jawabku pada akhirnya.

Matahari sudah berpulang. Rumah ini seperti tak mau diatur. Pintunya dibiarkan terbuka. Temboknya nyaris berupa kaca. Semuanya transparan. Kata Dia, ini supaya aku merasa sedang berada di luar ruangan. Dia telah membuat kamarku dengan sedemikian detil. Kukatakan ini seperti replika dunia. Begitu penuh cahaya yang menyilaukan mata, burung-burung berisik bergosip di pagi hari, harum bunga di pojokan tembok dan sampah bakar dari luar, masuk menusuk hidungku bercampur menjadi kolaborasi sempurna. Persis dunia. Dia memang jenius.

"Apa benar sesakit itu?" setelah hening yang cukup lama, pemuda itu bertanya lagi.

Aku memundurkan badanku, menyandar pada kursi. Aku pejamkan mata. Lalu membukanya kembali. Aku melakukannya berulang kali berharap rasa itu dapat memberiku sedikit waktu. Pemuda itu menatapku dengan mata damai, seperti tadi, masih setia menunggu jawaban. 

Ingin rasanya menjawab. Tapi, mulutku terasa kelu seolah semesta tidak mengizinkanku untuk membuka mulutku tentangnya.

Setiap hari, Dia mengelilingiku. Setiap aku butuh, Dia rentangkan tangan panjangnya. Setiap benakku terasa penuh, Dia menyelubungiku.

Dia tahu, aku sangat sangat mencintainya. Aku memelototinya ketika Dia sedang mengaduk bubur yang mengepulkan asap putih. Dia memajukan bibirnya, meniup sendok penuh bubur itu, lalu menyodorkannya ke dekat mulutku. Aku hanya ingin melebarkan mulutku, menerima semua yang Dia tawarkan, tapi tetap, tubuhku kaku seperti sebatang kayu. Dalam diriku, aku meronta ingin memeluknya dan tak sudi melepasnya lagi. Dan seperti biasa tubuhku tak mau menurut. Aku hanya dapat melihatnya. Tapi aku masih disini, Dia pasti tahu itu kan?

Aku ingin sekali mengadu padanya bahwa belenggu dengan rantai ke urat nadi dan memanjang ke tulang belakang itu telah memilihku. Aku tak bisa memilihku.

Pada akhirnya, yang bisa aku lakukan adalah memaksakan senyum dan pamit dari pemuda itu. Aku belum siap.

---

"Masih di sini?"

Bola mataku mencari asal suara itu serasa berenang di dalam api. 

"Aku? oh. Aku ... tentu saja! aku tak akan ke mana-mana, Sayang." 

Aku menjawab, tapi lagi-lagi Dia tidak dengar.

"sampai kapan?"
"sampai kapan, kamu seperti ini?" Dia terdengar lelah.

Aku mendongak seolah melawan langit, aku terus mengucapkan kata apapun yang keluar dari mulutku, tapi wajahnya makin tampak seperti anak kucing di dalam kardus di pinggir jalan di kala hujan lebat.

Terabaikan.

Tanpa sadar aku telah melukainya. Aku ingin bilang aku tidak sakit. Sama sekali tak satu pun organ tubuhku terasa sakit. Tapi entah kenapa aku tak bisa mengatakannya. Aku seolah terperangkap di tubuh tak bertuan ini.

"Baiklah." akhirnya aku putuskan. 

Aku akan mengakhiri sakitku. Dan lelahnya. Hanya ada satu jalan untuk mewujudkannya.

---

Dunia.
Jeda.
Detak.
Hirup.
Rasaku.

Aku menoleh pada lukisan di dinding pucat di depanku. Puncak gunung dan lembah berwarna aneh, menatapku. Aku termangu. Mendalami arti dari lukisan abstrak yang pernah Dia pamerkan padaku dulu.

Betapa aku ingin sekali menyapa sinar dan menganggapnya sahabat. Aku ingin meraih tangannya dan berkata, "semuanya akan baik-baik saja."

Tiba-tiba wajah ibu kantin penjual es lemon itu memenuhi kepalaku.

Aku butuh gula.

---

"Se-manis itu kah harimu?"

Aku menoleh, menatap seorang pemuda yang sudah terduga. Masih dengan helm yang menutupi wajahnya.

Namun, kali ini ku jawab pertanyaannya dengan senyum manis. 

"Bagaimana dengan harimu? Ku kira kau akan pingsan karena kadar gula dalam jus alpukatmu itu." candaku.

Pemuda itu tertawa dan melepas helmnya. 

"Hey, ini namanya jus alpukat sudah pasti pakai gula dan susu!" balasnya masih dengan suara tawa.

"Ya, tapi kadar gula dan susu mu terlihat tidak normal tahu!" balasku.

"Wah, lihat siapa yang sudah bahagia hari ini." ucapnya menggodaku. 

Kami tertawa lepas. 

Rasa manis tiba-tiba muncul, menjalar ke ulu hati, lalu menyengat seperti madu. Padahal pesanan jus alpukat extra gula dan susu milikku belum jadi.

... ahh, begitukah, batinku. 

Ya. Dia masih tersimpan di laci itu. Tapi, life must go on, bukan? Terkadang, kita memang harus menambahkan gula jika minuman kita terlalu asam. Karena pastinya kau tidak mau minumanmu asam. Dengar kataku, rasanya benar-benar tidak enak. Membuat mual.

Sama halnya dengan kehidupan. Harus seimbang. Ada asamnya, ada juga manisnya. 

Setidaknya, itulah yang pernah dikatakan pemuda berjus alpukat extra gula tiga sendok dan susu kental manis di depanku ini.

Ya, se-asam itu hidupku sebelum akhirnya aku putuskan untuk menambahkan gula ke dalamnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun