Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Salim, Penulis Cerita Pendek

25 April 2024   04:01 Diperbarui: 25 April 2024   05:03 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penulis cerita pendek. (Freepik/pressfoto)

Di salah satu kafe lama di Semarang, suasana sore itu terasa hangat. Salim, duduk di pojok ruangan, laptopnya terbuka lebar di hadapan. Di depannya, sepasang temannya, Anita dan Budi, yang datang berkunjung setelah bertahun-tahun tak bertemu.

"Salim, masih di sini rupanya! Kapan kamu menulis memoarmu, 'Di Usia 40, Aku Mulai Hidup'?" canda Budi sambil memesan kopi.

Salim tertawa, "Ah, Budi, kamu ini. Memoar? Saya baru saja mulai, kok. Masa sudah pensiun aja."

Anita tersenyum, "Tapi serius, Lim. Kamu sudah mulai menulis kan? Jangan sampai nanti kepala empat, masih bilang 'mau mulai' terus."

"Sudah dong, Nita. Malah, dua minggu lagi, saya mau mencoba sesuatu yang baru. Sebuah antologi cerita pendek," jawab Salim sambil menyesap kopi panasnya.

"Wah, serius nih?" tanya Anita, matanya berbinar penasaran.

"Serius. Tapi jujur, saya kadang ragu. Apa iya bisa ya?" Salim menghela nafas, matanya memandang jauh ke luar jendela.

Budi menepuk bahu Salim, "Lim, kapan kamu akan berhenti meragukan diri sendiri? Kamu punya bakat, pakai itu. Siapa tahu, nanti ada produser film yang kepincut."

Mereka bertiga tertawa.

"Bayangin aja, Salim. Naskahmu di layar lebar, semua orang tahu kisahmu. Itu kan hebat!" Anita menambahkan, antusias.

"Nah, itu dia. Saya pengin bisa buat sesuatu yang berarti. Bukan cuma buat saya, tapi mungkin bisa inspirasi orang lain yang merasa terlambat," Salim akhirnya berbagi harapannya.

Suasana menjadi sedikit hening, mereka semua tahu betapa mendalam keinginan Salim untuk berhasil.

"Tapi, sebelum itu, ada yang lebih penting nih," Budi tiba-tiba berkata serius.

Salim dan Anita memandangnya, bingung.

"Pertama-tama, kamu harus traktir kita malam ini! Sudah berhasil mulai menulis, harus dirayakan," canda Budi, mengembalikan suasana riang.

Salim tertawa, "Ya sudah, malam ini saya yang bayar. Tapi jangan sampai lupa, ya, doa dan dukungan kalian sangat saya butuhkan!"

"Selalu, Lim. Selalu," sahut Anita, mereka bertiga tersenyum lebar, berjanji akan selalu mendukung satu sama lain dalam mengejar mimpi-mimpi mereka.

***

Sebulan setelah pertemuan itu, Salim duduk di kamar kerjanya, dikelilingi oleh tumpukan buku dan catatan. Meski antusiasme awalnya membumbung tinggi, kini dia merasa seperti menghadapi tembok yang tak bisa dilewati. Cerita-cerita pendeknya seolah-olah mengambang di antara ide dan kenyataan, tak kunjung menemukan bentuk.

Suara ponselnya berdering, menginterupsi lamunannya. Itu Anita.

"Hei, Salim! Bagaimana naskahnya? Sudah berapa yang selesai?" tanya Anita ceria.

"Eh, Nita. Aku... aku sedikit terkendala, sebenarnya," Salim ragu-ragu.

"Kendala? Kendala apa, Lim? Katakan, mungkin aku bisa bantu," Anita langsung serius.

Salim menghela nafas, "Aku merasa seperti kehilangan arah, Nita. Setiap kali aku menulis, rasanya kata-katanya tak mampu mengungkapkan apa yang ingin aku sampaikan. Seperti ada yang kurang."

"Hmm, pernah dengar pepatah 'malu bertanya sesat di jalan'? Kenapa tidak coba minta masukan dari penulis lain? Aku kenal beberapa penulis di komunitas Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana, mereka pasti bisa memberi masukan yang berharga," usul Anita.

Salim terdiam, mempertimbangkan saran itu.

"Tapi aku malu, Nita. Mereka penulis hebat, dan aku hanya pemula," keluh Salim.

"Salim, justru itu. Tidak ada malu dalam belajar. Setiap penulis hebat pasti pernah di posisimu sekarang. Lagipula, kamu tidak pernah tahu jika tidak mencoba," Anita bersemangat.

"Kamu benar, Nita. Baiklah, aku akan mencoba. Terima kasih, ya. Kamu selalu tahu apa yang harus dikatakan," Salim tersenyum, merasa sedikit lega.

"Selalu siap membantu! Oh ya, kirimkan aku cerita yang sudah kamu tulis. Siapa tahu, aku bisa kasih saran juga," tawar Anita.

"Tentu, akan aku kirim sebentar lagi. Makasih banyak, Nita!"

Setelah menutup telepon, Salim merasa sedikit lebih terinspirasi. Ia membuka laptopnya, mengumpulkan naskah-naskah yang telah ditulis, dan memutuskan untuk mengirimkan beberapa kepada Anita. Mungkin dengan sedikit bantuan dan dorongan, ia bisa menemukan kembali jalannya.

Sementara itu, jauh di luar ekspektasinya, email yang akan dia kirimkan itu mungkin akan membuka pintu yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.

***

Beberapa hari setelah percakapan dengan Anita, Salim menerima email balasan dari beberapa anggota komunitas literasi yang telah membaca naskahnya. Komentar dan saran membanjiri kotak masuknya, beberapa penuh pujian, sementara yang lain memberikan kritik membangun yang sangat dibutuhkan.

Dengan semangat baru, Salim memulai revisi cerita-ceritanya. Malam demi malam, dia menulis dengan tekad yang belum pernah terasa sebelumnya. Semakin dia menulis, semakin dia memahami kekurangan dan kekuatan dalam gaya berceritanya.

Suatu sore, sebuah email tiba dari Anita yang membangkitkan semangatnya lebih lagi.

"Hei, Lim! Ada kabar gembira nih. Saya tunjukkan naskahmu pada teman yang produser film, dan dia tertarik dengan salah satu ceritamu. Bisa kita obrolkan lebih lanjut?"

Salim membaca email tersebut berkali-kali, tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Segera, dia menghubungi Anita melalui telepon.

"Benarkah ini, Nita? Sungguh, saya hampir tidak percaya," kata Salim, suaranya gemetar karena campuran gugup dan gembira.

"Serius, Lim! Dia suka banget dengan ceritamu yang 'Pagi Terakhir di Jalan Kenanga'. Katanya, ada kehangatan dan kedalaman emosional yang bisa dikembangkan menjadi film indie yang bagus," jelas Anita.

"Ini seperti mimpi, Nita. Terima kasih banyak. Tanpa dukunganmu, saya tidak tahu apakah ini akan terjadi," ucap Salim, rasa terima kasih mendalam terasa dalam setiap katanya.

"Hey, kita kan teman. Sudah seharusnya kita dukung satu sama lain. Sekarang, siapkan dirimu. Besok kita akan bertemu dengan produser itu. Siapkan penjelasan tentang ceritamu, ya. Ini kesempatan besar, Lim!" kata Anita semangat.

Malam itu, Salim tidak banyak tidur. Dia membuka lagi naskah yang akan dibahas, mencatat poin-poin penting, dan mempersiapkan diri untuk presentasi pertamanya di dunia film. Dia merasa seperti membuka lembaran baru dalam hidupnya, sebuah bab yang selama ini hanya bisa dia bayangkan.

Keesokan harinya, bertemu dengan produser tersebut, Salim menyampaikan visi ceritanya dengan penuh semangat. Produser itu terkesan, dan mereka segera memulai diskusi tentang langkah-langkah selanjutnya untuk mengadaptasi cerita tersebut ke layar lebar.

Seiring langkah keluar dari pertemuan itu, Salim merasakan secercah cahaya yang tak hanya menerangi jalan karirnya yang baru, tetapi juga menghangatkan hati yang selama ini menunggu kesempatan untuk brilian. Kini, ia tidak hanya mengejar ketinggalan; ia sedang memimpin dalam lomba yang baru saja dimulainya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun