"Nah, itu dia. Saya pengin bisa buat sesuatu yang berarti. Bukan cuma buat saya, tapi mungkin bisa inspirasi orang lain yang merasa terlambat," Salim akhirnya berbagi harapannya.
Suasana menjadi sedikit hening, mereka semua tahu betapa mendalam keinginan Salim untuk berhasil.
"Tapi, sebelum itu, ada yang lebih penting nih," Budi tiba-tiba berkata serius.
Salim dan Anita memandangnya, bingung.
"Pertama-tama, kamu harus traktir kita malam ini! Sudah berhasil mulai menulis, harus dirayakan," canda Budi, mengembalikan suasana riang.
Salim tertawa, "Ya sudah, malam ini saya yang bayar. Tapi jangan sampai lupa, ya, doa dan dukungan kalian sangat saya butuhkan!"
"Selalu, Lim. Selalu," sahut Anita, mereka bertiga tersenyum lebar, berjanji akan selalu mendukung satu sama lain dalam mengejar mimpi-mimpi mereka.
***
Sebulan setelah pertemuan itu, Salim duduk di kamar kerjanya, dikelilingi oleh tumpukan buku dan catatan. Meski antusiasme awalnya membumbung tinggi, kini dia merasa seperti menghadapi tembok yang tak bisa dilewati. Cerita-cerita pendeknya seolah-olah mengambang di antara ide dan kenyataan, tak kunjung menemukan bentuk.
Suara ponselnya berdering, menginterupsi lamunannya. Itu Anita.
"Hei, Salim! Bagaimana naskahnya? Sudah berapa yang selesai?" tanya Anita ceria.
"Eh, Nita. Aku... aku sedikit terkendala, sebenarnya," Salim ragu-ragu.