Mohon tunggu...
syafruddin muhtamar
syafruddin muhtamar Mohon Tunggu... Dosen - Esai dan Puisi

Menulis dan Mengajar

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mengeja Ujar Batin Syahriar Tato Dalam Episodenya 'Mengejar Tapak Allah'

15 Januari 2025   08:32 Diperbarui: 15 Januari 2025   09:22 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap disodori untuk 'membicarakan karya seorang sastrawan', saya selalu merasa 'berat'. Saya lebih menyukai sebuah karya sebagai santapan untuk 'kenimatan rohani' saja. Tanpa harus menilainya secara rasional-metodologi, untuk memberikan kesimpulan mengenai 'baik' atau 'kurang baik'nya karya tersebut, dan lain-lain.

Saya hanya penikmat tradisonal karya sastra. Sastra salah satunya, dapat menjadi sumber untuk mencari 'kebahagiaan jiwa primordial'. 

Ketika ketua IPMI menyodorkan "Mengejar Tapak Allah -- Siluet Cinta" karya Syahriar Tato, untuk dibaca dan 'dibincangkan', saya terpaku pada dua kata pada judul itu:  ALLAH dan Cinta. Tapi hatiku jatuh kepada, puisi-puisi yang di beri judul "Mengejar Tapak Allah".

Lalu pikiran saya bertanya: apakah ini puisi-puisi sufistik atau religius? Dan terbayang olehku, seketika masthnawi dan rubaiyat-nya Syekh Jalalunddin Rumi, yang sering dikomentari sebagai 'samudera kebijaksanaan yang tiada bertepi'. Diwan --nya Al-Hallaj, atau puisi-puisi cintanya Rhabiatul al-Adawiyah. Atau dalam sastra sufi melayu, Hamzah Fansuri, dll.

Maka tentu tidak mudah memberikan semacam 'penilaian' atas puisi-puisi yang dikategorikan sebagai puisi sufistik/religius itu. Menggali makna dibalik kata, kalimat, frase, dan diksi yang digunakan sang penyair sufi, membutuhkan persepktif mengenai apa yang disebut 'jalan spritual'.

Yang secara umum, biasanya penyair sufi adalah juga seorang 'pejalan spritual', yang kemudian mensastrakan 'kisah indah, getir dan pilu' perjalanan rohaninya. Sehingga puisi atau sastra dan media seni secara umum, menjadi sarana estetik mentransformasikan pengelaman rohani atau religius mereka.

Dan, sastra yang dihasilkan baik dalam bentuk sajak, puisi, pantun, maupun kisah-cerita, menjadi 'ujar-ujar' batin sang penyair. Dan 'mengejanya' dalam rangka memberi nilai kontekstual dan rasional, adalah sebuah usaha yang absurd, karena 'sifat absurditas' dari sastra yang lahir dari Rahim 'jalan spritual' itu sendiri.

Namun absurditas katakanlah dalam puisi sufistik, merupakan 'makanan sehat' bagi jiwa yang kering. Absurditas disini lebih tepat dimaknai sebagai 'hikmah tersembunyi dan tak terkatakan'.

Maka, untuk memulai 'mengeja' batin sang penyair dalam 'episode mengejar tapak Allah', dapat dimulai dengan suatu adigium/perspektif dunia sufistik, yang menyebut "awal agama adalah mengenal ALLAH".

Eksistensi Allah lebih dahulu dari agamaNya atau perintah SyariatNya.

Maka mengenal ALLAH melalui 'jalan spritual' adalah tujuan setiap syariat yang dibebankan kepada mahluk.

Yang umum kita pahami, bahwa 'Jalan spiritual' melewati syariat, tariqah, hakikat lalu makrifat. Menurut para ahli, 'perjalanan' itu dimuali dengan niat dan/atau himmah yang kuat, apakah berdasar pada cinta, harap atau juga rasa takut.

Melalui 'jalan' Cinta, Harap dan Takut

"Episode Mengejar Tapak Allah" membentangkan sebanyak 81 rangkaian bagian puisi. Yang jika berdasarkan 'teori jalan spiritual' tersebut, apakah setiap bentangan puisi-puisi ini adalah gambaran jalan cinta, jalan harap atau jalan rasa takut, sang penyair?

Sehingga, judul "Mengejar Tapak Allah' tergambar pada setiap bagian 'etape-etape perjalanan' sebagai suatu usaha estetik dari suatu niat/himmah untuk 'berlari' menuju 'tapak' Allah.

Kata 'mengejar' secara umum diartikan sebagai berlari, memburu atau berusaha dan berkeinginan keras. Maka 'mengejar dalam judul dapat ditafsirkan sebagai 'usaha atau keinginan keras untuk mendekat' kepada Allah melalui 'tapakNya'.

Kata 'tapak' juga multi tafsir menurut leksikonnya: dapat diartikan sebagai bidang tanah; kaki; bisa juga bekas sesuatu yang tertinggal. Maka 'tapak Allah' dalam judul dapat dimaknai secara langsung sebagi 'tanah allah', 'kaki allah' atau 'bekas yang tertinggal dari Allah'.

Nampaknya maksud sang penyair melalui judul "Mengejar Tapak Allah" dapat dimaknai, sedang berusaha dan berniat dalam kesungguhan yang dalam, untuk mendekat kepada Allah melalui tapakNya. Tafsir ini dapat dikonfirmasi melaui 2 bagian dalam puisi (P) panjangnya, awal  dan akhir. (P. no. 1 dan P. no. 81).

Kita mulai dari etape akhir dari episode 'perjalanan sang penyair' ketika sang ia menutup puisinya:

Sepasang kaki fanaku yang kerdil//Berlari melintasi ruang dan waktu//dengan tasbih ditangan erat tergenggam//berlari menyusur bentang fanaku//...//mengejar tapakmu Ya Rahman//kebatas kuasa malaikat dan waliullah//kebatas harapan ummatmu yang pilihan. (P. No. 81)

Setelah sang penyair memulainya dengan pengakuan penghambaan, sebagai mahluk yang tidak berdaya. Dan karenanya tidak menemukan jalan apapun, kecuali memenuhi panggilan untuk datang kepadaNya:

Ya Rabba'Arsy//Aku hanyalah debu sebesar zarra//Yang telah engkau panggil//Dengan isyarat bintang//tidak lain untuk bersujud ke tapakMu. (P. No. 1)

Untuk mengetahui 'tapak Allah" yang dimaksudkan penyair dalam judul, dan merupakan batas akhir dari perjalanan spritualnya dalam usaha mendekat kepada Allah, maka 'tapak Allah' dapat saja kita maknai sebagai, nama-nama Agung Allah SWT, yang banyak disebutkan sang penyair dalam panjang episode perjalanan batinnya: Ya Allah (rab arsy) (P. No. 1 dan 45); Ya Mutakabbir (Yang Maha Megah, yang memiliki kebesaran) (P. No. 3); Ya Kabir (P. No. 3); ya Rahman (P. No. 6); Ya Gaffar (P. No. 8); ya Rahim (P. No. 9); ya Khalid (P. No. 12); ya Mujib (P. No. 19); Ya Qayyum (P. No. 26); ya Hafiz (P. No. 27); ya Malik (P. No. 28); ya al -- Awal (P. No. 30); ya Ragib (P. No. 33 dan 34); ya Attawwab (P. No. 35); ya Muqaddim (P. No. 38).

Nama-nama Agung itulah menjadi 'tapak' bagi menyair melakukan episode perjalanan rohaninya untuk mendekat kepada Allah SWT. Dihadapan nama-nama itu sang penyair bersimpuh dalam cinta, dalam harap dan mungkin juga rasa takut: mengungkapkan 'keresahan jiwanya' dari apa yang telah meresahkannya dalam kehidupan.

Melalui nama-nama itu sang penyair menyadarkan batinnya yang rapuh, untuk meraih energi batin sejati, dengan berkata:

Aku menggenangi batinku dengan 99 namaMu//menyebut satu persatu asmaMu//diatas gebalan sajadah putihMu//sambil menyerap energy fajar//yang diselimuti embun pagi//hanya kepadaMu ya Allah kami bersujud. (P. No. 13)

Ada keluhan menarik sang penyair di tengah episode perjalanan rohaninya ini, yang menggambarkan betapa sang penyair dapat saja terjebak olehnya. Bahkan pada umumnya manusia yang hendak melakukan perjalanan rohani, dan sangat mengkhawatirkan jiwa, sang penyair menulis:

Ya Allah//Di dalam kegelapan//Aku melihat iblis//Tengah memasang Jebakan//bagi langkah-langkahku//Perangkap bagi siapapun. (P. No. 40)

Dalam tradisi sufistik, perjalanan rohani adalah perjalanan 'menuju Cahaya' dan tentu dalam prosesnya sang penempuh jalan (salik), dia harus melewati 'tahap-tahap kegelapan'. Terminologi sufi menyebut, nafs/ego adalah kegelapan, disanalah iblis ini memainkan peranannya dalam jebakan yang sedemikian rupa, hingga tidak mudah untuk lolos darinya, tanpa melalui suatu 'pertolongan keberkahan' dalam perjalanan itu.

Namun jika, nafs telah dilampaui, sejak dari nafs al-ammarah, nafs lamawaa, hingga ketahap akhir nafs al mutmainnah, maka olehNya, disibaklah secara perlahan "cahaya' yang menjadi tujuan utama perjalanan itu. Oleh sebagian orang menyebut, pada tahap itulah, ada "pertemuan denganNya". 'Pertemuan' dengan Allah SWT.

Dalam episode perjalanan spiritual "Mengejar Tapak Allah" ini, sang penyair juga 'memberi kesan atau isyarat' telah 'tiba' pada tahap 'perjumpaan', sebagaimana digambarkannya dalam bagian akhir puisi, menjelang ditutup, sang penyair berujar:

Diketika kululuh//dikedalaman dekap pasrah nuraniku//Diketika ubunku dingin//menyentuh padang ilalang putih//Diketika seribu malam//seribu bintang bertabur cinta// Diketika itu kutemukan Engkau// ya Allah ya Rabbi// ... //Kupeluk Engkau ya Rahman//dan peluklah aku//Aku milikmu//dalam fana dan baqaku. (P. No. 80)

Pentutup

Rangkaian puisi-puisi dalam "Mengejar Tapak Allah" karya Syahriar Tato, meskipun tidak dimaksudkan sebagai suatu perjalanan rohani secara 'kronologis', secara keseluruhan dapat dikatakan pusi-puisi yang termuat, sebagai 'puisi zikir'. Mengingat banyaknya 'nama-nama Agung Allah SWT' yang disebutkan, dan menjadi awal dan akhir dari 'hasrat batin penyairnya', maka usaha estetik ini adalah sebuah 'ritual zikir' dalam bahasa puitik.

Nama-nama agung asmaulhusna yang disebutkan, sekaligus menjadi 'muatan nilai' paling fundamental dari puisi-puisi yang disajikan. Karena nama itulah, sesungguhnya yang diperlukan secara fitrawi dari jiwa primordial manusia, sebagai 'debu sebiji zarra' yang disebutkan penyairnya.

Nama-nama itu menjadi semacam 'asupan gizi paling lezat' dari jiwa kita yang kerontang dari 'sejuknya titik-titik hujan surgawi'.

Penyair sudah menyuguhkan kepada pembaca sebuah 'tawaran nilai' paling angun dalam pusi-pisinya ini.

Mengenai absurditas 'perjumpaan' penyair dalam "Mengejar Tapak Allah" nya ini. Adalah sisi lain yang mugkin 'tetap bersoal', dalam pengertian 'perjumaan hakiki', sebagai buah perjalanan rohani, yang bersifat 'makrifat'.

Maka, biarlah hal tersebut, menjadi milik sang penyair, dan/atau milik pribadi-pribadi yang 'menempu jalan rohani' dalam kehidupannya.

SM. 9/1/2025

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun