Setiap disodori untuk 'membicarakan karya seorang sastrawan', saya selalu merasa 'berat'. Saya lebih menyukai sebuah karya sebagai santapan untuk 'kenimatan rohani' saja. Tanpa harus menilainya secara rasional-metodologi, untuk memberikan kesimpulan mengenai 'baik' atau 'kurang baik'nya karya tersebut, dan lain-lain.
Saya hanya penikmat tradisonal karya sastra. Sastra salah satunya, dapat menjadi sumber untuk mencari 'kebahagiaan jiwa primordial'.Â
Ketika ketua IPMI menyodorkan "Mengejar Tapak Allah -- Siluet Cinta" karya Syahriar Tato, untuk dibaca dan 'dibincangkan', saya terpaku pada dua kata pada judul itu: Â ALLAH dan Cinta. Tapi hatiku jatuh kepada, puisi-puisi yang di beri judul "Mengejar Tapak Allah".
Lalu pikiran saya bertanya: apakah ini puisi-puisi sufistik atau religius? Dan terbayang olehku, seketika masthnawi dan rubaiyat-nya Syekh Jalalunddin Rumi, yang sering dikomentari sebagai 'samudera kebijaksanaan yang tiada bertepi'. Diwan --nya Al-Hallaj, atau puisi-puisi cintanya Rhabiatul al-Adawiyah. Atau dalam sastra sufi melayu, Hamzah Fansuri, dll.
Maka tentu tidak mudah memberikan semacam 'penilaian' atas puisi-puisi yang dikategorikan sebagai puisi sufistik/religius itu. Menggali makna dibalik kata, kalimat, frase, dan diksi yang digunakan sang penyair sufi, membutuhkan persepktif mengenai apa yang disebut 'jalan spritual'.
Yang secara umum, biasanya penyair sufi adalah juga seorang 'pejalan spritual', yang kemudian mensastrakan 'kisah indah, getir dan pilu' perjalanan rohaninya. Sehingga puisi atau sastra dan media seni secara umum, menjadi sarana estetik mentransformasikan pengelaman rohani atau religius mereka.
Dan, sastra yang dihasilkan baik dalam bentuk sajak, puisi, pantun, maupun kisah-cerita, menjadi 'ujar-ujar' batin sang penyair. Dan 'mengejanya' dalam rangka memberi nilai kontekstual dan rasional, adalah sebuah usaha yang absurd, karena 'sifat absurditas' dari sastra yang lahir dari Rahim 'jalan spritual' itu sendiri.
Namun absurditas katakanlah dalam puisi sufistik, merupakan 'makanan sehat' bagi jiwa yang kering. Absurditas disini lebih tepat dimaknai sebagai 'hikmah tersembunyi dan tak terkatakan'.
Maka, untuk memulai 'mengeja' batin sang penyair dalam 'episode mengejar tapak Allah', dapat dimulai dengan suatu adigium/perspektif dunia sufistik, yang menyebut "awal agama adalah mengenal ALLAH".
Eksistensi Allah lebih dahulu dari agamaNya atau perintah SyariatNya.