Ya Rabba'Arsy//Aku hanyalah debu sebesar zarra//Yang telah engkau panggil//Dengan isyarat bintang//tidak lain untuk bersujud ke tapakMu. (P. No. 1)
Untuk mengetahui 'tapak Allah" yang dimaksudkan penyair dalam judul, dan merupakan batas akhir dari perjalanan spritualnya dalam usaha mendekat kepada Allah, maka 'tapak Allah' dapat saja kita maknai sebagai, nama-nama Agung Allah SWT, yang banyak disebutkan sang penyair dalam panjang episode perjalanan batinnya: Ya Allah (rab arsy) (P. No. 1 dan 45); Ya Mutakabbir (Yang Maha Megah, yang memiliki kebesaran) (P. No. 3); Ya Kabir (P. No. 3); ya Rahman (P. No. 6); Ya Gaffar (P. No. 8); ya Rahim (P. No. 9); ya Khalid (P. No. 12); ya Mujib (P. No. 19); Ya Qayyum (P. No. 26); ya Hafiz (P. No. 27); ya Malik (P. No. 28); ya al -- Awal (P. No. 30); ya Ragib (P. No. 33 dan 34); ya Attawwab (P. No. 35); ya Muqaddim (P. No. 38).
Nama-nama Agung itulah menjadi 'tapak' bagi menyair melakukan episode perjalanan rohaninya untuk mendekat kepada Allah SWT. Dihadapan nama-nama itu sang penyair bersimpuh dalam cinta, dalam harap dan mungkin juga rasa takut: mengungkapkan 'keresahan jiwanya' dari apa yang telah meresahkannya dalam kehidupan.
Melalui nama-nama itu sang penyair menyadarkan batinnya yang rapuh, untuk meraih energi batin sejati, dengan berkata:
Aku menggenangi batinku dengan 99 namaMu//menyebut satu persatu asmaMu//diatas gebalan sajadah putihMu//sambil menyerap energy fajar//yang diselimuti embun pagi//hanya kepadaMu ya Allah kami bersujud. (P. No. 13)
Ada keluhan menarik sang penyair di tengah episode perjalanan rohaninya ini, yang menggambarkan betapa sang penyair dapat saja terjebak olehnya. Bahkan pada umumnya manusia yang hendak melakukan perjalanan rohani, dan sangat mengkhawatirkan jiwa, sang penyair menulis:
Ya Allah//Di dalam kegelapan//Aku melihat iblis//Tengah memasang Jebakan//bagi langkah-langkahku//Perangkap bagi siapapun. (P. No. 40)
Dalam tradisi sufistik, perjalanan rohani adalah perjalanan 'menuju Cahaya' dan tentu dalam prosesnya sang penempuh jalan (salik), dia harus melewati 'tahap-tahap kegelapan'. Terminologi sufi menyebut, nafs/ego adalah kegelapan, disanalah iblis ini memainkan peranannya dalam jebakan yang sedemikian rupa, hingga tidak mudah untuk lolos darinya, tanpa melalui suatu 'pertolongan keberkahan' dalam perjalanan itu.
Namun jika, nafs telah dilampaui, sejak dari nafs al-ammarah, nafs lamawaa, hingga ketahap akhir nafs al mutmainnah, maka olehNya, disibaklah secara perlahan "cahaya' yang menjadi tujuan utama perjalanan itu. Oleh sebagian orang menyebut, pada tahap itulah, ada "pertemuan denganNya". 'Pertemuan' dengan Allah SWT.
Dalam episode perjalanan spiritual "Mengejar Tapak Allah" ini, sang penyair juga 'memberi kesan atau isyarat' telah 'tiba' pada tahap 'perjumpaan', sebagaimana digambarkannya dalam bagian akhir puisi, menjelang ditutup, sang penyair berujar:
Diketika kululuh//dikedalaman dekap pasrah nuraniku//Diketika ubunku dingin//menyentuh padang ilalang putih//Diketika seribu malam//seribu bintang bertabur cinta// Diketika itu kutemukan Engkau// ya Allah ya Rabbi// ... //Kupeluk Engkau ya Rahman//dan peluklah aku//Aku milikmu//dalam fana dan baqaku. (P. No. 80)