Meski itu sesaat.
Puisi dan doa menyatu dalam jemarinya menelan rindu terbakar di musim kemarau zaman yang berjalan  tak perduli. Keluh dan peluh telah terbuka lembaran-lembarannya dari relung jiwa berwarna bening air mata bayi. Kini tinggal menunggu kepak sayab Jibril pada musim yang akan tiba mengantar masa depan itu menjadi nyata di pelupuk setiap mata.
Kepada yang dijanjikan kedatangannya ia meletakkan tangan harapan. Kepada al-Mahdi, sang penolong zaman asanya disimpul kuat dari seluruh kesia-siaan yang menyelimuti ummat Muhammad akhir zaman. Zaman huru hara, asap hitam bercampur debu dan gemuruh desing peluru di medan perang, penyakit dan bencana.
Setiap musim tidak lagi datang membawa serta rahmatNYa, namun menggiring hukumanNya bagi setiap tetes dosa yang telah menghimpun menjadi samudera.
Sumber: Syafruddin (Shaff) Muhtamar, Nyanyi Lirih 1001 Malam (kumpulan puisi), Penerbit Pustaka Refleksi, 2008. Puisi ini telah mengalami pengeditan ulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H