GETAR SYAIR YANG BERDOA
Jemari pena menari dipermukaan gelombang meriak dielus bulan semi yang baru tiba, menuliskan sepotong puisi :
Sekarang habislah masa nostalgia
Burung-burung terbang bergerombol meninggalkan
Musim panas di jantung padang pasir
Kejayaan jazirah bulan sabit
Kembali harus tumbuh disetiap kalbu
Negeri-negeri yang sulbinya matahari memancar
Cahaya Muhammad
Cericit burung-burung zimugh akan mengantar
Badai gurun berlalu melintasi musim
Yang membeku di punggung unta
Anak-anak sungai yang kering di pundak bukit-bukit
Meliuk resah di pinggul sejarah yang pernah ada
Menunggu air hujan pengorbanan tangan-tangan
Yang menggenggam kitab suci
Padang-padang kerontang yang ditinggalkan penghuni surga
Rindu ditumbuhi pohon-pohon pengetahuan
Yang membebaskan manusia dari penjara kemunafikan
.....
Goa hira menunggu kelahiran baru
Di pusara Mustafa kelak terpatri namanya
Bayi-bayi  yang lahir dari Ka'bah Ibrahim.
Jemari hatinya bergetar di atas gelombang jiwa yang mendidih, melukis lirih sebait doa :
Pada keagunganMu kuserahkan
Bunda semesta untuk kau sucikan rahimnya
Peluh duka telah bercampur darah penantian
Dalam kelambu harapan terlilit keluh kegamangan
Jemaah Muhammad tercerai berai butir-butir tasbihnya
Disetiap sudut sejarah yang sepi
Pada kebesaranMu kuletakkan
Sejumput cinta yang masih tersisa
Setelah sekian musim awan hitam
Merampasnya di malam buta
Biji-biji keringat menggumpal memeluk bisu
Setiap ubun-ubun yang menangis
Menyusun batu-batu nostalgia masa silam
Membentuk piramida suci tempat manusia
Membasuh kusam wajahnya dengan embun zam-zam
Ilahi
Kabulkan rintih suara dari bibir yang bergetar ini
Sebab gemuruh Murkamu selalu luluh
Di hadapan Kasihmu  yang melintas
Meski itu sesaat.
Puisi dan doa menyatu dalam jemarinya menelan rindu terbakar di musim kemarau zaman yang berjalan  tak perduli. Keluh dan peluh telah terbuka lembaran-lembarannya dari relung jiwa berwarna bening air mata bayi. Kini tinggal menunggu kepak sayab Jibril pada musim yang akan tiba mengantar masa depan itu menjadi nyata di pelupuk setiap mata.
Kepada yang dijanjikan kedatangannya ia meletakkan tangan harapan. Kepada al-Mahdi, sang penolong zaman asanya disimpul kuat dari seluruh kesia-siaan yang menyelimuti ummat Muhammad akhir zaman. Zaman huru hara, asap hitam bercampur debu dan gemuruh desing peluru di medan perang, penyakit dan bencana.
Setiap musim tidak lagi datang membawa serta rahmatNYa, namun menggiring hukumanNya bagi setiap tetes dosa yang telah menghimpun menjadi samudera.
Sumber: Syafruddin (Shaff) Muhtamar, Nyanyi Lirih 1001 Malam (kumpulan puisi), Penerbit Pustaka Refleksi, 2008. Puisi ini telah mengalami pengeditan ulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H