”Iya. Aku juga malas kalau sudah ngomong soal agama. Aku milih agnostik.” Ia membalas.
”Oh syukurlah.” Saya senang.
”Tapi aku gak bisa bebas mengungkapkan pendirianku ini lho..” Laki-laki itu melanjutkan.
”Tentu saja.” Saya membalas cepat. Teringat beberapa perilaku konyol yang akan dilakukan kelompok tertentu yang sama sekali tak punya selera humor pada negeri yang konon alangkah lucunya ini.
”Ada alasan lain. Aku anggota kelompok underground. Itu sebabnya aku gak bisa bebas ungkap identitas aku,” ia melanjutkan pengakuan.
”Kelompok apa? Ada hubungannya dengan agama?” Syaraf ingin tau saya mulai tersengat.
”Begitulah.” Jawabannya mengambang.
Bayangan saya bahwa laki-laki ini termasuk dalam kelompok para lelaki yang suka beridentitas ganda demi mencari kesenangan diluar rumah dan keluarganya mulai memudar. Lagipula gaya bicaranya cukup sopan untuk bisa dikategorikan sebagai laki-laki yang suka berlaku iseng.
”Lho tadi katanya agnostik?” Saya bertanya lagi.
”Iya. Itu sebelum sekarang.”
Ia lalu bercerita tentang pecarian jati diri yang telah dilaluinya. Diselingi bombardir pertanyaan saya yang berlaku seperti seorang detektif investigasi. Tentang masa remajanya yang labil (ababil? :)) hingga terpikat pada kelompok pengajian di satu daerah. Sumpah setianya pada kelompok itu, aliran dana yang diperoleh, aksi-aksi kekerasan yang dilakukan hingga tujuan akhir dari perjuangan kelompok tersebut. Persis seperti kisah-kisah teror dan aksi jihad yang dilakukan para kelompok garis keras.