Saya mengikuti petunjuknya. Membawa batangan hio yang telah dibakar dengan dua tangan tertangkup di depan dada. Asap tipis mengawang di udara. Saya menghampiri meja-meja altar dengan lilin-lilin besar tegak di kana kiri meja. Patung-patung budha bertubuh tambun dengan mimik lucu terduduk di hadapan meja bersama sebuah baskom kuningan besar berisi abu tempat menancapkan batangan hio.
Saya membagi hio di genggaman tiga-tiga. Merapal beberapa kalimat sakti. Membungkukkan badan tiga kali. Menancapkan tiga batang hio pada baskom besar berisi abu tempat beberapa hio lain telah tertancap. Membayangkan adegan-adegan dalam film-film Cina.
“Mau diramal?” Si penjaga kembali bertanya.
“Eeemmm… liat yang lain dulu deh..” Saya ragu-ragu. Meski penasaran juga.
Seorang teman yang selesai melakukan ritual yang sama tanpa ragu berkata:
“Saya mau, Koh, diramal..”
“Sini..” si penjaga tak kalah semangat. “Mau doa sendiri atau didoain?”
“Didoain, saya gak tau bacaannya..”
“Sebutin nama, umur.. terus lagi punya masalah apa biar dibantu jalan kluarnya sama Dewi Kwan Im.”
“Diomongin, apa dalam hati aja?” Teman saya bertanya ragu.
“Diomongin aja.” Si penjaga menjelaskan.