Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Jembatan Biru, di Pagi Hari yang Syahdu

19 Juli 2024   11:29 Diperbarui: 19 Juli 2024   16:06 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tarif perahu (dokumen pribadi)

Tarif perahu (dokumen pribadi)
Tarif perahu (dokumen pribadi)

Pemandangan Eksotik

Memasuki Jembatan Biru yang memiliki lebar sekitar 2 meter itu, langsung diterpa angin rawa yang sejuk.  Bau tanah rawa yang sedikit amis tercium sangat tajam.  Kalau misal kita tidak bisa membau bauan itu, mungkin kita sedang terserang covid-19 yang membuat panca indra pembauan tidak berfungsi hehehe...

Menengok ke sebelah timur dapat dilihat kampung Cikal dan Jembatan Tuntang yang tidak pernah berhenti hilir mudik kendaraan ke arah Solo atau Semarang.  Tanaman padi di tanah gambut tumbuh menghijau.  Karamba-karamba didirikan di pinggir rawa.  Nelayan dengan menggunakan perahu bermesin kecil, beberapa hilir mudik melewati bawah Jembatan Biru dari timur ke barat dan sebaliknya.

Menengok ke sebelah barat dapat dilihat air Rawa Pening yang menghampar.  Beberapa tumpukan tanaman eceng gondok di tengah rawa.  Nampaknya hasil dari pekerjaan pengumpulan enceng gondok atau bengok ini sebagai bagian pekerjaan pembersihan eceng gondok dari Rawa Pening ini.

Gugusan Gunung Merbabu, Gunung Andong, Gunung Telomoyo yang berupa silhuet biru kehitaman seolah menatap air Rawa Pening yang tenang.  Para pemancing ikan yang menggunakan branjang angkat di atas perahu yang sedang berlabuh, bersiul dengan lagunya Didi Kempot yang berjudul "Layang Kangen".  Saya hafal lagu itu,"Layangmu wis tak tampa wingi kuwi, wis tak waca apa kareping atimu..."  Ah, betapa indahnya hidup jika setiap orang mengerjakan pekerjaannya dengan hati gembira.

Para pencari ikan dengan branjang (dokumen pribadi)
Para pencari ikan dengan branjang (dokumen pribadi)

Cerita Horor Melihat Banaspati

Pada jembatan agak ujung, saya bertemu dan ngobrol dengan seorang anak muda yang sedang menggunakan branjang angkat atau ancho ini.  Anak ini masih usia berkisar 16 tahun.  Dia putus sekolah sejak kelas 2 SMP. Mengapa tidak sekolah? Saya bertanya.  "Saya malas sekolah pak," jawabnya sambil sesekali mengungkit dan kembali mencelupkan jala branjangnya saat tidak mendapatkan ikan yang ia harapkan.

Saya bertanya perihal tanggapan orang tuanya atas keputusan anak muda ini tidak mau sekolah.  Orang tuanya yang adalah nelayan dikatakan oleh anak muda itu tidak marah, terserah pada keputusan anak muda itu.  Anak muda itu mempunyai seorang kakak laki-laki.  Menurutnya, setelah kakaknya bosan kuliah di Bandung, pulang ke rumah dan saat ini bekerja di sebuah perusahaan jamu yang berada di Kabupaten Semarang.  Terbetik dalam hati saya, bagaimana kalau anak muda itu mengambil pendidikan dengan kejar paket?  Bukankah pendidikan itu sangat penting, khususnya bagi anak muda untuk mempersiapkan masa depannya?

Tempat parkir mobil di halaman warung makan (dokumen pribadi) 
Tempat parkir mobil di halaman warung makan (dokumen pribadi) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun