Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Jembatan Biru, di Pagi Hari yang Syahdu

19 Juli 2024   11:29 Diperbarui: 19 Juli 2024   16:06 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jembatan Biru bertatapan gugusan gunung yang membiru (dokumen pribadi)

Jembatan Biru, di Pagi Hari Sangat Syahdu

Oleh: Suyito Basuki

Sedianya pagi ini hanya mau pindah tempat lakukan jalan sehat untuk bakar kalori.  Biasanya, kalau lagi sedang rajin, maka lokasi yang sering dan pernah menjadi tempat jalan sehat adalah Lapangan Tambakboyo, jalan masuk Warung Makan Kampung Rawa, jalan beton dekat Benteng Pendhem dan tempat parkir Goa Maria Kerep.  Dari lokasi tempat tinggal kami Tambakboyo Ambarawa, tempat-tempat yang saya sebut di atas berjarak 0,5-2 kilometer saja. 

Biasanya jalan sehat pun saya lakukan tidak menggunakan waktu yang lama.  Setelah mengantar istri ke sekolah, tugas mengajar di SMA Negeri 1 Ambarawa, paling butuh sekitar 30-60 menit untuk jalan sehat itu.  Jalan sehat yang menyegarkan tubuh, sedikit berkeringat, membuat semangat sesampai rumah mengerjakan jadwal rutin, menulis artikel untuk Kompasiana, membuat renungan harian bahasa Jawa dan mempersiapkan bahan kotbah.  Oh ya ada rencana menulis buku Tafsir Kitab Amsal dan menyiapkan penulisan sejarah sebuah gereja, karena ada rekan yang memintanya serta aktifitas-aktifitas ringan lainnya.

Pagi ini pilihan jatuh ke lokasi Jembatan Biru.  Sekali menyelam minum air, karena saya sedang lakukan perjalanan dari Ambarawa mau ke Pabelan, daerah yang masuk Kabupaten Semarang, berhimpitan dengan Kodya Salatiga.  Rencana mau menengok anak yang kuliah di UKSW yang semalam mengeluh kurang enak badan.  Perjalanan motor pagi itu lewat jalan alternatif ke arah Tuntang, dimana melewati Jembatan Biru.

 

Dulu Sempat Ramai

Jembatan Biru terletak di Desa Sumurup Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang.  Desa Sumurup adalah desa yang terletak di pinggir Rawa Pening.  Mengapa dinamakan Jembatan Biru?  Hal ini disesuaikan jembatan yang dicat dengan menggunakan warna biru.  Warna biru itu sudah kusam.  Kata istri saya, dulu Jembatan Biru ini ramai dikunjungi oleh wisatawan lokal, berfoto ria dengan latar belakang pemandangan Rawa Pening yang menghampar luas sejauh mata memandang.

Masyarakat Desa Sumurup nampaknya menyadari bahwa keunikan daerah mereka akan dapat mendatangkan rejeki yang lumayan.  Oleh karena itu jalan masuk ke Jembatan Biru dibangun aspal hotmix, luas dan ada sarana parkir yang dibangun untuk motor. Untuk parkir mobil bisa di halaman rumah makan yang dibangun di depan jalan masuk Jembatan Biru.

Wisata rawa adalah yang coba dikembangkan masyarakat Desa Sumurup ini.  Oleh karena itu, selain kulinerannya dengan andalan menu masakan ikan rawa, juga menyusuri Rawa Pening dengan perahu mereka tawarkan.  Oleh karenanya disediakan perahu dengan kapasitas maksimal 6 orang untuk mengelilingi Rawa Pening.  Untuk bagi pasangan yang mau menyewa perahu untuk pre wedding, dikenakan tarif tersendiri.

Tarif perahu (dokumen pribadi)
Tarif perahu (dokumen pribadi)

Pemandangan Eksotik

Memasuki Jembatan Biru yang memiliki lebar sekitar 2 meter itu, langsung diterpa angin rawa yang sejuk.  Bau tanah rawa yang sedikit amis tercium sangat tajam.  Kalau misal kita tidak bisa membau bauan itu, mungkin kita sedang terserang covid-19 yang membuat panca indra pembauan tidak berfungsi hehehe...

Menengok ke sebelah timur dapat dilihat kampung Cikal dan Jembatan Tuntang yang tidak pernah berhenti hilir mudik kendaraan ke arah Solo atau Semarang.  Tanaman padi di tanah gambut tumbuh menghijau.  Karamba-karamba didirikan di pinggir rawa.  Nelayan dengan menggunakan perahu bermesin kecil, beberapa hilir mudik melewati bawah Jembatan Biru dari timur ke barat dan sebaliknya.

Menengok ke sebelah barat dapat dilihat air Rawa Pening yang menghampar.  Beberapa tumpukan tanaman eceng gondok di tengah rawa.  Nampaknya hasil dari pekerjaan pengumpulan enceng gondok atau bengok ini sebagai bagian pekerjaan pembersihan eceng gondok dari Rawa Pening ini.

Gugusan Gunung Merbabu, Gunung Andong, Gunung Telomoyo yang berupa silhuet biru kehitaman seolah menatap air Rawa Pening yang tenang.  Para pemancing ikan yang menggunakan branjang angkat di atas perahu yang sedang berlabuh, bersiul dengan lagunya Didi Kempot yang berjudul "Layang Kangen".  Saya hafal lagu itu,"Layangmu wis tak tampa wingi kuwi, wis tak waca apa kareping atimu..."  Ah, betapa indahnya hidup jika setiap orang mengerjakan pekerjaannya dengan hati gembira.

Para pencari ikan dengan branjang (dokumen pribadi)
Para pencari ikan dengan branjang (dokumen pribadi)

Cerita Horor Melihat Banaspati

Pada jembatan agak ujung, saya bertemu dan ngobrol dengan seorang anak muda yang sedang menggunakan branjang angkat atau ancho ini.  Anak ini masih usia berkisar 16 tahun.  Dia putus sekolah sejak kelas 2 SMP. Mengapa tidak sekolah? Saya bertanya.  "Saya malas sekolah pak," jawabnya sambil sesekali mengungkit dan kembali mencelupkan jala branjangnya saat tidak mendapatkan ikan yang ia harapkan.

Saya bertanya perihal tanggapan orang tuanya atas keputusan anak muda ini tidak mau sekolah.  Orang tuanya yang adalah nelayan dikatakan oleh anak muda itu tidak marah, terserah pada keputusan anak muda itu.  Anak muda itu mempunyai seorang kakak laki-laki.  Menurutnya, setelah kakaknya bosan kuliah di Bandung, pulang ke rumah dan saat ini bekerja di sebuah perusahaan jamu yang berada di Kabupaten Semarang.  Terbetik dalam hati saya, bagaimana kalau anak muda itu mengambil pendidikan dengan kejar paket?  Bukankah pendidikan itu sangat penting, khususnya bagi anak muda untuk mempersiapkan masa depannya?

Tempat parkir mobil di halaman warung makan (dokumen pribadi) 
Tempat parkir mobil di halaman warung makan (dokumen pribadi) 

Sudah setahun ini dia mencari ikan.  Katanya penghasilannya lumayan.  Jika hari baik, dia bisa pulang membawa uang Rp. 100.000.  Pekerjaan itu dilakukannya seharian.  Kadang jika cuaca bagus, dia akan mencari ikan hingga malam hari.

Pernah menjumpai hal yang mistis?  Dia mengatakan pernah melihat sebuah penampakan di pinggir Rawa Pening, di kebun pisang dekat kampungnya, Cikal.  Penampakan seperti apa? Banaspati katanya.  Banaspati menurut anak muda itu berwujud  bola api yang sebentar kelihatan, sebentar hilang.  Tidak hanya dia sendiri, tetapi dua orang rekannya yang tengah bersama mencari ikan dengan branjang juga melihatnya.  Tidak merasa takut? Saya bertanya.  Tidak, katanya.

Hmmm...Jembatan Biru...angin rawa menerpa syahdu.  Berbagai cerita membuat jalan sehat terhenti sesaat, hati tiba-tiba mengharu biru.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun