Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Ancaman Pembunuhan

1 Februari 2022   09:26 Diperbarui: 1 Februari 2022   09:35 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: tirto.id

Sebuah Ancaman Pembunuhan

Oleh: Suyito Basuki

Kami akhirnya bertemu di sebuah ruang bimbingan di sekolah tempat aku mengajar.  Ketika aku usulkan untuk bertemu saja di rumahku, calon mertuanya menolak.  

Alasannya jika Alex tahu, sementara rumahku tidak seberapa jauh dari Alex, maka dikhawatirkan persoalan akan semakin menjadi lebih runyam.  

Kuusulkan lagi kemungkinan pertemuan di sebuah warung bakmi terkenal di kota kami, supaya lebih santai pembicaraannya.  

Calon mertuanya lagi-lagi menolak, sebabnya pertemuan di tempat terbuka malah lebih berbahaya, karena saat-saat ini, menurutnya 

Danang calon menantunya itu sedang dicari-cari teman Alex.  Pak Kusmin, calon mertuanya yang adalah rekan guru MGMP agama di kota kami begitu sangat wanti-wanti perlunya aku menjaga rahasia pertemuanku dengan Danang calon menantunya.

Pak Kusmin sangat berharap pertemuanku dengan Danang akan menelurkan solusi yang baik. Masalahnya pernikahan Danang dengan Susi sudah ditetapkan kedua belah pihak keluarga, walaupun secara diam-diam.  Paling lambat akhir tahun ini akan dilaksanakan.   

Bahkan, baik Danang maupun Susi telah mengikuti katekisasi pra nikah selama dua bulan ini di gerejanya.  Ketika aku bertanya mengapa saya yang diminta menyelesaikan masalahnya?  

Jawaban Pak Kusmin sederhana, katanya aku yang dia anggap mampu serta kebetulan aku tetangga dekatnya Alex yang tentunya dapat berbicara dan mengarahkannya ke arah kebaikan bersama.

Jika sampai gagal pertemuan ini,  kemungkinan besar Danang akan dibunuh oleh Alex. Ketika datang ke rumah tempo hari, Pak Kusmin, rekan sejawat yang menurutku memiliki rumah tangga yang harmonis dan dua anak putri yang cantik-cantik ini, menunjukkan secarik surat yang bernada ancaman dari Alex.  

Surat itu ditulis dengan tangan.  Aku hapal betul bahwa tulisan tangan itu adalah tulisan Alex.  Sebab waktu masih usia SD, untuk membantu anak-anak tetangga, aku membuka les segala macam.  Jika itu berkenaan dengan pelajaran bahasa Indonesia, bahasa Inggris, atau bahasa Jawa, maka akulah yang mengajar.  

Apabila itu berkaitan dengan pelajaran matematika dan  IPA, Tutik istrikulah yang mengajar, karena ia guru di sebuah SMK bagian akuntansi.  

Alex saat itu ikut belajar hingga kelas 6 SD.  Samar-samar saja, sejak kecil memang kulihat agak berbeda dengan rekan lelakinya yang lain, dia sedikit gemulai, kusebut saja flamboyan.  

Sejak ia sekolah SMP dan SMA, aku jarang sekali bertemu, paling seminggu atau dua minggu sekali.  Kabarnya, untuk menghemat pengeluaran transportasi, Alex dikoskan oleh orang tuanya di kota.

"Saya terpaksa menuruti kemauannya karena takut," begitu kata Danang ketika kutanya mengapa ia berhubungan dengan Alex. Sudah berapa lama hubungan itu kalian lakukan? tanyaku pada pemuda dengan roman oval dan bersih ini.  Jawabnya adalah sudah berlangsung 7 tahun.

"Saat itu saya kelas 1 SMA.  Alex sering datang ke rumah." Jelas Danang dengan sesekali menatap mata saya.  Selanjutnya dengan panjang lebar dia ceritakan peristiwanya.   

"Hal ini saya anggap biasa karena Alex adalah teman Kelik kakak saya.  Setiap kali Alex datang, dia berusaha berbicara berlama-lama dengan saya.  Tidak itu saja, seolah dia tahu kebutuhan saya, dia selalu membawa barang-barang yang saya butuhkan untuk keperluan sekolah, mulai dari sepatu, buku, alat tulis dan lain-lain.

Saya tidak tahu, seolah dia banyak uang.  Padahal dia hanya seorang karyawan bagian dapur sebuah PT Perkebunan Negara di kota kita ini yang baru dalam posisi PTT, pegawai tidak tetap, yang hasilnya mesti tidak seberapa.  

Kemudian saya sering cerita hal-hal apa yang menjadi keinginan saya.  Hampir pasti, tidak seberapa lama, keinginan itu akan segera dia penuhi. Kebaikannya saya rasakan melebihi kebaikan Kelik atau bahkan orang tua yang hanya menjadi buruh tani di desa.

Ketika saya bertanya dari mana uang ia dapatkan, Alex selalu bilang bahwa dia punya usaha sampingan yang saya tidak perlu tahu. 

Saya tidak mau bertanya lebih jauh toh urusan pekerjaan, urusannya sendiri, persoalanku adalah bagaimana saya bisa segera menamatkan SMA dan mengambil kuliah diploma pertanian seperti yang saya impikan selama ini.  

Ingin sekali, kelak saya menjadi penyuluh pertanian yang sering pergi ke desa memberi pencerahan kepada para petani supaya hasil pertaniannya lebih banyak sehingga hidupnya semakin layak.  

Saat saya lulus SMA, kesulitan mulai menghadang di depan.  Saya mau meneruskan ke diploma pertanian, tetapi orang tua tidak mengijinkan karena tidak ada biaya.  

Lahan kebun yang tidak seberapa telah dijual untuk biaya pernikahan Kelik.  Sawah yang tidak begitu luas sengaja dipertahankan untuk kehidupan keluarga,"  Danang, lelaki muda usia 27 tahun itu menghentikan ceritanya barang sejenak.  

Dia usap peluh di keningnya dengan sapu tangan merah muda.  Jemari anak muda ini runcing dan telapak tangannya halus, tidak sebagai mana telapak tangan lelaki di kota kami, yang kasar, karena kerja keras mengangkat balok kayu atau mengukir atau mengamplas hasil-hasil meubel.

Aku sodorkan sebuah botol minuman mineral.  Aku sendiri kemudian minum air dari botol minuman mineral satunya.  

Ruangan berukuran 2 x 3 meter itu terasa panas. Aku buka kaca nako lebar-lebar.  Suara lagu dari radio warung sebelah sekolah menyelusup. Entah kenapa, tiba-tiba aku ingat sama Tutik.  Sedang apa ia siang ini?  Apakah di tempat ia ngajar juga tengah menemui masalah yang berat sebagaimana kutemui?  Aku mau mengirim sms kepadanya, tetapi segera saja kuurungkan, bukankah hal ini tidak sopan. 

Bukankah tugas utamaku saat ini harus mendengar dengan cermat apa yang dikatakan Danang dan kemudian mencoba memberi jalan keluar yang terbaik, itupun kalau aku bisa.  Usai minum, sambil menarik napas dalam-dalam Danang  melanjutkan ceritanya yang membuatku bergidik.

"Alex kemudian menawari akan mempertemukan dengan orang yang sanggup mensponsori kuliah, jika saya mau. Jadilah saya pergi bersama dengannya ke kota propinsi.  Karena kami sampai di kota itu sudah malam, maka kami menginap di sebuah penginapan. 

Malamnya kami tidur.  Namun terjadilah sesuatu yang tidak saya duga sebelumnya.  Alex kemudian mengajakku untuk...ah..." Danang tak bisa melanjutkan kalimatnya, tetapi aku sudah paham maksudnya.

"Kamu mau?"

"Terpaksa pak, karena rasanya saya tidak ada pilihan lain."

"Setelah itu sudah?..."

"Terus berlanjut..."

"Dimana?..."

"Di sembarang tempat setiap ketemu..."

"Kamu menikmati?..."

"Kadang-kadang jijik..."

"Berlangsung berapa tahun?..."

"Tujuh tahun..."

"Mengapa mau mengakhiri?..."

"Saya bosan, dan perasaan berdosa memburu dari hari ke hari..."

"Apa yang kamu katakan kepadanya?"

"Saya katakan bahwa kami harus segera mengakhiri hubungan yang keliru dan tidak memiliki pengharapan masa depan ini..."

"Dia setuju?"

"Dia minta tempo waktu, tapi bukan saat ini..."

"Jika saat ini kau yang memutuskan?..."

"Dia mengancam akan menyakitiku, bahkan akan membunuhku..."

Danang kemudian menyorongkan sebuah surat dengan tulisan tangan, persis seperti yang pernah diperlihatkan oleh Pak Kusmin beberapa waktu yang lalu.  

Saat itu aku mencoba lebih mencermati isinya.  Surat itu berisi  peringatan supaya Danang segera meninggalkan Susi. 

Jika hubungan antara Danang dan Susi berlanjut, maka akan ada akibat buruk terhadap Danang dan keluarganya.  Bahkan dalam surat itu, memang ada ancaman pembunuhan.

Beberapa hari ini terpaksa Danang tidak pulang ke rumah orang tuanya.  Bahkan siang hari, seijin pimpinan kantor pertanian, tempat dia bekerja, dia tidak masuk sementara waktu. 

Segala pekerjaan, dia selesaikan malam harinya.  Hal itu dilakukan, gara-gara hari-hari belakangan ini, ada-ada saja laki-laki dengan berpura-pura menjadi pengamen yang menanyakan keberadaan Danang di kantornya. 

Menurutnya, para lelaki itu temannya Alex.  Bisa saja mereka ini  orang-orang suruhan Alex untuk meneror dan akhirnya mencelakai Danang.

Aku melihat jelas wajah lelaki muda itu sangat gelisah.  Ia kemudian bercerita bahwa ia sebelumnya pernah berhubungan dengan Nunik, wanita teman kantornya.  Entah bagaimana caranya, tiba-tiba Alex tahu dan langsung saja Alex marah-marah dan mengancam akan menyakitinya jika hubungan itu masih berlanjut. 

Saat itu, Danang sangat ketakutan, sehingga ketika Alex menyodorkan surat kosong bermeterai supaya ia menulis komitmennya, dia segera saja menuliskan bahwa dia tidak akan lagi mendekati wanita dan menikah dengannya.  

Jika komitmennya itu dilanggarnya, maka ia bersedia menerima resiko apa saja dari Alex.  

Foto copy surat itu disertakan dalam surat ancaman yang dikirimkan oleh Alex kepada Danang, mungkin maksudnya adalah untuk mengingatkan komitmen Danang beberapa tahun yang lalu.

Setelah dialog agak panjang kemudian aku menyarankan sebuah solusi.

 "Kamu mencintai Susi?"

"Ya."

"Susi mencintaimu?"

"Ya."

"Susi tahu keadaanmu?

"Ya."

"Teruskan hubunganmu dengan Susi.  Kalau kamu memang menderita, terpaksanya harus mati karena hal itu, berbanggalah, karena kamu sedang berjuang untuk sebuah kebaikan..."

"....?"

"Camkan ini, dari pada kamu sengsara dan mati karena kejahatan, lebih baik kamu mati untuk sebuah kebaikan."

"Ya, ya aku tahu pak, aku tahu..."

Tiba-tiba saja Danang berdiri. Segera saja tangannya disodorkan ke arahku.  Kujabat tangan itu dengan tangan kananku.  Matanya menatapku, kulihat ada semangat menggelora.  Bibirnya menggumamkan sesuatu yang tidak jelas, namun akhirnya kudengar sebuah ucapan terima kasih, walau sangat pelan.

Bulan-bulan kemudian aku tidak bertemu dengan Pak Kusmin.  Apakah jadi ia menikahkan Susi dengan Danang.  Sampai akhir tahun kemarin, aku memang tidak menerima undangan pernikahan mereka.  Mungkinkah batal, atau sudah berlangsung namun dirahasiakan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun