Dalam sekejap ruangan tersebut dipenuhi keharuan. Anak-anak minta maaf atas kesalahan mereka kemarin. Sementara Eny juga meminta maaf karena menghukum terlalu keras.
“Saat itu saya bertanya dalam hati, inikah rasanya menjadi seorang ibu?” ungkap Eny yang ketika itu masih lajang.
Itulah momen di mana Eny lantas sungguh-sungguh jatuh cinta dengan anak-anak Suku Amungme yang ia asuh.
Hari-hari berikutnya dilalui Eny dengan larut dalam kehidupan anak-anak Amungme tersebut. Bermain bersama, bercanda bareng, meladeni permintaan mereka memainkan satu peran, atau menggigit biskuit bergantian dengan satu anak.
Eny mencurahkan kasih sayang sebagai seorang mama pada anak-anak.
Selain bertanggung jawab atas kamar nomor dua, tugas Eny adalah mendampingi anak-anak belajar sore. Ia mendampingi belajar anak-anak kelas dua berlanjut ketika mereka naik kelas tiga.
Dua tahun Eny membantu mereka memahami pelajaran yang anak-anak dapat di sekolah.
Sementara itu tugas utama Eny tetap menjadi pembina kesehatan anak-anak. Perhatian utama Eny adalah memperkenalkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
Kepada anak-anak Amungme dikenalkan bagaimana cara mandi pakai sabun secara rutin, keramas, cuci tangan, gosok gigi, mencuci pakaian, membuang sampah dengan membedakan sampah kering dan sampah basah, dan sebagainya.
“Di lembah Tsinga kan dingin. Awalnya, bagi anak-anak, mandi itu bukan sesuatu yang wajib mereka jalani,” ungkap Eny.
Tidak mudah menanamkan PHBS pada anak-anak.
Pada awal program Eny hampir putus asa. Setiap kali anak-anak kembali ke asrama dari liburan di rumah, Eny melihat gigi mereka kembali kuning, tubuh dan rambut kotor, lantas akan muncul dan menyebar penyakit kulit.