Mohon tunggu...
Susanto
Susanto Mohon Tunggu... Guru - Seorang pendidik, ayah empat orang anak.

Tergerak, bergerak, menggerakkan. Belajar terus dan terus belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Luluh Hati Sang Kepala Sekolah

30 November 2023   17:08 Diperbarui: 1 Desember 2023   08:09 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Brak!" bunyi tas Pipit berlabuh di permukaan meja tulisnya.

"Dek, ada apa lagi?" tanya Taufan. Lelaki berbadan tambun itu bertanya. Kata 'lagi' ia gunakan karena ini bukan kali pertama Pipit terlihat muram dan kesal. Kekesalannya ia tumpahkan dengan melempar tas kerjanya di meja.

"Kak, sebal nian aku," jawab Pipit, "Masa, mau pakai proyektor aja harus menghiba kaya pesakitan di hadapan raja!"

Taufan segera mengerti. Yang dikeluhkan istrinya pasti sang pimpinan. Siapa lagi, Pipit menggerutu setelah ia pulang sekolah. Hal yang ia gerutukan peralatan yang ada di sekolah. Jika bukan Waka Sarpras, pasti sang kepala sekolah tersangkanya.

"Sabar, dong. Lagi pula Adek belum istirahat, cuci kaki. Minum pun belum," jawab sang suami ramah.

"Keburu hilang, dong, kesalnya!"

Taufan hanya tersenyum. Sedikit banyak ia paham siapa perempuan cantik yang ia nikahi delapan tahun lalu itu.

"Mana Ayunda, Kak?" tanya Pipit, menanyakan anak sulungnya. Sang anak masih asyik berada di kamarnya. Ia sedang asyik menggambar dengan crayon yang kemarin Pipit belikan.

Jika sudah bertemu sang anak maka hilang sudah rasa capek dan kesal yang ia bawa dari tempat kerjanya, sebuah sekolah menengah pertama cukup ternama di kotanya.

"Awas, jangan langsung menyentuh Ayunda, lo. Cuci tangan dulu. Adek tu baru pulang dari luar!" teriak Taufan dari ruang depan.

"Iya ... iya," jawab Pipit sambil berjalan cepat menuju kamar mandi.

Pipit menuju ke kamar mandi, membersihkan kaki dan tangannya sebelum ia melakukan pekerjaan rutinnya di rumah.

Hari sudah mendekati senja. Pipit pulang sampai ke rumah hampir pukul lima petang. Maklum saja, gedung SMP tempat Pipit bekerja masih direhab sebagian. Jadi, kadang ia mendapat bagian mengajar siang sesudah waktu Zuhur. Tidak jarang, ia berangkat pagi dan pulang sore hari jika tenaganya diperlukan pada saat-saat tertentu.

Pekerjaannya menjadi guru BK di sekolahnya tidak terikat kelas. Pun demikian, sebagai ketua Komunitas Belajar di sekolahnya yang menjadi pelaksana Sekolah Penggerak kadang mengharuskan dia bekerja ekstra. Meskipun berat, sebagai guru muda yang bertanggung jawab ia menjalani semua itu dengan ikhlas.

Akan tetapi, seperti syair lagu, guru juga manusia. Ia memiliki emosi. Rasa kesal kadang muncul apabila ada hal yang ia inginkan tidak dapat ia lakukan hanya karena akses untuk itu tidak terbuka dengan leluasa.

"Bapak dan Ibu, alhamdulillaah. Sekolah kita mendapat bantuan seperangkan alat Teknologi  Komunikasi dan Informasi. Ada proyektor beberapa buah, kamera perekam, laptop, Cromebook, dan seperangkat alat pengeras suara. Menurut orang Dinas, alat ini cangih dan mahal. Oleh karena itu harap hati-hati menggunakannya."

Suatu ketika Bu Indah, sang Kepala Sekolah, berpidato di depan rapat guru. Pipit dan  Ita hanya saling pandang. Guru-guru lainnya pun hanya diam tidak memberikan respon. Mereka teringat, betapa ingin meminjam proyektor agar pembelajaran di kelas makin menarik, tetapi sangat sulit. Peralatan yang disimpan di ruang Kepala Sekolah sangat sulit diambil.  

Mereka baru diberi akses jika akan supervisi atau ada monitor pembelajaran dari Dinas atau Pengawas. Itu pun jauh-jauh hari klimat peringatan nan panjang seperti lagu viral yang diputar berulang-ulang. Atau guru yang memesan dapat memberikan alasan yang paling masuk akal Bu Indah, baru diizinkan.

Pipit dan Ita pun rasanya putus asa. Mereka, para guru diminta menggunakan teknologi akan tetapi peralatan yang seharusnya dapat dipakai di sekolah itu sangat sulit mereka manfaatkan.

"Ibu bukan tidak membolehkan kalian pakai peralatan itu. Namun, ingat! Perlatan itu mahal. Jadi, hati-hati. Jika tidak penting sangat tidak usah dan kalau Ibu tidak ada jangan coba-coba mengambil kecuali mau bertanggung jawab apabila terjadi kerusakan."

Kalimat peringatan itu sering sekali terucap dari bibir merah Bu Indah. Alih-alih memberikan motivasi, Pipit dan kawan-kawan menjadi malas untuk menggunakannya.

Akan tetapi, Pipit dan Ita, guru pengurus Komunitas Belajar itu sering kesal. Ketika mereka mengadakan kegiatan kolektif guru, proyektor yang boleh mereka pakai proyektor yang disimpan di ruang perpustakaan. Proyektor lama yang sudah usang. Bahkan ada bagian yang jika diproyeksikan ke layar monitor terlihat hitam bak tertutup jelaga, sehingga tulisan dari layar laptop tidak terbaca pada dinding monitor. 

"Ai, Bu Pipit. Coba pakai proyektor yang baru. Untuk apa juga punya proyektor baru jika tidak dipakai. Kalaupun rusak, itu risiko! Toh, bukan sengaja dirusak," celoteh Bu Nurmi suatu ketika. 

Ia mengomel ketika Pipit dan Ita mengadakan pelatihan desain grafis untuk membuat media pembelajaran. Peserta banyak yang kesal karena gambar tidak utuh di layar.

Kedua guru kreatif itu tidak berdaya menjawab usulan teman-temannya. Hanya senyuman yang bisa mereka berikan dan kalimat: "Sabar, Bu." 

Begitulah. Kejadian-kejadian seperti itu kadang membuat Pipit tidak tahan. Wajar saja, jika emosi memuncak, ketika pulang ke rumah tasnya ia lempar ke atas meja seakan ingin melempar masalah yang mengimpitnya dan teman-teman gurunya.

Hari makin senja. Pipit bersama sang suami menyiapkan diri menyambut waktu Maghrib tiba. Anak-anak mereka yang masih kecil sudah dimandikan. Mereka berdua pun sudah membersihkan diri. Seperti biasa, Taufan pergi ke musala dekat rumahnya. Sementara, Pipit beribadah di rumah sambil mengawasi kedua gadis kecil yang sangat ia sayangi.

Sambil menungu Taufan pulang dari musala, ia membuka pesan WA di hapenya.

[Ikuti Lomba membuat video pendek tema: Anti Bulying dan Membuat Mainan Kreatif dan Dipresentasikan]

"Mbak Ita, ada lomba bikin video untuk anak-anak SMP, nih! Ikutan, nggak?" Pipit menelepon Ita. 

"Wah, iya, barusan aku baca flyernya. Seru, nih. Tapi, apa mungkin kita bisa pakai kamera baru di ruang Boss?" jawab Ita dengan nada putus asa.

"Udah, nggak usah pusing-pusing. Kita pakai kamera hape kita saja. Kita buat tim, terus kita pilih anak Ekskul Cinema dan memilih anak yang terampil dan kreatif. Kita minta bantuan Pak Sodiq, Guru Keterampilan."

Keesokan harinya, kedua guru itu bertemu dan merancang ide bersama tim yang mereka bentuk. Meskipun hanya memiliki waktu satu bulan, Tim Cinema bekerja keras. Sementara, Pak Sodiq terlihat sibuk melatih anak yang ia pilih untuk membuat mainan kreatif sekaligus melatihnya untuk mempresentasikan mainan yang dibuat sesuai kriteria.

Menjelang penutupan pendaftaran, mereka meminta izin dan surat tugas kepada kepala sekolah untuk mengikuti lomba yang digelar oleh PGRI Kabupaten. Tentu saja Bu Indah sangat senang. 

Ternyata, animo guru dan anak-anak mengikuti lomba sangat tinggi. Ratusan film dalam format video diunggah di kanal Youtube sekolah masing-masing. Demikian pula untuk lomba keterampilan. Video proses pengolahan bahan hinga menjadi  mainan kreatif pun sudah diunggah.

Satu hari menjelang acara puncak peringatan Hari Guru, digelar grand final lomba. Sekolah Pipit ikut hingga final dan berhasil mempresentasikan hasilnya dengan baik. Hasilnya, Tim Cinema sekolahnya berhasil menjadi juara satu dan Lomba Kreativitas harus puas berada di urutan kedua.

Pada puncak acara Hari Guru Nasional di Kabupaten, Pipit dan Tim ikut acara dan sekolah mereka mendapat piala, piagam, dan hadiah uang pembinaan.

"Bu, .... Piala, Piagam, dan Hadiah biar kami pegang, Bu," kata Pipit.

"Silakan," kata Bu Indah. Ia sebagai kepala sekolah menerima hadiah dan penghargaan dari Ketua PGRI yang hadiahnya diberikan langsung oleh Bupati.

Keesokan harinya, Bu Indah menanyakan kepada Pipit, Ita, dan anggota Tim.

"Mana piala dan piagam kemarin, Pit?" tanya Bu Indah.

Pipit pun menoleh kepada rekan-rekannya. 

"Baik, Bu. Untuk menjawab ini, Pak Sodiq yang akan menjelaskan," kata Pipit.

"Mohon maaf, Bu. Kegiatan ini kami laksanakan mandiri. Lebih dari satu bulan kami dan Tim berupaya keras. Ekstrakurikuler Cinema di sekolah kita berjalan seadanya. Kata-kata peringatan Ibu Kepala Sekolah jika kami memakai peralatan TIK sekolah membuat kami takut. Oleh karena itu, kami atasi dengan hape kami dan hape anak-anak masing-masing."

Wajah sang kepala sekolah terlihat memerah.

"Setelah yakin kami bakal menang, dua hari menjelang penutupan kami meminta izin dan surat tugas. Hal itu semata agar ada legalitasnya. Namun, terus terang tidak ada kontribusi sekolah sama sekali untuk hal ini. Ekskul Cinema pun selama ini dipandang sebelah mata. Saya selaku pembina tidak pernah mendapat support dari Ibu. Apalagi memakai peralatan yang Ibu terima dari Dinas."

"Jadi, maksud Pak Sodiq, bagaimana?" terdengar nada agak tinggi dari Ibu Kepala Sekolah.

"Mohon maaf, piala, piagam, dan uang pembinaan, akan kami simpan sendiri. Tidak dipajang apalagi dumumkan di sekolah. Ini bukan prestasi sekolah. Ini prestasi personal," tegas Pak Sodiq.

Bu Indah terlihat tersinggung dengan kata-kata Pak Sodiq. Namun, ia menahan rasa itu.  

"Kecuali, Ibu memberikan akses kepada kami para guru untuk memanfaatkan peralatan TIK untuk meningkatkan presatasi sekolah kita, Bu. Apa gunanya disimpan di ruang ini. Apa bangganya sekolah ini jika kemenangan itu diraih tidak menggunakan fasilitas sekolah yang kita miliki? Jika tidak memakai fasilitas sekolah dan sekolah kita meraih kejuaraan, apakah masih pantas piala dan piagam dipajang di sekolah ini?"

Entah keberanian dari mana, Pak Sodiq yang biasanya menghindar jika diajak berdiskusi perihal peralatan TIK sekolah, kali ini ia begitu lancar bicara.

Semua yang ada di ruangan terdiam. Degup jantung Pipit dan teman-temannya terasa jelas. Demikian pula endusan napas sang pimpinan mendengar tuturan anak buahnya. Sepi, tidak ada suara beberapa saat seteah Pak Sodiq menyudahi bicaranya.

"Baiklah, Bapak Ibu Guru semua," tiba-tiba Bu Indah membuka suara. Nada suaranya terdengar lembut.

"Mendengar penjelasan Pak Sodiq, saya merasa ditohok langsung ke hulu hati. Ternyata selama ini saya keliru. Sebagai orang tua saya kurang perhatian dan terlalu berhati-hati. Saya tidak menyadari bahwa saya sebenarnya dikelilingi oleh guru-guru yang hebat. Andai saja fasilitas yang ada di sekolah ini dimanfaatkan dengan baik, saya yakin sekolah kita akan makin banyak prestasi yang diraih."

"Pak Sodiq!" seru Bu Indah.

Orang yang namanya dipanggil mendongakkan kepala.

"Anda saya beri amanat untuk mengatur pemakaian peralatan TIK untuk pembelajaran di sekolah kita agar adil. Karena belum ada ruangan yang layak untuk menyimpan peratan itu, sementara diletakkan di etalase ruangan saya. Manfaatkan sepenuhnya. Saya hanya meminta, tingkatkan kinerja Anda semua dan tingkatkan prestasi anak-anak sekolah ini!"

Para guru di ruangan Bu Indah saling pandang. Ada binar bahagia terpancar di wajah para guru yang hebat itu. 

"Anda boleh meninggalkan ruangan dan jangan lupa, bawa piala kemari beserta piagam agar dapat dipajang di ruang prestasi. Uang pembinaan silakan kalian manfaatkan dengan baik. Gunakan untuk mengganti ongkos yang sudah dikeluarkan dan sisanya gunakan untuk kegiatan bersama."

"Pak Sodiq!" seru Bu Indah lagi.

"Iya, Bu."

"Jangan lupa besok. siapkan rencana pemanfaatan peralatan TIK dan hanya Anda yang saya izinkan untuk mengatur pembagiannya!"

"Siap, Bu!" Pak Sodiq menjawab tegas.

Para guru meninggalkan ruangan dengan lega. Mereka meninggalkan ruangan yang selama ini mereka rasakan sebagai ruangan terpanas di sekolahnya meskipun pendingin udara menyala dengan baik.

"Pak Sodiq!" seru Pipit kepada rekannya.

"Siap, Bu Pipit," jawab Pak Sodik dengan gaya melucu.

"Terima kasih, ya!" mata Pipit berkaca-kaca bahagia.

Tugumulyo, 30 November 2023
Salam Blogger Sehat
PakDSus

*) https://www.freepik.com/free-photo/overhead-view-bag-appliances-photography-blue-background_3716907.htm#query=peralatan%20IT%20dan%20camera&position=4&from_view=search&track=ais&uuid=9d294436-deb5-47f7-bcf2-04e2ce2036b6

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun