Mohon tunggu...
Susanto
Susanto Mohon Tunggu... Guru - Seorang pendidik, ayah empat orang anak.

Tergerak, bergerak, menggerakkan. Belajar terus dan terus belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Luluh Hati Sang Kepala Sekolah

30 November 2023   17:08 Diperbarui: 1 Desember 2023   08:09 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Iya ... iya," jawab Pipit sambil berjalan cepat menuju kamar mandi.

Pipit menuju ke kamar mandi, membersihkan kaki dan tangannya sebelum ia melakukan pekerjaan rutinnya di rumah.

Hari sudah mendekati senja. Pipit pulang sampai ke rumah hampir pukul lima petang. Maklum saja, gedung SMP tempat Pipit bekerja masih direhab sebagian. Jadi, kadang ia mendapat bagian mengajar siang sesudah waktu Zuhur. Tidak jarang, ia berangkat pagi dan pulang sore hari jika tenaganya diperlukan pada saat-saat tertentu.

Pekerjaannya menjadi guru BK di sekolahnya tidak terikat kelas. Pun demikian, sebagai ketua Komunitas Belajar di sekolahnya yang menjadi pelaksana Sekolah Penggerak kadang mengharuskan dia bekerja ekstra. Meskipun berat, sebagai guru muda yang bertanggung jawab ia menjalani semua itu dengan ikhlas.

Akan tetapi, seperti syair lagu, guru juga manusia. Ia memiliki emosi. Rasa kesal kadang muncul apabila ada hal yang ia inginkan tidak dapat ia lakukan hanya karena akses untuk itu tidak terbuka dengan leluasa.

"Bapak dan Ibu, alhamdulillaah. Sekolah kita mendapat bantuan seperangkan alat Teknologi  Komunikasi dan Informasi. Ada proyektor beberapa buah, kamera perekam, laptop, Cromebook, dan seperangkat alat pengeras suara. Menurut orang Dinas, alat ini cangih dan mahal. Oleh karena itu harap hati-hati menggunakannya."

Suatu ketika Bu Indah, sang Kepala Sekolah, berpidato di depan rapat guru. Pipit dan  Ita hanya saling pandang. Guru-guru lainnya pun hanya diam tidak memberikan respon. Mereka teringat, betapa ingin meminjam proyektor agar pembelajaran di kelas makin menarik, tetapi sangat sulit. Peralatan yang disimpan di ruang Kepala Sekolah sangat sulit diambil.  

Mereka baru diberi akses jika akan supervisi atau ada monitor pembelajaran dari Dinas atau Pengawas. Itu pun jauh-jauh hari klimat peringatan nan panjang seperti lagu viral yang diputar berulang-ulang. Atau guru yang memesan dapat memberikan alasan yang paling masuk akal Bu Indah, baru diizinkan.

Pipit dan Ita pun rasanya putus asa. Mereka, para guru diminta menggunakan teknologi akan tetapi peralatan yang seharusnya dapat dipakai di sekolah itu sangat sulit mereka manfaatkan.

"Ibu bukan tidak membolehkan kalian pakai peralatan itu. Namun, ingat! Perlatan itu mahal. Jadi, hati-hati. Jika tidak penting sangat tidak usah dan kalau Ibu tidak ada jangan coba-coba mengambil kecuali mau bertanggung jawab apabila terjadi kerusakan."

Kalimat peringatan itu sering sekali terucap dari bibir merah Bu Indah. Alih-alih memberikan motivasi, Pipit dan kawan-kawan menjadi malas untuk menggunakannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun