Marno terheran-heran, namun ia membiarkan sang istri berperilaku aneh di tengah malam.
"Yang, kamu mau ke mana, sih?" tanya Marno. Melihat gelagat istrinya yang kurang wajar itu ia segera sadar bahwa istrinya mengigau.
"Mas, aku mau pengajian. Aduh, sudah telat ini, mana aku pegang catatan arisan. Arisan terakhir ini, Mas," jawab Marni dengan sikap gelisah.
Marno mengikuti saja gerak-gerik sang istri.
"Mana kunci motor, Mas. Aku pergi sendiri saja. Buru-buru, takut telat."
"Mas! Ditanya kok bengong saja? Mana kunci motornya?" bentak Marni.
"Hmm ... tidak beres, ini. Tapi biarkan saja. Apa yang mau dilakukan Marni selanjutnya," kata Marno dalam hati.
Setelah Marno menunjukkan tempat kunci, Marni segera ke ruang tamu. Motor mereka biasa diletakkan di ruang tamu karena tidak punya ruang lain untuk menyimpan kendaraan.
"Tolong ambil buku catatan arisan pengajian, Mas!" pinta Marno.
Marno ingin tertawa, namun ia tahan. Marno mengambilkan benda yang diminta Marni.
"Yakin, mau ke pengajian? Jam berapa ini?" tanya Marno.
"Mas, Mas. Kamu ya, jahat. Nggak mbangunin aku. Ini sudah telat pengajiannya. Mana catatan arisan ada dengan aku. Sudah ya, aku pergi dulu." Motor matik milik mereka satu-satunya dinyalakan. Marni bersiap segera berangkat.
"Kok ... sepi ya, Mas? Apa karena hujan sore tadi. Jadi, banyak yang nggak keluar rumah," cetus Marni heran.