Layar hape terus ia gulung ke atas. Esti Raharjo, teman sebangkunya menulis.
Ke mn si ceking Marno. Katanya mo kpl di pasar malam.
Marno merasa bersalah. Hingga ke baris terakhir, topik pembicaraan tentang dirinya tenggelam. Marno pun lesu. Hape ia tutup. Mode pesawat dihidupkan. Marno tidak ingin tidurnya terganggu dengan bunyi denting-denting.
Ia melihat jam di dinding kamar. Pukul sepuluh lebih. Cukup larut. Hati-hati ia membaringkan badan di samping Marni yang demikian pulas. Mulut yang terbuka lebar cukup menjadi indikasi betapa nyenyak Marni mengarungi lautan mimpi.
Keesokan hari, kedua suami istri itu melakukan pekerjaan rutin. Tidak ada cemberut di wajah Marni. "Hukuman" memijit kakinya yang pegal telah ditunaikan Marno dengan sangat baik.
Setelah seharian bekerja, waktu Maghrib pun tiba. Selesai menunaikan ibadah salat, Marni membaringkan badan di tempat tidur. Tidak berapa lama, ia tertidur pulas.
Marno yang baru pulang dari musala mendapati istrinya pulas, membiarkan. Ia tahu, seharian ini istrinya melakukan pekerjaan rumah tangga lebih dari biasanya.
Pukul sebelas malam, selesai Marno membuat proposal untuk kegiatan pemuda di kelurahan, ia menguap lalu meregangkan badan bermaksud untuk tidur.
Marni, terlihat bangun dari tidurnya dan mencari-cari baju beserta kerudung yang biasa ia pakai untuk pergi ke pengajian. Marni pun  mebersihkan diri di kamar mandi kemudian mengenakan pakaian yang sudah dipilihnya. Marni mematut diri di depan cermin.
"Mas, bedakku mana?" tanya Marni tiba-tiba.
Belum sempat Marno menjawab, Marni terlihat sudah memulas wajahnya dengan bedak tabur dan meratakannya di depan cermin.