“Trus aku musti peduli ??Â
“AKU NYESEL KENAL KAMU. Klo aja kamu enggak ada, mungkin burung dengan permintaan konyol itu gak akan ada, dan ibu masih ada. SUMPAH AKU NYESEL !! “ ujarku dengan emosi sambil memundurkan kursi rodaku, dan mulai menjaga jarak denganmuÂ
Kamu hanya diam, tak ada jawaban. Hening beberapa menit itu seperti berjam jam lamanya, suasana menjadi beku dan kaku. Yang terdengar hanya isak tangisku yang ku tahan tahan agar tak meledak di depanmu. Kau berlalu tanpa berkata satu patah katapun, yang kau lakukan hanya mengambil burung bangau kertas yang dulu kau gantung di kamarku, menyisakan 1 pesawat kertas yang masih tergantung sejak dulu, lalu pergi. Bahkan meninggalkan kunci rumahku yang biasanya tak pernah kau lupakan, entah kau lupa atau memang sengaja.
Satu hari,dua hari, tiga hari, dan genap seminggu sudah kau tak berkunjung ke rumahku, walau setiap pagi dan malam sebelum dan sepulang kerja kamu selalu melihat ke arah jendela kamarku. Aku mulai membiasakan diri tanpamu, hingga akhirnya cuaca yang berubah ubah dan kondisi tubuhku yang memang lemah membuatku hanya bisa terbaring lemas di kamar.
Malam hari, hujan mengguyur dengan lebatnya, aku menggigil kedinginan di balik selimut yang tebal yang sejujurnya sama sekali tak memberi efek apapun. Kepalaku pusing, badanku lemas dan bergetar hebat, bahkan untuk mengambil obatpun dan air putih aku tak sanggup. Kunci rumahku yang kau tinggalkan masih berada di atas meja di samping ranjangku, bersama dengan buku harianku.
Hanya dua benda itu yang bisa ku gapai dengan mudah walau mungkin butuh tenaga extra. Dengan ragu aku mengambil kedua benda itu, merobek kertas dari buku harianku, melipatnya membentuk pesawat, lalu menyelipkan kunci rumahku di dalam pesawat itu dan menghempaskannya ke bawah, berharap kau melihat itu, walau aku tak tahu kau sudah di rumah atau belum. Toh, aku belum melihatmu hari ini.
Satu menit, dua menit, lima menit, hingga sepuluh menit aku terus melihat ke bawah, melihat pesawat kertas yang perlahan hancur di terpa derasnya hujan di balik jendela kamarku yang mulai berbias dan berembun, kamu tak keluar dan aku mulai menyerah dan mulai merebahkan tubuhku sepenuhnya pada pada ranjangku. Tak ada yang ingin kukatakan padamu selain maaf. Maaf kalau aku menyalahkanmu, dan sejujurnya aku tak pernah menyesal mengenalmu, toh satu satunya pesawat kertas yang tergantung di kamarku dari dulu adalah saksi bisu kalau sejujurnya aku menyukaimu.
“Kamu kenapa Lun.. ?? “
Suaramu memecah keheningan yang kubuat sendiri. Kamu bergerak cepat mengambil air putih hangat dari dispenser ketika melihatku hanya bisa meringkuk pasrah di atas ranjang digulung selimut tebal.
“Kamu sakit ya.. ?? Sori ya aku telat. “ ujarmu sambil memberikan segelas air hangat dan obat penurun panas.
“Makasih, ya.. Kamu bisa turunin itu ga “ ujarku pelan sambil menunjuk satu satunya pesawat kertas yang masih tergantung di kamarku. Pesawat yang sama yang dulu kamu tunjuk ketika memintaku mengajarimu membuatnya. Kamu lalu berdiri dan mengambil pesawat itu dari plafon kamarku setelah sekian lama ia tergantung di sana.