“Ambil selembar kertas dari sebuah buku tulis, lipat kedua sisi kiri dan kanannya agar bertemu di titik tengah dan membentuk segitiga, lipat ujung segitiganya, kemudian bagi dua, tekuk bagian sampinya sehingga menjadi sayap, dan pesawat siap untuk diterbangkan.“
Begitulah caraku mengajarimu bagaimana membuat sebuah pesawat kertas sederhana yang bisa terbang dengan tenang beberapa detik di udara, walau ujung ujungnya ia jatuh juga dan berakhir di tanah. Beberapa kali hari itu kamu gagal dan terlihat penasaran untuk terus membuat pesawat kertas yang bisa terbang dengan tenang.
Iya, pesawatmu yang awal awal kau buat memang tidak bisa terbang, karena pesawat itu langsung jatuh dan menukik tajam, hingga akhirnya ada segurat senyum yang tergaris di wajahmu ketika pesawat yang kau buat akhirnya bisa terbang dengan baik hampir mirip dengan pesawat yang kubuat –ingat, hanya hampir- toh aku masih percaya pesawat buatanku pasti terbang lebih baik dari punyamu.
Kala itu umur kita baru 9 tahun, tinggal bersebelahan, namun tak saling mengenal, bahkan kau tak pernah tahu keberadaan ku hingga kau melihat seplastik pesawat kertas yang di buang ibuku ketika kamarku mulai penuh dengan lipatan kertas yang menjadi satu satunya karyaku dalam seni origami.
“Siapa yang buat ini bu .. ? “ begitu tanyamu kepada ibuku kala itu. Aku sering melihatmu yang suka melempar senyum pada ibuku dari jendela kamarku yang berada di lantai dua, namun di hari itulah pertama kalinya kau tak melempar senyum, yang kau lemparkan justru satu kalimat tanya.
“Luna.. “ jawab ibuku yang langsung kau jawab dengan berlari ke depan pintu rumahku dan meneriakkan namaku
“Lunaaaa.. Luna ,,, main yuk .. “ yang langsung di jawab ibuku dengan menyuruhmu masuk ke dalam dan langsung naik ke kamarku yang berada di lantai dua rumahku. Hari itu kamu pertama kali melihatku dan tak ada ke canggungan di situ, tak ada ekpresi terkejut dengan bola mata yang hampir keluar yang biasanya aku dapatkan ketika pertama kali aku bertemu dengan orang baru.
“Ajarin dong.. “ pintamu kala itu sambil menunjuk nunjuk pesawat kertas yang kugantung di kamarku, sebuah pesawat kertas special yang takkan pernah berakhir di tong sampah seperti yang lainnya.
Kamu menjadi satu satunya teman yang kupunya sejak kecil selain pesawat pesawat kertas yang kubuat, yang selalu berserakan di kamarku. Ibuku lebih memilih menyekolahkanku dengan metode home schooling yang membuatku bosan, hingga kadang aku berharap jika ibu di tugaskan keluar kota 3 tahun lamanya, –tanpa kembali- sehingga aku bisa sekolah biasa seperti anak anak yang lainnya.
“Biar kamu lebih aman.. “
“Ibu enggak mau kamu kenapa napa..”
“Cuma kamu yang ibu punya.. “
Tiga jawaban dari ibu yang terus berputar di kepalaku dan akhirnya cukup untuk membuatku mati kutu ketika aku meminta untuk sekolah biasa selepas SMP. Keputusan yang mungkin tak di sadari oleh ibu membuatku terisolasi dari lingkungan social yang seharusnya aku punya, bukan lingkungan yang hanya sebatas rumah, ibu, buku, guru les, kamu, dan pesawat kertas.
**
“Kenapa pesawat kertas..??” tanyamu dengan masih menggunakan seragam SMA mu, satu hal yang sejujurnya membuatku iri setengah mati. Toh di dalam lemari pakaianku tak pernah ada seragam dengan kantong bertuliskan OSIS di sebelah kiri atau mungkin topi abu abu dengan lambing Tut Wuri Handayani. Yang ada hanya seragam anak SD berwarna merah putih yang di belikan ibuku untuk membohongiku kalau aku sekolah sama dengan anak SD lainnya, dan dengan bodohnya kupakai ketika aku kecil dulu.
“Emangnya kenapa.. ?”
“Hmm.. Biasanya orang kan lebih suka buat burung bangau kertas. Katanya klo kamu buat 1000 burung bangau kertas maka permohonan kamu akan terkabul. “ ujamu sambil melipat kertas yang sepertinya akan kau buat bangau.
“Berarti klo semua pesawat yang aku buat dulu sampai sekarang itu bangau semua, aku udah dapat banyak permohonan dong..”
“Mungkin.. Mau coba ?? “
Aku menggeleng pelan, seolah memupus anganmu yang sepertinya berharap aku akan tertarik dengan idemu, toh itu terlihat dari matamu yang terlihat sangat antusias.
“Aku pengen terbang, bebas seperti pesawat kertas. Bangau kamu enggak bisa terbang. “ ujarku sambil meniup bagian depan pesawat kertasku, -sebuah ritual turun termurun dari zaman nenek moyang yang tak pernah di ketahui kenapa dan apa akan ada dampaknya pada pesawat yang akan kulempar- lalu melemparkannya ke udara, melihatnya terbang sesaat dan kemudian jatuh ke lantai kamar, berkumpul bersama teman teman pesawat kertas lainnya.
“Ibu kamu.. ?? “
“Iya..” aku mengangguk pelan dan pasrah. Ya, kamu orang yang paling tahu se protective apa ibuku padaku, dan mungkin kamu adalah orang yang paling beruntung di muka bumi yang diizinkan ibu untuk bertemu denganku, masuk ke kamarku, hingga dibuatkan kunci rumahku agar kamu bisa bebas bertemu denganku sampai kita dewasa seperi ini. Iya, ibuku sangat mempercayaimu, lebih dariku. Entah karena nama panggilan kita yang memang hampir sama, atau memang karena kau anak tetangga sebelah. Aku bahkan yakin ia akan percaya dan kemudian pingsan jika saja kau iseng menelponnya dan mengatakan kalau aku sedang keliling komplek untuk berjualan koran
“Mau coba.. “ ujarmu sambil menyodorkan selembar kertas origami
“Enggak seribu… “
“Aku bantuin.. “
“Enggak.. “
“Satu… ?? “
Aku mengangguk pelan, setuju dengan kata satu yang kau ucapkan. Iya, hanya satu burung bangau kertas dengan sebuah permintaan kecil agar ibu bisa menghilang sesaat, keluar kota, meeting keluar negri, atau apapun itu. Karena jika hari itu tiba, aku ingin keluar dari tanah berukuran 5X11 yang biasa ku sebut rumah ini.
Hanya butuh empat tahun bagi Tuhan untuk menjawab keinginanku di bangau merah yang kugantung di kamarku bersama dengan satu satunya pesawat kertas buatanku yang tak kan pernah dibuang oleh ibu. Ibu pergi sesuai dengan permintaanku, hanya saja Tuhan menjawab keinginanku dengan memberi lebih dan berpesan bahwa ibu takkan kembali. Iya, ibu meninggal karena sakit yang tak pernah aku tahu, penyakit yang di rahasiakan ibu dari aku, yang katanya satu satunya orang yang dia punya.
**
“Lempar pesawat kertas itu ke bawah, ditulis dalamnya, biar aku tahu kamu butuh apa.. “ begitu katamu dihari pertama ibu tak ada ketika kamu akan pergi melamar kerja.
“Pesawatnya pasti hancur kalo hujan..
“Aku gak peduli, paling enggak aku tahu klo kamu butuh sesuatu. Bisa ya, janji.. “
Aku mengangguk pelan, namun enggan untuk mengaitkan kelingkingku pada kelingkingmu yang sudah kau arahkan tepat ke depan wajahku, satu hal yang sering aku lakukan dulu ketika kau berjanji satu hal padaku
“Udahlah, kita udah gede. Gak usah kaya begini lagi ya.. “ ujarku menepis pelan jari kelingkingmu, gesture kecil dariku yang menghapus senyummu yang mungkin kau telan perlahan bersamaan dengan air liurmu.
“Aku pasti jagain kamu.. “ ujarmu pelan.
Dan kamu menepati janjimu, walau aku tak pernah menepati janjiku. Tak ada satu pesawat pun yang kulemparkan ke bawah hampir 1 bulan sejak kematian ibu, namun kamu selalu ada di tiap waktu senggangmu. Kamu sengaja mencari pekerjaan yang dekat dengan rumah, agar setiap jam istirahat kamu bisa datang dan menghabiskan waktu dengan ku yang selalu menyambutmu dengan dingin dan lebih banyak diam. Dan setiap malam selepas jam kerja, kamu selalu datang, memastikan aku makan malam dengan selalu membawa makanan, entah makanan jadi ataupun bahan makanan yang dengan dengan enaknya kau taruh di kulkas rumahku, ‘nitip’ begitu katamu dengan ekspresi tanpa dosa.
“Apa sih yang kamu harapin dari aku ?”
“Hah ? “ ujarmu dengan wajah yang tercegang
“Apa yang kamu suka dari aku ?? Apa yang bisa kamu banggain dari aku ?? “
“Perlu alasan Lun ?? “
“AKU LUMPUH.. LIAT PAKAI MATA KAMU !! AKU LUMPUH LANA !! Bahkan buat buang bangau kertas sialan itu aja aku enggak bisa.. !! ” ujarku dengan nada marah sambil menunjuk bangau kertas sialan yang masih tergantung dengan kamarku
“Trus aku musti peduli ??
“AKU NYESEL KENAL KAMU. Klo aja kamu enggak ada, mungkin burung dengan permintaan konyol itu gak akan ada, dan ibu masih ada. SUMPAH AKU NYESEL !! “ ujarku dengan emosi sambil memundurkan kursi rodaku, dan mulai menjaga jarak denganmu
Kamu hanya diam, tak ada jawaban. Hening beberapa menit itu seperti berjam jam lamanya, suasana menjadi beku dan kaku. Yang terdengar hanya isak tangisku yang ku tahan tahan agar tak meledak di depanmu. Kau berlalu tanpa berkata satu patah katapun, yang kau lakukan hanya mengambil burung bangau kertas yang dulu kau gantung di kamarku, menyisakan 1 pesawat kertas yang masih tergantung sejak dulu, lalu pergi. Bahkan meninggalkan kunci rumahku yang biasanya tak pernah kau lupakan, entah kau lupa atau memang sengaja.
Satu hari,dua hari, tiga hari, dan genap seminggu sudah kau tak berkunjung ke rumahku, walau setiap pagi dan malam sebelum dan sepulang kerja kamu selalu melihat ke arah jendela kamarku. Aku mulai membiasakan diri tanpamu, hingga akhirnya cuaca yang berubah ubah dan kondisi tubuhku yang memang lemah membuatku hanya bisa terbaring lemas di kamar.
Malam hari, hujan mengguyur dengan lebatnya, aku menggigil kedinginan di balik selimut yang tebal yang sejujurnya sama sekali tak memberi efek apapun. Kepalaku pusing, badanku lemas dan bergetar hebat, bahkan untuk mengambil obatpun dan air putih aku tak sanggup. Kunci rumahku yang kau tinggalkan masih berada di atas meja di samping ranjangku, bersama dengan buku harianku.
Hanya dua benda itu yang bisa ku gapai dengan mudah walau mungkin butuh tenaga extra. Dengan ragu aku mengambil kedua benda itu, merobek kertas dari buku harianku, melipatnya membentuk pesawat, lalu menyelipkan kunci rumahku di dalam pesawat itu dan menghempaskannya ke bawah, berharap kau melihat itu, walau aku tak tahu kau sudah di rumah atau belum. Toh, aku belum melihatmu hari ini.
Satu menit, dua menit, lima menit, hingga sepuluh menit aku terus melihat ke bawah, melihat pesawat kertas yang perlahan hancur di terpa derasnya hujan di balik jendela kamarku yang mulai berbias dan berembun, kamu tak keluar dan aku mulai menyerah dan mulai merebahkan tubuhku sepenuhnya pada pada ranjangku. Tak ada yang ingin kukatakan padamu selain maaf. Maaf kalau aku menyalahkanmu, dan sejujurnya aku tak pernah menyesal mengenalmu, toh satu satunya pesawat kertas yang tergantung di kamarku dari dulu adalah saksi bisu kalau sejujurnya aku menyukaimu.
“Kamu kenapa Lun.. ?? “
Suaramu memecah keheningan yang kubuat sendiri. Kamu bergerak cepat mengambil air putih hangat dari dispenser ketika melihatku hanya bisa meringkuk pasrah di atas ranjang digulung selimut tebal.
“Kamu sakit ya.. ?? Sori ya aku telat. “ ujarmu sambil memberikan segelas air hangat dan obat penurun panas.
“Makasih, ya.. Kamu bisa turunin itu ga “ ujarku pelan sambil menunjuk satu satunya pesawat kertas yang masih tergantung di kamarku. Pesawat yang sama yang dulu kamu tunjuk ketika memintaku mengajarimu membuatnya. Kamu lalu berdiri dan mengambil pesawat itu dari plafon kamarku setelah sekian lama ia tergantung di sana.
“Buka.. “
Kamu lalu membuka lipatan tengah dari pesawat itu, lalu tersenyum dan menatapku dengan teduh. Tatapan yang sepertinya cukup unuk menurunkan beberapa derajat celcius suhu tubuhku.
“Maafin aku ya, aku gak pernah nyesel kenal kamu, karena memang itu yang aku pengen dari dulu.. “
Tak ada jawaban, atau sepatah kata pun darimu, yang kau lakukan hanya merangkulku dan memeluk erat tubuhku, membiarkan pesawat kertas yang dari dulu tergantung di kamarku tetap terbuka. Sebuah pesawat yang berisi tulisan jelek anak kecil yang umurnya masih di angka satu digit, belum dua digit seperti sekarang ini. Tulisan jelek yang kutulis sebelum kamu mengenalku, sebelum kamu naik ke kamarku dan memintaku mengajarimu membuat pesawat kertas itu
Luna Maulana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H