“Ibu enggak mau kamu kenapa napa..”
“Cuma kamu yang ibu punya.. “
Tiga jawaban dari ibu yang terus berputar di kepalaku dan akhirnya cukup untuk membuatku mati kutu ketika aku meminta untuk sekolah biasa selepas SMP. Keputusan yang mungkin tak di sadari oleh ibu membuatku terisolasi dari lingkungan social yang seharusnya aku punya, bukan lingkungan yang hanya sebatas rumah, ibu, buku, guru les, kamu, dan pesawat kertas.
**
“Kenapa pesawat kertas..??” tanyamu dengan masih menggunakan seragam SMA mu, satu hal yang sejujurnya membuatku iri setengah mati. Toh di dalam lemari pakaianku tak pernah ada seragam dengan kantong bertuliskan OSIS di sebelah kiri atau mungkin topi abu abu dengan lambing Tut Wuri Handayani. Yang ada hanya seragam anak SD berwarna merah putih yang di belikan ibuku untuk membohongiku kalau aku sekolah sama dengan anak SD lainnya, dan dengan bodohnya kupakai ketika aku kecil dulu.
“Emangnya kenapa.. ?”
“Hmm.. Biasanya orang kan lebih suka buat burung bangau kertas. Katanya klo kamu buat 1000 burung bangau kertas maka permohonan kamu akan terkabul. “ ujamu sambil melipat kertas yang sepertinya akan kau buat bangau.
“Berarti klo semua pesawat yang aku buat dulu sampai sekarang itu bangau semua, aku udah dapat banyak permohonan dong..”
“Mungkin.. Mau coba ?? “
Aku menggeleng pelan, seolah memupus anganmu yang sepertinya berharap aku akan tertarik dengan idemu, toh itu terlihat dari matamu yang terlihat sangat antusias.
“Aku pengen terbang, bebas seperti pesawat kertas. Bangau kamu enggak bisa terbang. “ ujarku sambil meniup bagian depan pesawat kertasku, -sebuah ritual turun termurun dari zaman nenek moyang yang tak pernah di ketahui kenapa dan apa akan ada dampaknya pada pesawat yang akan kulempar- lalu melemparkannya ke udara, melihatnya terbang sesaat dan kemudian jatuh ke lantai kamar, berkumpul bersama teman teman pesawat kertas lainnya.