"Baru kali ini Hera mengalami musibah pingsan mendadak," tutur ayah dengan suara lirih, "Semoga tidak terjadi apa-apa."
Aku mondar-mandir di depan pintu ruang ICU. Rasa ingin tahu penyakit apa yang diderita adikku begitu kuat. Jika ada perawat yang keluar, bergegas aku dekati. Aku tanyai hasil pemeriksaan adikku. Mereka hanya menggelengkan kepala dan memintaku untuk menunggu.
Setelah sekitar dua jam kami menunggu, dokter yang memeriksa Hera keluar ruangan dan memberitahukan kondisi Hera kepada ayah. Aku mendengarkan dan mengamati gerak bibir dokter itu untuk merekam ucapannya dalam memori otakku.
Badanku terasa lemas tiada tenaga setelah dokter selesai memberikan keterangan. Sebaliknya ayah tampak tenang. Ia duduk kembali dan terdiam beberapa saat. Bayu kemudian berkata kepada ayahku, apakah ibuku perlu segera diberi tahu atau tidak.
Dengan suara pelan, aku berucap bahwa akulah yang akan memberitahukan kepada ibuku perihal kondisi Hera. Ayah menganggukkan kepala. Selanjutnya, Bayu minta izin akan ke kantin sebentar karena tadi belum sarapan. Demikian pula Ayu akan menemani Bayu ke kantin.
Tidak sampai lima belas menit mereka sudah muncul lagi. Ada empat kotak makanan yang mereka bawa.
"Kata  orang tua kami, jika menunggui orang sakit, kita harus menjaga kesehatan. Jangan sampai kita ikut sakit gara-gara terlambat makan," ucap Ayu sambil menyerahkan satu kotak makanan kepada ayah dan satu kotak kepadaku.
"Terima kasih," ucapku pelan.
===
Tiga hari setelah Hera berada di rumah sakit, kondisinya sudah lebih baik. Ia tersenyum ketika aku suapi makan bubur halus. Ibu yang duduk di dekat ranjang memperhatikan kami dengan terharu.
Ayah tidak berada di antara kami. Setelah mengetahui kondisi Hera mulai membaik, ayah pergi kerja. Aku dan ibu yang menjaga Hera di ruang rawat inap. Ibu sangat mengkhawatirkan kondisi Hera. Untuk itu, ibu rela berhenti bekerja demi menjaga Hera di rumah sakit. Kalau aku kebetulan pas ambil jatah cuti kerja.