Arasto tertawa dan menjawab dengan santai, "Pergilah ke Mesir, dan tanyakan kepada Potiphar.." Kemudian Arasto bergegas pergi meninggalkan si teman setelah mengucapkan terimakasih.
***
Sang kapten pemilik perahu berteriak ketika melihat masih ada satu penumpangnya yg  berdiri mematung belum juga masuk ke dalam perahu.
"Hei tukang melamun!" Teriak sang kapten, "Perahu akan segera angkat sauh, kau mau masuk perahu atau meneruskan lamunanmu?! Aku bisa sewakan kursiku ke orang lain jika kau terus melamun."
Arasto melihat perahu sudah hampir penuh ketika matahari sudah mulai meninggi. Satu kursi masih kosong. Arasto masuk perahu dan menempati satu kursi kosong yg tersisa.
***
Di sampingnya, duduk seorang pemuda bertampang menyedihkan. Wajahnya menyiratkan duka yg amat mendalam. Mata pemuda itu sembab.
Arasto menduga pemuda itu menangis sepanjang malam dan berusaha tegar di siang hari. Tapi mata dan raut wajahnya tak dapat menyembunyikan perasaan dan tangisan yg coba ia sembunyikan dibalik sepinya malam.
Arasto berkata, "Wahai anak muda yg dirundung duka. Kepedihan macam apa yg sudah menggerogoti aura ceria masa mudamu? Sehingga wajahmu tampak begitu lebih tua dari umurmu yg sebenarnya?"
Si pemuda menjawab dengan suara tercekat di tenggorokan, "Bagaimana tidak? Perempuanku sudah mengkhianatiku. Aku rela memberikan tetes-tetes keringat darahku untuk membasuh kakinya dengan air bunga mawar. Aku berikan anggur dari taman-tamanku. Kuberikan sangkar emasku untuknya, tapi dia keluar dan lebih memilih sangkar milik orang lain."
Arasto ingin tertawa tapi berusaha menahan tawanya agar tidak keluar. Mengingat kondisi pemuda ini begitu amat menyedihkan. Tercabik oleh dukanya sendiri.