Semburat cahaya fajar membias di ufuk timur, terlihat dari sebuah dermaga yg berada di tepi Laut Galilea. Ralat, bukan laut, tetapi danau. Tapi astaga, terlalu luas untuk dibilang danau. Andai rasa air di danau itu asin, orang-orang pasti akan menyangka itu lautan.
Arasto berdiri mematung di depan sebuah tambatan perahu kayu yg beberapa saat lagi akan bertolak menuju Kapernaum.
Dia membiarkan pikirannya melayang, memikirkan mimpinya yg datang 3 malam berturut-turut sebelum akhirnya dia memutuskan untuk pergi meninggalkan tempat tinggalnya, di Gadara.
Dalam mimpinya, ia bertemu dengan seorang musafir di padang pasir, memakai jubah yg terbuat dari kain Lenin. Musafir itu, dalam mimpinya, berkata kepada Arasto, "Pergilah ke sebuah gunung di sebelah utara dari Murtafa'atul Jaulan.."
Arasto selalu terbangun ketika musafir itu mengucap kata "Murtafa'atul Jaulan". Dan mimpi itu berulang selama 3 malam berturut-turut.
Murtafa'atul Jaulan, demi apapun, Arasto tidak tau apa maksudnya.
Itu seperti bahasa orang-orang padang pasir, pikir Arasto. Musafir dalam mimpinya memang orang padang pasir. Apakah aku harus mencari tau apa arti yg diucapkan musafir dalam mimpi aneh itu? Atau sebaiknya ku abaikan saja?
Ah, itu hanya mimpi, kenapa harus dipikirkan. Arasto mencoba berpaling dari mimpi aneh itu kepada hal-hal lain.
Tapi semakin dia berpaling, pikiran itu selalu mengejarnya. Tak ada tempat sembunyi bagi Arasto untuk menghindar dari pikiran mengenai mimpi itu, dia tidak bisa mengabaikan mimpi itu begitu saja.
"Dulu, berkat seorang pemuda yg percaya pada mimpi-mimpi, penduduk Mesir selamat dari krisis pangan dan potensi kelaparan selama 7 tahun berturut-turut," kata Arasto dalam hati, "Pemuda itu adalah Yusuf putra Yakub yg mencoba menafsirkan mimpi Potiphar, pejabat istana Mesir.."
Sial, kemana aku harus mencari orang yg bisa mengartikan apa itu Murtafa'atul Jaulan? Adakah orang di seantero Dekapolis ini yg paham bahasa orang-orang padang pasir?