AbstactÂ
The codification of the Qur'an was motivated by the fact that many memorizers of the Qur'an (hafidz) were martyred in the battle of Badr. Remembering that when the revelation was revealed to the Prophet Muhammad (saw) through the intermediary of the angel Gabriel, the Prophet only read it to the companions and memorized it.Â
When the Badr war occurred, it turned out that the hafidz died in the war, raising concerns that there would be no longer a memorizer of the Qur'an. Departing from these concerns, it was triggered to write a revelation. So that when the hafidz die martyrdom, the writing of the Qur'an or the verses of the Qur'an can be maintained and not eroded by time.
Key words: Qur'an, codification, writing
Abstrak
Kodifikasi Al-Qur'an dilatarbelakangi karena para penghafal Al-Qur'an (hafidz) banyak yang syahid dalam perang Badar. Mengingat ketika wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw lewat perantara malaikat jibril, Rasulullah hanya membacakannya saja kepada para sahabat dan dihafalkannya.Â
Ketika perang Badar terjadi, ternyata para hafidz gugur dalam perang tersebut sehingga memunculkan kekhawatiran sudah tidak akan ada lagi sang penghafal Al-Qur'an. Berangkat dari kekhawatiran tersebut, maka tercetuslah untuk menuliskan wahyu. Sehingga ketika para hafidz mati syahid, tulisan Al-Qur'an atau ayat-ayat Al-Qur'an dapat tetap terjaga dan tidak terkikis oleh masa.
Kata kunci: Al-Qur'an, kodifikasi, penulisan
PENDAHULUAN
Kodifikasi Al-Qur'an dilatarbelakangi karena para penghafal Al-Qur'an (hafidz) banyak yang syahid dalam perang Badar. Mengingat ketika wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw lewat perantara malaikat jibril, Rasulullah hanya membacakannya saja kepada para sahabat dan dihafalkannya.Â
Dalam artian wahyu lebih banyak dihafal secara terbuka, menjadi budaya lisan kesucian yang selalu terdengar di majelis manapun dari para sahabat nabi Muhammad, dan penulisan masih belum membudaya. Ketika perang Badar terjadi, ternyata para hafidz gugur dalam perang tersebut sehingga memunculkan kekhawatiran sudah tidak akan ada lagi sang penghafal Al-Qur'an.
Berangkat dari kekhawatiran tersebut, maka tercetuslah untuk menuliskan wahyu. Sehingga ketika para hafidz mati syahid, tulisan Al-Qur'an atau ayat-ayat Al-Qur'an dapat tetap terjaga dan tidak terkikis oleh masa.
METODE PENELITIAN
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode penelitian literature dengan cara mencari ke berbagai sumber internet yang dapat diakses sebagai kajian dari penulisan ini.
PEMBAHASAN
A. Sejarah Penulisan Al-Qur'an pada Zaman Rasulullah
Untuk mengkaji awal penulisan wahyu dapat dicari sumber primer nya dari sumber-sumbr Hadis sahih dan kitab-kitab Sirah Nabawiyah. Dapat dipahami bahwa ketika turunnya wahyu, Nabi Muhammad hanya mengahafal karena budaya orang-orang Arab sangat kuat dalam kemampuan menghafalnya.Â
Namun demikian, tak luput juga sebagian para sahabat menulisnya baik di pelepah kurma, di tulang belulang hewan, dan lain sebagainya. Sebagai contoh, pada awalnya kita dapat melihat adanya naskah surah ke-20 (surah Thaha) milik saudara perempuan dan keluarganya Umar bin Khattab. Seketika itu Umar masuk Islam karena keindahan isi kandungan surah Thaha.Â
Jika pada masa permulaan Islam wahyu itu ditulis dan saling dipertukarkan, hal ini dilakukan tatkala jumlah kaum Muslimin masih sedikit, dan mengalami berbagai siksaan. Naskah-naskah wahyu banyak jumlahnya dan sudah banyak pula beredar ketika Nabi sudah mencapai puncak kekuasaannya dan kitab itu sudah menjadi undang-undang seluruh bangsa Arab, maka dibacakan ulang oleh Rasulullah secara sistematis dan skematis dalam kesaksian terbuka. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar proses- proses pembukuannya (Hoesen Haekal, Sirah Nabawiyah, 1976).
Sesudah perang melawan Musailima al-Kazzab dalam Perang Rid- da, kaum Muslimin banyak yang meninggal, dan di antara mereka adalah para penghafal Al-Qur'an. Umar merasa khawatir dan perlu meng ambil kebijakan untuk membukukan wahyu agar terjaga keaslian dan tidak menimbulkan keragu-raguan bagi generasi mendatang
Umar Ibn Khattab menemui Khalifah Abu Bakar dengan mengata- kan: "Saya khawatir sekali kematian syuhada para penghafal Qur'an, akan terjadi lagi di medan pertempuran lain, selain Yamama dan akan banyak lagi dari mereka yang akan hilang. Menurut hemat saya, cepat- cepatlah kita bertindak dengan memerintahkan pengumpulan Qur'an.Â
Abu Bakar menyetujui pendapat itu. Ia memerintahkan kepada Zaid bin Thabit, salah seorang sekretaris Nabi yang besar: "Engkau pemuda yang cerdas dan saya tidak meragukannya. Engkau adalah penulis wahyu pada Rasulullah SAW dan kau mengikuti Qur'an; maka sekarang kumpulkanlah." Pekerjaan ini terasa tiba-tiba sekali di luar dugaan, inilah kecerdasan Umar sebagai kecintaan pada dorongan keyakinan untuk menjaga akurasi wahyu dan risalah.
Zaid teliti sekali dalam menjalankan tugas dan tidak pula menyuruh orang lain melakukannya. Akan tetapi akhirnya, Zaid mngikuti tugas ke- hendak Abu Bakar dan Umar, karena sangat mendesak. Zaid bin Thabit berusaha sungguh-sungguh mengumpulkan surah-surah dan bagian- bagiannya dari segenap penjuru sahabat dan mengumpulkan sumber- sumber teks dan tulisan wahyu dari berbagai medium yang masih berserakan disimpan sahabat. Ada yang ditulis pada daun-daunan, di atas batu putih, tulang kambing dan unta dan ditulis pada kulit, serta menyempurnakan dengan hafalan.
Usaha Zaid ini mengawali proses melakukan penulisan nash-nash Al-Qur'an selama dua atau tiga tahun terus-menerus, mengumpulkan semua bahan serta menyusun kembali (mengklasifikasi) seperti penghafalan secara sistematis sebagaimana dilakukan Rasulullah, sebagai- mana yang ada sekarang ini, atau mengikuti sistematika dan skematika pembacaan Zaid sendiri dalam membaca Qur'an di hadapan Rasulullah Muhammad.Â
Sesudah naskah pertama lengkap adanya, oleh Umar dipercayakan kepada Hafsha untuk menyimpannya. Hafsha adalah putrinya dan istri Nabi.
Kitab yang sudah dihimpun oleh Zaid ini tetap berlaku selama Khalifah Umar, sebagai teks yang autentik, orisinal, dan sah. Tetapi ke- mudian terjadi kesulitan mengenai cara membaca, yang timbul baik karena tanpa harakat pada naskah Zaid, tatkala akan dilakukan penya- linan. Ali bin Abi Thalib memberikan dasar-dasar pembacaan dan memberi tanda baca, sehingga lengkap sempurna.
- Pada Zaman Sahabat (Mushaf Usman)
Karena umat semakin banyak dan meluas menyebar jauh, terjadi perselisihan dalam pembacaan dan penghafalan baca Al-Qur'an. Akibat perbedaan ini Umar merasa gelisah sekali. Kemudian Khalifah Umar meminta agar Usman turun tangan. "Supaya jangan ada lagi orang ber- selisih tentang bacaan kitab mereka sendiri seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani."Â
Sesudah itu dilakukan penyalinan pada masa Khalifah Usman, untuk menghindarkan bahaya karena perselisihan. Zaid binThabit dimintai bantuannya menjadi sumber pokok penulisan dengan diperkuat oleh tiga orang dari Quraisy. Naskah pertama yang ada di ta ngan Hafsha lalu dibawa, dan cara membaca yang berbeda-beda dari seluruh persemakmuran Islam itu pun dikemukakan, lalu semuanya diperiksa kembali dengan ketelitian yang luar biasa, dengan dikuatkan oleh kesaksian-kesaksian secara terbuka.
Tatkala Zaid berbeda pendapat dengan ketiga sahabatnya dari Qu- raisy, ia lebih condong pada suara mereka mengingat turunnya wahyu dengan menurut logat Quraisy, meskipun dikatakan wahyu itu ditu- runkan dengan tujuh dialek Arab yang bermacam-macam. Selesai di. himpun, naskah-naskah menurut Qur'an ini lalu dikirimkan ke seluruh kota persekemakmuran.Â
Manakala ada naskah-naskah yang tidak ber- dialek Arab Qurasy, dikumpulkan atas perintah khalifah lalu dibakar. Naskah yang berlaku adalah naskah dengan dialek harakat sebagaimana akurasi yang disaksikan para sahabat dari Rasulullah. Adapun naskah asli, yang pertama dikembalikan kepada Hafsha (Manna al-Qothon, 1976)
Maka yang sampai kepada kita adalah mushaf Usman. Begitu cer- mat pemeliharaan atas Qur'an itu, sehingga hampir tidak kita dapati -bahkan memang tidak kita dapati perbedaan apa pun dari naskah- naskah yang tak terbilang banyaknya, yang tersebar ke seluruh penjuru dunia Islam yang luas itu.
Naskah Al-Qur'an yang satu itu juga yang selalu tetap menjadi Qur'an bagi semuanya. Demikianlah, Islam yang hanya mengenal satu kitab itu ialah bukti yang nyata sekali, bahwa apa yang ada di depan kita sekarang ini tidak lain adalah teks yang telah dihimpun atas pe rintah Khalifah Umar dan penyalinan dalam jumlah banyak berdasar petunjuk Khalifah Usman bin Affan.Â
Bahkan di seluruh dunia ini tidak ada satu kitab pun selain Qur'an yang sampai dua belas abad lamanya tetap lengkap dengan teks yang begitu murni, akurat, valid, autentik, skematis, sistematis, serta disusun penuh cermat dan kamilah. Adanya cara membaca yang berbeda-beda itu sedikit menimbulkan keheranan bagi kalangan umat yang sudah menyebar dalam berbagai kawasan dan pengaruh tradisi. Perbedaan ini kebanyakannya terbatas hanya pada cara mengucapkan huruf hidup saja.
Sekarang kita dapat mengambil kesimpulan dengan meyakinkan bahwa mushaf Usman itu tetap dalam bentuknya yang persis seperti yang dihimpun oleh Zaid bin Thabit, dengan lebih disesuaikan bahan- bahannya yang sudah ada lebih dahulu dengan dialek Quraisy.
Lalu bagaimana proses pembukuan wahyu sehingga menjadi Al-Qur'an yang utuh?
B. PROSES PEMBUKUAN WAHYU
- Fase Awal
Langkah awal penting pengumpulan dan penulisan nash-nash Al- Qur'an pertama selesai dilaksanakan di bawah pengawasan Abu Bakar Abu Bakar seorang sahabat yang jujur dan setia kepada Muhammad Rasulullah. Ia juga adalah seorang yang sepenuhnya beriman pada kesucian sumber Qur'an, orang yang hubungannya begitu erat sekali dengan Nabi selama dua puluh tahun terakhir dalam hayatnya, orang yang sederhana, bijaksana dan bersih dari gejala ambisi, sehingga ba- ginya memang tak adalah tempat buat mencari kepentingan lain.
Abu Bakar dan para sahabat lainnya, meyakini sepenuh iman bah- wa apa yang diwahyukan kepada Rasulullah adalah wahyu dari Allah. Semua teks dikumpulkan dan dilakukan penyusunan dengan peng- awasan bersama. Semangat mereka semua sama, yakni ingin memperlihatkan ka- limat-kalimat dan kata-kata seperti yang dibacakan oleh Nabi, bahwa itu adalah risalah dari Tuhan.Â
Keinginan mereka hendak memelihara kemurnian itu sudah menjadi perasaan semua orang, sebab tak ada se- suatu yang lebih dalam tertanam dalam jiwa mereka seperti rasa ku- dus yang agung itu, yang sudah mereka percayai sepenuhnya sebagai firman Allah. Dalam Qur'an terdapat peringatan-peringatan akan an- caman siksa bagi barangsiapa yang mengadakan kebohongan atas Allah atau menyembunyikan sesuatu dari wahyu-Nya.
- Fase Kedua
Pengumpulan tersebut selesai selama dua atau tiga tahun sesudah Muhammad wafat. Kita sudah melihat beberapa orang pengikutnya, yang sudah hafal wahyu itu di luar kepala, dan setiap Muslim sudah hafal sebagian, juga sudah ada serombongan ahli-ahl Qur'an yang di- tunjuk oleh pemerintah dan dikirim ke segenap penjuru daerah Islam guna melaksanakan ritual dan mengajar orang memperdalam agama Dari mereka semua itu terjalinlah suatu mata rantai penghubung antara wahyu yang dibaca Muhammad pada waktu itu dan yang dikumpulkan oleh Zaid.Â
Kaum Muslimin bukan saja bermaksud jujur dalam mengumpulkan Qur'an dalam satu mushaf itu, tapi juga mempunyai segala fasilitas yang dapat menjamin terlaksananya maksud tersebut, menjamin terlaksananya segala yang sudah terkumpul dalam kitab itu Isi dan susunan Qur'an jelas sekali menunjukkan cermatnya pengumpulan.Â
Bagian-bagian yang bermacam-macarn disusun secarasederhana tanpa dipaksa-paksa atau dibuat-buat. Tak ada bekas tangan yang mencoba mau mengubah atau mau memperlihatkan keahliannya sendiri. Itu menunjukkan adanya iman dan kejujuran si penghimpun sendiri menjalankan tugasnya itu.Â
Ia tidak berani lebih daripada meng. ambil ayat-ayat suci itu seperti apa adanya, lalu meletakkannya yang satu di samping yang lain. Jadi, penghimpunnya tidak melewatkan satu pun apa yang ada dalam wahyu itu. Juga kita dapat yakin, berdasarkan bukti-bukti yang kuat, bahwa setiap ayat dari Qur'an itu memang sa ngat teliti sekali dicocokkan dengan persis seperti yang dibaca oleh Nabi Muhammad.
- Penulisan Huruf Al-Qur'an
Para sahabat mengumpulkan nash-nash Al-Qur'an berupa tulisan Arab gundul biasa tanpa harakat dan syakal sehingga bagi mereka para sahabat yang kurang paham akan terjadi kekeliruan pembacaan sehingga menimbulkan perselisihan di kalangan sahabat.Â
Akhirnya Ali bin Abi Tha- lib membantu menyelesaikan masalah dan memberi penjelasan dalam tiap huruf agar lebih jelas dapat dibaca terutama dalam syakal. Syakal terus berkembang dan mengalami perbaikan oleh para sahabat demi memudahkan pemahaman pada generasi seterusnya (Yusri Abdul Ghani Abdullah, Historiografi Islam, 2004).
KESIMPULAN
Proses kodifikasi al-Qur'an berlangsung dengan berbagai pertimbangan. Karena pada awal diturunkannya, al-Qur'an ini tidak ditulis secara keseluruhan, hanya pada pelepah kurma, tulang batu, dan sebagainya. Mulailah pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar Shidiq setelah meletusnya perang riddah yang menewaskan banyak penghafal al-Qur'an ada kekhawatiran pada masyarakat Islam akan hilangnya al-Qur'an maka dimulailah proses penulisan al-Qur'an. Penulisan atau pengumpulan al-Qur'an ini terus berlangsung sampai zaman Umar bin Khattab. Barulah pada zaman Utsman bin Affan, al-Qur'an telah utuh menjadi satu mushaf atau dikenal dengan sebutan mushar utsmani.
DAFTAR RUJUKAN
Fajriudin. Historiografi Islam: Konsepsi dan Asas Epistemologi Ilmu Sejarah dalam Islam. Jakarta: Prenadamedia Group. 2018.
Iryana, Wahyu.(2021). Historiografi Islam. Jakarta: Kencana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H