Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Penebang Pohon Alim di Negeri Demokrasi

1 September 2024   00:46 Diperbarui: 1 September 2024   00:46 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akan tetapi berikutnya, setelah banteng-banteng dibuat mengembik di kandangnya, sekalipun nyata-nyata kemenangan atas putranya diraih lewat perolehan suara terbanyak, sejumlah masyarakat bersikeras kemenangan itu datang dari abuse of power dan sederet kecurangan yang menghasilkan pemilih kotor (dirty vote). 

Kecurangan yang bahkan dikatakan terstruktur, sistematis dan masif itu akhirnya berubah jadi tuduhan yang lalu digugat.

Ragam tuduhan kecurangan yang tetap berkutat di Putusan MK Nomor 90, keberpihakan KPU, penggunaan bansos pakai APBN, mobilisasi aparat pemerintah, intimidasi konstituen dan money politics. 

Tapi tentu saja gugatan itu tak mengarah langsung pada tukang kayu yang tak lagi biasa ini, oleh karenanya kealiman dan tesis orang baik tak tergoyahkan seperti penebang pohon alim yang imannya langsung terjun oleh uang di bawah bantal. 

Hari-hari selanjutnya, dijelang akhir masa jabatan muncul lagi buah keputusan hukum yang kembali diduga ada cawe-cawe darinya saat keluar Putusan MA Nomor 23.

Lain waktu digunakan loyalitas insentif dan injak kaki atas dugaan campur tangan dalam pelaksanaan RUU Pilkada untuk menjegal Putusan MK Nomor 60 dan Nomor 70, dan banyak dugaan lainnya. Apakah dugaan-gugaan ini menunjukkan bahwa kealiman dan tesis orang baik cenderung meluntur atau musnah sama sekali, seperti keimanan penebang pohon alim yang tiba-tiba turun ke dasar saat menerima godaan uang di bawah bantal?   

Salah satu peristiwa yang juga diduga menjadi cara dalam melanggengkan narasi politik dinasti agar memiliki kendaraan politik bagi keturunan sang tukang kayu yang tak lagi biasa adalah pengunduran diri ketua umum partai berlambang pohon beringin, yang tentu saja sangat identik dengan riwayatnya sebagai tukang kayu yang sudah bukan lagi tukang kayu biasa. 

Dengan perkakas loyalitas injak kaki, katanya ia bergegas memangkas pohon beringin sebelum munas supaya hajat politiknya tuntas. Cerita ini pulalah yang lalu membesar dan menciptakan kelakar politik, yang menurut sejumlah tokoh merupakan kelakar politik terbaik tahun ini. 

"Sebesar-besar pohon, kalau melawan tukang kayu akan tumbang juga. Pohon beringin, pohon jati, itu gede banget. Tapi kalau ketemu tukang kayu jadi perabot lu. Dia (tukang kayu) punya perkakas," begitu kata Qodari, seorang konsultan politik yang tengah naik daun.

Dalam konteks tukang kayu yang tak lagi biasa dengan posisinya di puncak kuasa jelang akhir masa jabatan di negeri demokrasi, analogi penebang pohon alim yang kalah oleh tawaran Iblis melalui kompensasi uang seakan menjadi tidak sebanding. 

Sebab seolah ada ketidakselarasan konteks untuk membandingkan yang mana pohon keramatnya, siapa penyembahnya, siapa pengganti Iblisnya, apa penggodanya, bagaimana memposisikan objek dan subjek kalah dan menangnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun