Ujungnya, kealiman dan tesis orang baik terhadap tukang kayu yang tak lagi biasa dalam menjabat Presiden Republik Indonesia hingga ke akhir masa kepemimpinannya justru terus menguat.Â
Terbukti dengan dimunculkannya wacana masa perpanjangan jabatan tiga periode, yang diduga berasal dari orang-orang di dekatnya atau massa pendukungnya. Dan sepertinya bagi sejumlah mereka, kealiman dan tesis orang baik tidak boleh dihalangi oleh konstitusi.Â
Moksa kealiman dan tesis orang baik juga masih melekat di sebagian besar masyarakat saat beredar berita tentang cawe-cawe dan narasi politik dinasti yang diduga sedang dibangun oleh tukang kayu yang tak lagi biasa dijelang penghabisan masa jabatannya.Â
Di mulai dengan Putusan MK Nomor 90, ia diisukan melakukan hianat pada partai yang membesarkan namanya. Banyak rumor beredar bahwa apa yang dilakukannya bermula dari sebutan 'petugas partai' kepada dirinya.
Bayangkan jika rumor itu benar adanya, seorang Presiden, penguasa nomor 1 di negeri demokrasi bernama Republik Indonesia tak lebih dari sekadar petugas partai, siapa yang tak sakit hati?
Tapi kealiman dan tesis orang baik yang telah melekat pada tukang kayu yang tak lagi biasa ini, membuat banyak orang menafikan.Â
Bahwa ia tak mungkin mempunyai sifat balas dendam, dan tak akan menjadikan sebutan petugas partai sebagai godaan untuk tidak setia pada partai yang sudah menempanya menjadi tukang kayu yang tak lagi biasa.
Kendati begitu, banyak indikasi yang jauh lebih masuk akal dan bisa melunturkan kealiman dan tesis orang baik dari dirinya ketimbang hanya karena sebutan petugas partai.Â
Seperti indikasi adanya isu keinginan dari ibu suri, isu keinginan melanjutkan cita-cita yang tidak bisa dipercayakan kepada orang lain kecuali keturunan atau orang-orang kepercayaannya, pengaruh lingkungan politiknya atau indikasi-indikasi lainnya yang membuat dirinya bisa tergoda sebagaimana iman penebang kayu alim, luntur oleh kompensasi uang di bawah bantal.
Entah indikasi yang mana telah membuatnya mengubah sikap dan perilaku, melawan dalam konteks menaklukkan banteng-banteng politik bagai kerbau dicocok hidungnya dengan menanggalkan atribut tukang kayu yang tak lagi biasa, saat dirinya mulai terbaca menyodorkan putranya untuk menggantikan kuasa.Â
Lalu menjelmakan dirinya dengan memakai traje de luces, membawa muleta di tangan dan berdiri seumpama torero di kandang banteng serta dengan gagah berani melakukan aksi faena sampai membuat banteng-banteng mengembik di kandangnya sendiri. Sehingga layak disematkan kepadanya atribut maestro matador politik. Sang penakluk banteng.  Â