Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Senang menulis kreatif berbasis data

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Nostalgia Memakai Baju Adat dalam Karnaval Sekolah Era 80-an

19 April 2024   21:31 Diperbarui: 21 April 2024   02:00 1803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karnval pakaian adat tahun 80-an (Dokumentasi pribadi)

Kebetulan polemik seragam sekolah masih hangat, saya ingin tulis kembali kenangan masa kecil saya di kampung ketika terpilih menjadi salah satu siswa yang menjadi perwakilan sekolah kami dalam karnaval baju adat.

Setting waktu artikel ini adalah tahun 1980-an. Latar belakangnya adalah masyarakat pesisir di Kecamatan Kewapante, Kabupaten Sikka, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.

Umur saya ketika itu masih di bawah 10 tahun. Kira-kira masih duduk di kelas II atau kelas III SD. Jadi kebayang kan, betapa masih unyu-unyunya saya saat itu.

Di kecamatan kami waktu itu ada 3 SD, yaitu 2 SD di bawah naungan yayasan Katolik, dan 1 SD Inpres. Saya sekolah di SD Inpres ini.

Mengenang kembali peristiwa ini saya tersadar, ternyata tradisi parade pakaian adat Nusantara ini sudah ada sejak dulu.

Setidaknya, dari pengalaman saya sendiri, peristiwa seperti ini selalu identik dengan hiburan yang menyedot perhatian rakyat, dalam hal ini warga yang berasal dari kampung-kampung lain. Biasanya diadakan bersamaan dengan hari-hari besar seperti peringatan kemerdekaan 17 Agustus.

Semarak Perayaan

Semarak perayaan kemerdekaan ini sudah bisa dirasakan sejak awal bulan di mana warga disuruh untuk memasang tiang bendera dari bambu di halaman rumah yang dicat warna putih, dan di ujung bagian atas dicat dengan warna merah.

Bendera kemudian dipasang sampai dengan batas hari yang ditentukan untuk diturunkan.

Sementara rumah-rumah yang berpagar diminta untuk dicat dengan warna merah putih, taman-taman dibersihkan dan diberi hiasan bernuansa merah putih. 

Ada juga hiasan-hiasan dari kertas minyak yang di dalamnya diisi dengan lampu minyak, sehingga kalau malam hari akan menyala dengan aneka warna. Kampung sudah semarak untuk menyambut hari kemerdekaan.

Warga sendiri dilibatkan untuk mengikuti berbagai kegiatan lomba yang diselenggarakan oleh pemerintah atau organisasi kemasyarakatan. Misalnya lomba gerak jalan, tarik tambang, lari karung, dan lomba yang lain.

Anak-anak sekolah pun dilibatkan dengan berbagai lomba dan kegiatan lainnya.

Dari semua kegiatan tersebut, gerak jalan menjadi kegiatan paling favorit.

Hampir setiap sudut jalan kampung warga berkumpula dengan kelompoknnya masing-masing untuk melatih baris berbaris sebelum latihan gerak jalan di jalan.

Setiap sore, jalan raya di depan rumah dilalui oleh bapak-bapak, ibu-ibu, dan anak-anak sekolah yang sedang latih gerak jalan.

Suara komandan regu yang lantang bersahut-sahutan satu sama lain ketika rombongan gerak jalan ini berpapasan di jalan. Kadang mereka saling mengejek sehingga barisannya menjadi berantakan untuk sesaat.

Ketika hari sudah sore rombongan-rombongan gerak jalan tadi membubarkan diri dan pulang ke rumah masing-masing.

Untuk level kampung saya, kegiatan latihan gerak jalan menjadi hiburan bagi warga yang sedang menikmati waktu istirahat mereka di sore hari. Biasanya warga akan bercengkerama bersama di pinggir jalan, atau di teras rumah yang ada di pinggir jalan sambil minum kopi atau teh. Mereka mengisi waktu istirahat tersebut sambil mengganggu peserta lomba gerak jalan yang sedang berlatih.

Saya termasuk anak yang suka nonton latihan gerak jalan tersebut. Semuanya saya lihat sambil duduk bersama teman-teman di pinggir jalan. Giliran ketemu regu anak-anak SD kami suka mengganggunya.

Kadang-kadang kami ikut di belakang mereka sambil bercanda dan menggoda yang sudah kelihatan mulai cape. Saya tidak dilibatkan dalam regu gerak jalan karena postur tubuh saya waktu itu terlalu pendek.

Sebagai kompensasi dari itu, saya dipilih oleh sekolah kami untuk menjadi peserta karnaval yang diadakan pada puncak peringatan kemerdekaan tanggal 17 Agustus.

Sekolah kami waktu itu menentukan bahwa setiap kelas, mulai dari kelas I sampai kelas VI harus ada perwakilannya dalam karnaval baju adat ini. Setiap kelas akan diwakili dua orang, satu laki-laki dan satu perempuan.

Perwakilan Sekolah

Saya terpilih mewakili kelas II dengan pasangan saya seorang perempuan. Postur tubuh kami sama-sama pendek dan kecil.

Setiap hari, setelah bubar sekolah kami langsung dikumpulkan oleh guru penanggung jawab karnaval untuk berlatih sebentar.

Materi latihannya berupa formasi kelompok, urutan berdiri dalam kelompok, dan cara berjalan.

Kami disuruh untuk berjalan dalam kelompok yang sudah terbentuk mengelilingi gedung sekolah yang berbentuk huruf U.

Karena postur kami paling pendek dan paling kecil maka posisi kami ditempatkan paling belakang. Sementara yang paling depan adalah siswa kelas VI yang badannya paling tinggi dan paling besar.

Kami diwajibkan berlatih setiap hari supaya jalannya bisa teratur, tetap dalam kelompok, tidak ada yang ditinggal jauh.

Mengingat beberapa peserta ukuran badannya tidak jauh beda dengan saya, boleh jadi pihak sekolah sudah memperhitungkan kemungkinan tersebut, sehingga kami diharuskan untuk berlatih terus biar bisa selaras ketika bejalan dalam kelompok.

Baju Adat Bugis

Selama latihan pihak sekolah sudah menentukan pakaian adat dan modelnya siapa saja.

Mungkin karena di kampung, wawasan tentang pakaian adat guru-guru kami masih terbatas sehingga alternatifnya tidak banyak selain pakaian adat daerah sendiri, ditambah dengan beberapa pakaian adat dari kabupaten tetangga seperti Ende-Lio dan Flores Timur.

Sisanya, penentuannya sangat random, berdasarkan koleksi baju adat yang dimiliki orang tua siswa.

Kebetulan kami masih punya keturunan Bugis-Makassar, maka saya ditunjuk untuk memakai baju adat Bugis Makassar. Rekan saya yang perempuan tinggal menyesuaikan dengan baju bodo.

Problem yang saya hadapi setelah itu adalah ukuran topi baju, dan sarungnya yang tidak ada. Karena pada umumnya yang biasa mengenakan baju Bugis ini adalah orang dewasa yang ukurannya bisa tiga kali lebih besar dari badan kepala dan badan saya.

Baca juga:

"Pande Temmo" Tradisi Khatam Quran Masyarakat Bugis-Makassar di Maumere-Pulau Flores 

Karena sudah ditentukan harus memakai baju adat Bugis, orang tua saya mau tidak mau harus mengusahakannya sampai dapat. 

Waktu itu belum ada jasa penyewaan baju adat seperti sekarang, jadi sangat mengandalkan hubungan kekeluargaan. Pakaian Bugis dari saudara dalam satu kampung ukurannya besar-besar semua. Tidak ada satu pun yang bisa mendekati ukuran sekecil badan saya.

Akhirnya harus keluar kampung, pinjam sama temannya kerabat di daerah pemukiman orang-orang Bugis di Magepanda, sekitar 30 kilometer ke arah barat dari kampung saya. Untuk ke sana terpaksa orang tua harus sewa kendaraan.

Beruntung sekali waktu itu, karena ada satu set baju bugis yang baru habis dipakai untuk acara sunatan anak dari temannya kerabat kami ini. Setelah dicoba, meski masih ada longgar-longgar sedikit kami bawa saja. Dan jadilah saya memakai baju adat Bugis ini.

Hari yang dinanti pun tiba, tanggal 17 Agustus di tahun 1980-an awal. Semua anggota kelompok dari sekolah kami sudah dikumpulkan di salah satu rumah kenalan guru kami yang letaknya kurang lebih 300 meter dari pasar rakyat.

Pasar rakyat ini semacam tanah lapang yang berada di tengah-tengah bangunan pertokoan yang formasinya berbentuk kotak. Pasar ini sehari-harinya adalah tempat warga berjualan kebutuhan pokok.

Namun, untuk momen-momen penting seperti perayaan 17 Agustus pasar rakyat menjadi tempat yang ditunjuk oleh kecamatan sebagai pusat kegiatan, mulai dari upacara, pertandingan, karnaval, dan kegiatan lainnya. Acara karnaval baju adat ini sendiri diagendakan sore hari.

Kami sudah bersiap-siap sejak jam 2 siang. Guru-guru pendamping, perias pakaian adat, orang tua sudah berkumpul untuk menyaksikan anak-anaknya dirias dalam berbagai macam baju adat. Saya sendiri dirias oleh ibu sendiri.

Setelah mengenakan celana dan baju, dipasanglah sarung dengan cara diikat samping. Di pinggang sebelah kiri dipasang sebilah supi (pisau orang Bugis) dengan posisi menghadap ke depan. Setelah semua terpasang, terakhir baru pemasangan topi di kepala.

Selesai sudah saya dirias oleh ibu dengan baju adat Bugis. Kini tinggal menunggu pasangan saya yang sedang dirias dengan baju bodo yang kayak dengan aksesoris dan pernak-perniknya.

Saya dan beberapa teman yang sudah selesai dirias hanya menunggu di dalam ruang tamu sambil mengamati orang-orang yang lalu lalang di depan rumah.

Akhirnya semua anggota kelompok perempuan selesai dirias juga. Kami diatur untuk berdiri dengan pasangan masing-masing dalam formasi kelompok seperti dalam latihan.

Dari situ saya bisa melihat banyak macam pakaian adat yang dikenakan oleh teman-teman. Warnanya bervariasi, bentuk pakaiannya juga tidak seperti biasa yang dilihat sehari-hari.

Saya sendiri melihat pasangan saya dengan takjub karena baju bodo yang dikenakannya warnanya sangat cerah dengan perhiasan di mana-mana.

Tibalah giliran kami keluar satu per satu dari ruang tamu menuju halaman untuk menunggu waktu pertunjukan tiba.

Begitu tiba waktunya untuk berangkat, guru pendamping langsung memberikan aba-aba kepada kami untuk begerak pelan-pelan menuju ke jalan raya sebagai pusat pertunjukannya.

Karena di sepanjang jalan tersebut warga sudah berdiri berdesakan hanya untuk melihat kami lewat dalam pakaian kebesaran dari daerah yang kami wakili.

Jalanan di depan kami benar-benar kosong, hanya ada dua atau tiga orang yang memegang tustel mengambil gambar kami. Mobil waktu itu masih jarang di kampung. Sepeda motor juga sama. Hanya sepeda ontel yang banyak.

Semua berhenti di pinggir jalan untuk memberi kami jalan. Guru pendamping selalu mengingatan siswa paling depan agar perlambat jalannya karena kami di belakang sudah mulai ketinggalan.

Cape dan grogi bercamur jadi satu. Tapi hati senang juga karena merasa mendapat perhatian dari orang-orang di pinggir jalan.

Saya selalu berjalan beriringan dengan pasangan saya yang terlihat agak repot dengan baju bodo yang mulai kedodoran. Orang tuanya dan guru pendamping selalu siap membantu memperbaiki bajunya.

Setelah melewati jalan raya akhirnya kami tiba di depan pintu pasar untuk masuk ke dalam lapangan yang sudah disiapkan. Kami maju pelan-pelan mengikuti aba-abab dari guru pendamping.

Udara mulai terasa panas karena kerumunan warga di dalam pasar mulai padat. Seorang polisi yang bertugas mengamankan jalannya karnaval ini berusaha menghalau warga yang ingin mendekati kami. Kami diberi tempat yang luas untuk terus maju mendekati tempat para pejabat kecamatan dan desa yang sudah menunggu di dalam tenda.

Perlahan-lahan kelompok kami memasuki tenda dan diarahkan untuk berhenti persis di depan tempat duduk camat dan para kepala desa. Warga yang berkumpul di sekitar tenda semakin padat.

Kami mulai panas karena akses udara sudah ditutupi kerumunan warga. Ditambah lagi bahan dari baju yang dipakai ini juga panas. Keringat mulai mengucur di badan ketika Pak Camat memerikan kata sambutan.

Karnaval pakaian adat sekarang (Sumber: Sindonews.com)
Karnaval pakaian adat sekarang (Sumber: Sindonews.com)

Kami hanya berdiri sambil mendengarkan pidato para pejabat dari kecamatan dan desa. Waktu itu belum ada air mineral kemasan seperti sekaran, jadi kalau haus harus ditahan sampai acara selesai. Maka kami pun terjebak dalam udara yang panas dan rasa haus.

Akhirnya semua sambutan selesai dan kami pun diberi kesempatan untuk duduk di kursi dan diberi minum oleh panitia. Sesudah itu kami disuruh berkumpul lagi dalam format semula untuk difoto bersama.

Hasilnya seperti yang Kompasianer lihat pada foto artikel ini. Itu adalah satu-satunya foto kenangan saya memakai baju adat kebesaran nenek moyang kami dalam peringatan 17 Agustue di kampung saya. Posisi saya berdiri di pokok kiri paling belakang, memakai kemeja putih dengan songkok Bugis.

Konteks Pendidikan Sekarang

Baju adat sebetulnya merupakan gambaran kekayaan adat istiadat bangsa kita yang direfleksikan melalui desain pakaian yang tidak saja indah, tetapi mengandung pesan filosofis yang dalam.

Sebagai anak bangsa yang mewarisi kekayaan budaya tersebut, kita wajib melestarikan semua hasil karya nenek moyang kita yang telah menciptakan desain pakaian yang sangat beragam.

Pakaian adat adalah cerminan keragaman sosial yang menjadi ciri utama bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang beragam kita harus mengembangkan sikap dan perilaku yang toleran terhadap perbedaan-perbedaan yang ada di sekitar kita.

Memperkenalkan baju adat kepada anak-anak sejak dini merupakan langkah pembelajaran yang positif dalam memperkenalkan pluralisme Indonesia kepada anak-anak.

Sekolah sebagai institusi pendidikan formal merupakan tempat yang paling strategis dalam melaksanakan peran ini.

Program-program karnaval yang diperkenalkan sejak PAUD, TK, hingga SD merupakan langkah strategis untuk mengenalkan Indonesia yang majemuk kepada anak.

Dengan melihat baju adat yang berbeda-beda pikiran sudah dibuka sejak kecil tentang Indonesia yang beragam.

Ilustrasi pakaian seragam khas sekolah berbasis pada adat lokal (Sumber: Kompas.com)
Ilustrasi pakaian seragam khas sekolah berbasis pada adat lokal (Sumber: Kompas.com)

Pemerintah sendiri dalam menunjang pembentukan sikap nasionalisme tersebut telah membuat Undang-undang Nomor 50 Tahun 2022 Pakaian Seragam Sekolah Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.

Dalam UU ini selain pakaian seragam nasional dan pramuka, pemerintah juga membuka opsi pakaian seragam siswa sesuai ciri khas sekolah yang mengacu pada adat istiadat lokal yang menjadi pola utama.

Pemerintah juga mendorong agar setiap pemerintah daerah membiasakan untuk memakai pakaian adat pada momen-momen khusus atau momen bersejarah lainnya.

Depok, 19 April 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun