Pada ranah bencana alam, negara Jepang memiliki potensi bencana alam yang jauh lebih besar dibandingkan di Indonesia. Bila dibandingan antara Jepang dan Indonesia; Indonesia jauh lebih aman. Tidak banyak yang mengetahui bahwa gempa bumi nyaris terjadi setiap hari di Jepang.
Di Jepang, penanggulangan bencana alam sudah sangat efektif dan efisien. Di negara yang menyandang Negeri Sakura tersebut, sistem peringatan bencana alam yang berfungsi dengan sangat baik. Peringatan muncul sebelum bencana alam terjadi, tidak seperti di Indonesia yang justru distribusi peringatan bencana alam--gempa, tsunami, kebakaran, dan sebagainya---cenderung lebih aktif setelah bencana alam terjadi.
Operator seluler berpartisipasi aktif dalam peringatan bencana alam. Terdapat pula perangkat eletronik seperti TV dan laptop yang dolengkapi dengan perangkat eletronik semacam alarm yang mampu berbunyi untuk menyebarkan tanda bencana. Beberapa titik daerah rawan gempa seperti di Shizouka terdapat pengeras suara yang secara rutin menyebarkan peringatan tanda bencana.
Inovasi Jepang dalam kualitas sadar bencana tersebut memang perlu diteladani dalam upaya penanggulangan bencana di Indonesia. Kita perlu mengadopsi inovasi di bidang teknologi dan sistem keamanan negara.
Walaupun demikian, kemajuan Jepang dalam inovasi teknologi penanggulangan bencana tidak akan berjalan tanpa adanya proses pembentukan imaji positif dalam budaya sadar bencana.
Mari kita cermati peristiwa bencana alam gempa bumi 9 skala richter yang memicu tsunami di kawasan utara Jepang pada Maret 2011. Dalam peristiwa ini, sekitar 3.000 siswa sekolah dasar dan menengah di Kota Kamaishi, Prefektur Iwate, selamat. Gempa bumi yang dahsyat tersebut tidak menimbulkan kepanikan dan kekacauan.
Alih-alih para siswa di Kamaishi East Junior High Schoool keluar dari gedung sekolah dan berlari menuju tempat yang tinggi. Reaksi tersebut memicu siswa dan guru di sekolah dasar Unosamai beserta penduduk di kawasan tersebut, turut melakukan tindakan yang sama. Kisah keberhasilan evakuasi tersebut dikenang sebagai The Miracle of Kamaishi. Di mana para siswa memiliki aktif secara spontan untuk melakukan evakuasi tanpa perlu digerakkan.
Peristiwa The Miracle of Kamaishi tidak lepas dari peran seorang profesor teknik sipil di Gunma University, Toshitaka Katadata. Dalam upaya peningkatan budaya sadar bencana, Toshitaka Katadata memberikan edukasi 'sikap yang benar' dalam menghadapi bencana alam.
Kesadaran tersebut merupakan dasar dari kegiatan-kegiatan yang diterapkan dalam pelatihan evakuasi bencana alam. Dengan demikian, bencana alam memiliki imajinasi positif.
Masyarakat tidak melihat bencana alam sebagai kondisi yang menakutkan, melainkan sebuah cara alam berkomunikasi dengan manusia. Rasa hormat pada alam yang tumbuh dalam kesadaran akan mendorong kita untuk menyambut komunikasi tersebut dengan sikap positif dan memberikan reaksi yang positif pula.