Pada masyarakat ini proses komunikasi cenderung lebih efektif, karena komunikatir dan komunikan berada pada kualitas yang relatif sama atau bersifat homogen. Komunikatir tidak akan mengalami kesulitan di dalam memformulasikan simbol-simbol komunikasi menurut kapasitas komunikan.
Komunikasi homophily inilah yang membuat cerita rakyat Simeulue jauh lebih efektif dalam membentuk 'sikap yang benar' yang telah dicapai para pelajar Kota Kamakashi dalam menghadapi bencana. Hal inilah yang belum dicapai komunikasi peningkatan ualitas budaya sadar bencana melalui sabdiwara radio Asmara di Tengah Bencana. Â Â
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa perlu adanya  rekonstruksi imaji terhadap bencana; dari imaji negatif menuju imaji positif. Imaji positif dalam menyikapi bencana alam akan membentuk 'sikap yang benar' sebagaimana yang dipelopori Toshitaka Katadata di Kota Kamaishi.
Dalam sikap yang benar tersebut, Katadata menuntun para siswa Kamaishi untuk menyikapi bencana sebagai dengan cara 'menghormati alam'. Berkat 'sikap yang benar' tersebut, sekitar 3000 siswa Kamaishi selamat dari bencana alam tsunami pada Maret 2011.
Di Indonesia, pembentukan imaji positif tersebut telah masyarakat Simeulue yang digerakkan cerita rakyat berusia sekitar 100 tahun. Bahwa, air laut surut, mereka harus segera lari ke gunung. Cerita rakyat ini tentunya menggunakan bahasa daerah dan menggunakan materi sistem ilmu pengetahuan lokal yang lazim disebut kearifan lokal.
Menggunakan bahasa daerah Simueulue, berkisah tentang masyarakat Simeulue, dan menggunakan elemen latar belakang geografis masyarakat Simeulue. Tidak mengherankan, penggunaan ceruta rakyat ini menuntun masyarakat Simeulue memiliki budaya sadar bencana yang sangat bagus dan mendorong mereka untuk pro aktif dalam bencana. Korban jiwa hanya 7 orang. Padahal, Simeulue merupakan salah satu wilayah Aceh yang sangat dekat dengan titik pusat tsunami pada 2004. Â
Dalam ilmu komunikasi, teknik komunikasi sadar bencana yang dilakukan masyarakat Simeulue disebut komunikasi yang bersifat homophily. Sebagai agen perubahan sentral dalam penanggulangan bencana, BNPB perlu mengembangkan komunikasi homophily sebagaimana yang dilakukan masyarakat Simeulue.
Kita harus menggali cerita rakyat yang relevan dengan evakuasi bencana alam. Bila tidak ditemukan, bisa berinovasi membuat cerita rakyat yang baru, tetapi tetap dengan menggunakan bahasa masing-masing daerah. Dengan demikian, informasibudaya sadar bencana akan lebih efektif. Â Â
Selain itu, perlu adanya pengembangan sistem keamanan bencana sebagaimana yang telah diterapkan di Jepang. Perlu adanya pelengkapan sistem peringatan bencana eletronik yang terkoneksi dengan telepon seluler, laptop (komputer), TV, dan perangkat eletronik lainnya. Penanggulangan bencana perlu dijadikan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di Indonesia.
Dengan demikian, bangsa indonesia tidak lagi menjadi bangsa yang takut pada bencana alam, tetapi bisa memiliki 'sikap yang benar' dalam menghadapi bencana alam. Bahwa bencana alam bukanlah wujud dari 'kemarahan Tuhan' sebagaimana yang dilantunkan Sherina; melainkan sebuah peristiwa alamiah yang terjadi; seperti terbitnya terbitnya matahari di pagi hari. Â Â
Perlu adanya sinergi antara pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat untuk mengoptimalkan budaya literasi dalam meningkatkan kulitas komunikasi budaya sadar bencana. Agar bangsa Indonesia mampu menghadapi bencana alam dengan 'sikap yang benar' yang menumbuhkan optimisme dan tindakan yang solutif. Â