Pada masa itu, Jepang juga membentuk tentara sukarela seperti Heiho dan PETA (Pembela Tanah Air). KH Wahid Hasyim mendukung partisipasi masyarakat dalam organisasi-organisasi tersebut sebagai cara untuk memperkuat kemampuan militer rakyat Indonesia dan menggalang pengalaman berorganisasi. Melalui dukungannya terhadap PETA, Wahid Hasyim percaya bahwa pemuda-pemuda Indonesia bisa mendapatkan pengalaman militer yang kelak bermanfaat dalam mempertahankan kemerdekaan. Bahkan, setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, banyak dari anggota PETA dan Heiho yang menjadi pejuang kemerdekaan dalam pertempuran mempertahankan Indonesia dari penjajahan Belanda.
Melalui keterlibatannya di organisasi-organisasi tersebut, KH Wahid Hasyim berhasil memupuk kesadaran nasional dan memperkuat tekad masyarakat Muslim untuk berjuang bersama elemen bangsa lain demi kemerdekaan Indonesia. Meskipun berada di bawah kendali Jepang, ia tetap mengobarkan semangat kemerdekaan dan menanamkan nasionalisme dalam hati rakyat, sehingga ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, masyarakat sudah memiliki mental siap untuk mempertahankan kemerdekaan tersebut.
Peran dalam Kemerdekaan Indonesia
KH Wahid Hasyim memainkan peran yang sangat penting dalam proses persiapan kemerdekaan Indonesia. Ia terlibat langsung dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), badan yang dibentuk untuk merumuskan dasar negara, undang-undang dasar, serta perangkat-perangkat dasar lainnya untuk negara yang baru akan berdiri. Dalam PPKI, Wahid Hasyim menjadi salah satu tokoh yang aktif menyuarakan pentingnya landasan negara yang dapat diterima oleh seluruh rakyat Indonesia yang beragam, baik dari segi agama, suku, maupun budaya.
Sebagai ulama dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU), KH Wahid Hasyim memiliki pandangan bahwa Islam dan nasionalisme dapat berjalan beriringan dalam menciptakan negara yang berdaulat. Salah satu kontribusi terbesarnya adalah dalam perdebatan mengenai dasar negara Indonesia yang diusulkan, yaitu Pancasila, yang bertujuan untuk mengakomodasi berbagai keyakinan yang ada di masyarakat. Pada saat itu, terdapat perdebatan yang cukup intens mengenai formulasi Piagam Jakarta, khususnya mengenai "tujuh kata" dalam kalimat Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. KH Wahid Hasyim dan tokoh-tokoh Islam lainnya akhirnya menyetujui perubahan ini demi persatuan bangsa, dengan mengubahnya menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
KH Wahid Hasyim percaya bahwa nilai-nilai agama bisa terwujud dalam kehidupan sehari-hari tanpa harus tercantum secara eksplisit dalam konstitusi. Baginya, prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa tetap menjunjung tinggi nilai-nilai agama namun juga memungkinkan adanya keberagaman. Keputusan ini menjadi salah satu bukti kepemimpinan beliau yang mengutamakan persatuan bangsa dan menjaga harmoni di antara berbagai kelompok di Indonesia.
Selain peran dalam pembahasan dasar negara, KH Wahid Hasyim juga memberikan pemikiran yang matang dalam penyusunan Undang-Undang Dasar 1945. Ia ingin agar konstitusi negara Indonesia mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa sekaligus menghormati hak asasi setiap warga negara. Dalam berbagai sidang dan diskusi, Wahid Hasyim memperjuangkan kebebasan beragama dan toleransi di tengah masyarakat yang beragam. Pemikirannya ini bertujuan agar setiap warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim, dapat hidup berdampingan secara damai dan setara di bawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kepemimpinannya dalam PPKI turut mengukuhkan peran NU dan umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan serta dalam pembentukan negara Indonesia. Dengan bijaksana, Wahid Hasyim berusaha menyeimbangkan aspirasi umat Islam dan keinginan untuk membentuk negara yang inklusif. Sikap moderat dan komprominya pada masa itu turut menciptakan suasana harmonis di dalam PPKI, sehingga perumusan konstitusi berjalan dengan lancar dan mendapat persetujuan dari berbagai kalangan.
Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, KH Wahid Hasyim tetap melanjutkan perjuangannya untuk memastikan bahwa kemerdekaan yang telah diraih dapat dipertahankan dan diwujudkan dalam bentuk pemerintahan yang adil dan sejahtera bagi seluruh rakyat. Pemikiran-pemikirannya dalam PPKI tidak hanya menjadi fondasi penting bagi negara, tetapi juga menjadi contoh bagi generasi penerus tentang pentingnya toleransi, moderasi, dan persatuan dalam membangun Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Peran KH Wahid Hasyim dalam Pertempuran Melawan Sekutu di SurabayaÂ
KH Wahid Hasyim memainkan peran penting dalam Pertempuran Surabaya pada Oktober hingga November 1945, terutama dalam menggalang semangat perlawanan rakyat dan merangkul ulama-ulama serta organisasi Islam untuk mendukung perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Sebagai tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan pemimpin Islam yang berpengaruh, ia bersama dengan ayahnya, KH Hasyim Asy'ari, turut berperan dalam memobilisasi dukungan moral dan spiritual dari umat Islam.