Setelah kembali dari Mekkah ke Indonesia pada tahun 1934, KH Wahid Hasyim mulai aktif berkontribusi dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Di usia muda, Wahid Hasyim telah memiliki pandangan progresif tentang pentingnya pendidikan bagi umat Islam Indonesia, terutama dalam menghadapi perkembangan dunia modern. Keinginannya adalah agar NU dapat mempersiapkan umat Islam Indonesia menjadi bagian dari bangsa yang merdeka, mandiri, dan tidak tertinggal oleh bangsa lain.
Sebagai bentuk kontribusinya, Wahid Hasyim mendirikan lembaga pendidikan yang menggabungkan ilmu agama dan pengetahuan umum, sebuah inovasi yang cukup revolusioner di kalangan pesantren pada masa itu. Salah satu upayanya adalah mendirikan Madrasah Nizamiyah, yang menyisipkan mata pelajaran umum seperti matematika, geografi, dan sejarah ke dalam kurikulum agama yang sudah ada. Pendidikan model ini adalah sesuatu yang baru dan sempat memicu perdebatan di lingkungan pesantren, namun Wahid Hasyim yakin bahwa umat Islam perlu menyesuaikan diri dengan perkembangan dunia.
Selain dalam bidang pendidikan, KH Wahid Hasyim juga berperan penting dalam memperkuat organisasi NU. Pada tahun 1940-an, ia terpilih sebagai Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebuah partai politik yang didirikan untuk memperjuangkan hak-hak umat Islam di Indonesia. Meskipun Jepang saat itu mengontrol berbagai organisasi di Indonesia, Wahid Hasyim tetap memperjuangkan agar suara umat Islam bisa diperhitungkan dalam pemerintahan pendudukan Jepang.
Sebagai pemimpin yang berpikiran luas, ia berusaha memperkenalkan cara-cara baru dalam pengelolaan organisasi. Di antaranya adalah memperkenalkan cara pengorganisasian yang lebih sistematis dan efektif. Ia mendorong para pemuda NU untuk aktif dalam kegiatan sosial-politik yang tidak hanya terbatas pada bidang keagamaan. KH Wahid Hasyim mendirikan Lajnah Pendidikan Ma'arif NU, sebuah lembaga di bawah NU yang khusus bergerak dalam pendidikan, guna memperluas akses pendidikan bagi masyarakat Indonesia dan menguatkan dasar-dasar intelektual Islam di kalangan generasi muda.
Selain itu, Wahid Hasyim menyadari peran penting media dalam menyebarkan gagasan kemerdekaan dan nasionalisme. Oleh karena itu, ia mendukung penerbitan Majalah Soeara Nahdlatul Oelama sebagai media yang menyuarakan aspirasi dan perjuangan NU. Majalah ini digunakan untuk memberikan informasi kepada masyarakat dan sebagai sarana pembelajaran bagi kaum muda.
Dengan semangat nasionalisme yang tinggi, KH Wahid Hasyim mengajak masyarakat, khususnya umat Islam, untuk berperan aktif dalam perjuangan kemerdekaan. Ia percaya bahwa bangsa Indonesia tidak bisa terus hidup di bawah penjajahan, dan Islam memiliki peran penting dalam perjuangan membebaskan bangsa dari belenggu kolonialisme. Wahid Hasyim melihat bahwa Islam tidak hanya sebagai agama, tetapi juga sebagai kekuatan sosial yang dapat menyatukan rakyat Indonesia dalam melawan penjajahan. Baginya, ajaran Islam tentang keadilan dan kemerdekaan adalah dasar yang kuat bagi upaya pembebasan bangsa.
Peran dalam Mendorong Nasionalisme dan Kebangkitan Rakyat
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), KH Wahid Hasyim menyadari bahwa situasi yang sulit bisa dijadikan peluang untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ia terlibat aktif dalam mobilisasi masyarakat melalui organisasi-organisasi Islam seperti Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU). Sebagai seorang ulama sekaligus tokoh nasionalis, Wahid Hasyim memahami pentingnya memanfaatkan organisasi-organisasi Islam untuk menggerakkan kesadaran nasional dan mengkonsolidasikan kekuatan umat Islam dalam menghadapi Jepang. Ia juga mendukung pembentukan berbagai lembaga dan program yang memungkinkan peran masyarakat Muslim dalam perjuangan kemerdekaan.
KH Wahid Hasyim berperan besar dalam memperkuat Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), yang awalnya didirikan sebagai federasi organisasi Islam untuk menyatukan aspirasi umat Islam dalam pemerintahan Jepang. Masyumi menjadi wadah utama bagi masyarakat Muslim Indonesia untuk menyuarakan keinginan akan kemerdekaan serta berkontribusi secara aktif dalam masyarakat. Melalui Masyumi, Wahid Hasyim mendorong masyarakat Muslim agar berani menyuarakan hak mereka dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia secara damai dan terorganisasi.
Selain itu, KH Wahid Hasyim juga menjadi anggota Chuo Sangi In, yaitu Dewan Penasihat Pusat yang dibentuk oleh Jepang pada tahun 1943 sebagai upaya untuk menunjukkan bahwa Jepang "melibatkan" pemimpin-pemimpin Indonesia dalam pemerintahan. Meski Dewan ini berada di bawah kendali Jepang dan memiliki fungsi terbatas, KH Wahid Hasyim memanfaatkan kesempatan ini untuk menyuarakan kepentingan rakyat Indonesia. Ia menekankan kepada pihak Jepang bahwa rakyat Indonesia mendambakan kemerdekaan dan kemajuan bangsa. Dalam pertemuan-pertemuan di Chuo Sangi In, Wahid Hasyim sering kali membawa isu-isu penting terkait kesejahteraan rakyat, memperbaiki kondisi sosial, dan hak-hak rakyat.
Melalui perannya di Chuo Sangi In, KH Wahid Hasyim juga mampu mempertahankan semangat nasionalisme yang tidak pudar, meskipun di bawah pengawasan ketat Jepang. Ia berupaya untuk mengadvokasi kepentingan rakyat, termasuk di bidang ekonomi dan pendidikan. Selain itu, dalam berbagai kesempatan, ia mengajarkan kepada umat Islam bahwa jihad yang sebenarnya pada masa itu adalah perjuangan melawan penjajahan, memperjuangkan keadilan, serta menuntut kedaulatan bangsa Indonesia.