Mohon tunggu...
Sukir Santoso
Sukir Santoso Mohon Tunggu... Penulis - pensiunan guru yang suka menulis

Peduli pada bidang psikologi, sosiologi, pendidikan, seni, dan budaya. Saya merasa tertarik untuk memahami manusia, bagaimana mereka belajar, serta bagaimana pengalaman budaya dan seni dapat memengaruhi mereka. Saya sangat peduli dengan kesejahteraan sosial dan keadilan, dan mencari cara untuk menerapkan pemahaman tentang psikologi, sosiologi, pendidikan, seni, dan budaya untuk membuat perubahan positif dalam dunia ini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Regu Bom Tarik

23 Agustus 2023   13:21 Diperbarui: 23 Agustus 2023   14:39 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

REGU BOM TARIK

Oleh: Sukir Santoso

Cerpen berdasar kisah nyata dari pejuang

Di malam gelap yang penuh rintik hujan, suara cicadas dan gemericik air hujan melahirkan suasana yang tegang untuk regu bom Tarik di suatu sudut tersembunyi dari hutan Gunung Buthak. Tumin, Rabun, dan Abdul Manab berkumpul di bawah teduhan pohon nyamplung yang gagah berdiri di antara pohon-pohon jati. Wajah mereka penuh dengan kebulatan tekad dan semangat perlawanan  terhadap Belanda.

Pada tanggal 19 Desember 1948, pasukan Belanda yang kuat menduduki wilayah Yogyakarta dan mencoba mengambil alih pemerintahan. Tujuannya adalah untuk menghancurkan basis pemerintahan Republik Indonesia yang berada di bawah pimpinan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta.

Namun Agresi Militer Belanda yang kedua ini justru membuat semangat kemerdekaan masyarakat Indonesia di seluruh pelosok negeri, berkobar hebat.

Tumin, Rabun, dan Abdul Manab adalah sekelompok pejuang yang telah bersumpah untuk membela kemerdekaan yang baru saja direbut itu. Gunung Buthak dan Gunung Sepikul, dengan pepohonan lebat dan hutan-hutan yang menyelimuti, menjadi saksi bisu perjuangan mereka. Setiap batang pohon dan setiap daun yang ditiup angin malam menyimpan cerita-cerita heroik mereka. Di tengah kesunyian hutan, regu ini merencanakan serangan berani terhadap pasukan Belanda yang berencana melewati jalan Srandakan menuju Brosot.

Di bawah cahaya korek api yang redup, mereka merapal rencana dengan seksama. Peta dari kertas lusuh terbentang di atas batu, ditandai dengan garis-garis dan titik-titik yang menandakan posisi pasukan Belanda dan rute yang akan mereka ambil. Tanda melingkar merah adalah posisi bom yang harus mereka pasang. Sementara titik yang lain merupakan tempat mereka siaga untuk menarik tali yang mereka pasang di pengumpil bom. Tempat itu adalah cekungan parit tersier yang terlindung dengan semak perdu.

Tumin, yang telah memiliki pengalaman ikut perang Ambarawa, berbicara dengan tegas, "Kita harus memanfaatkan medan yang sulit ini untuk menyelamatkan diri, andaikata pasukan Belanda mengejar kita."

Rabun mengangguk setuju, "Jika kita berhasil menghancurkan jembatan di Gunung Sepikul, itu akan membuat pergerakan mereka terhambat. Pasukan Belanda pasti akan mencari jalan lain, dan ini memberi kita kesempatan untuk membuat mereka terjebak."

Abdul Manab, yang dipercayakan menjadi komandan regu, menambahkan dengan penuh keyakinan, "Kita hanya memiliki satu kesempatan untuk melakukannya dengan benar. Setiap detik dan tindakan sangat berarti. Kita akan memasang ranjau tarik di jembatan itu dan menariknya saat pasukan mereka lewat. "

Mereka mengakhiri rapat di bawah pohon nyamplung itu dengan saling berjabat tangan, menguatkan satu sama lain dengan pandangan mata penuh tekad. Di dalam diri mereka terbakar semangat pahlawan dan patriot. Meskipun hujan semakin deras dan angin semakin menusuk tulang, semangat perlawanan mereka tak pernah padam.

Malam itu, mereka merasa seperti bagian dari sesuatu yang lebih besar. Di bawah langit yang tertutup awan gelap, cahaya semangat mereka menyinari kegelapan. Keberanian mereka menembus kabut tebal dan hujan yang membasahi bumi. Meskipun terkadang keraguan melintas, mereka tidak pernah ragu bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar dan penting.

Agresi Militer II Belanda membuat Masyarakat bangkit bersama. Gunung Buthak dan Gunung Sepikul menyaksikan perjalanan mereka, dan dengan setiap langkah yang diambil, jejak perjuangan mereka tertanam kuat dalam tanah. Suatu hari nanti, cerita heroik ini akan terus dikenang dan diwariskan kepada generasi-generasi mendatang, sebagai inspirasi untuk tetap memperjuangkan kebebasan dan martabat bangsa.

Dengan penuh tekad, ketiganya memikul beban berat di pundak mereka. Trek bom yang bobotnya tak kurang dari 50 kilogram dengan medan batu kapur yang tak pernah mudah untuk dilalui, jalan setapak yang mereka lalui terjal dan berbatu. Ditambah lagi dengan licinnya jalanan akibat rintik hujan yang tak henti-hentinya. Setiap langkah yang diambil merupakan tantangan tersendiri, tetapi semangat perjuangan tetap membara dalam hati mereka.

Tumin, yang tubuhnya kecil tetapi kuat, memimpin barisan dengan hati yang penuh semangat. Wajahnya terlihat lelah, namun matanya berbinar seakan mengandung api yang tak pernah padam. Rabun, yang memiliki kemampuan navigasi dan keterampilan di medan sulit, berada di belakang Tumin, memberikan bantuan dan dorongan saat diperlukan. Sementara Abdul Manab, komandan regu, berjalan di tengah-tengah, mengawasi jalannya misi dengan teliti dan penuh perhatian.

Meskipun medan yang sulit dan rintik hujan yang tak kenal henti, semangat mereka tak pernah luntur. Mereka tahu bahwa beban yang mereka pikul dan perjalanan yang mereka tempuh hanyalah sebagian kecil dari perjuangan yang jauh lebih besar. Misi ini bukanlah semata-mata tentang membawa trek bom melewati medan sulit, tetapi tentang merebut kemerdekaan dari cengkeraman penjajah yang telah lama menguasai tanah air.

Setiap helaan nafas terengah, setiap langkah yang ditempuh, semuanya memiliki arti yang mendalam bagi mereka. Mereka melangkah dengan mengingat teman-teman seperjuangan yang telah gugur di medan perang, dengan mengenang para pahlawan yang telah membangkitkan semangat kebangsaan. Di setiap suara gemericik hujan dan hembusan angin, mereka merasakan dukungan dari jiwa-jiwa para pejuang yang tak pernah kenal lelah.

Perjalanan ini adalah ujian nyata bagi kebulatan tekad mereka. Namun, tak satu pun dari mereka pernah berpikir untuk menyerah. Mereka saling memberikan dorongan dan semangat, mengingatkan satu sama lain tentang tujuan akhir dari perjalanan ini: meletakkan trek bom di posisi yang strategis untuk menghambat langkah pasukan Belanda dan menyumbangkan bagian mereka dalam perjuangan merebut kemerdekaan.

Ketika akhirnya mereka tiba di lokasi yang dituju, dengan napas terengah dan tubuh yang lelah, rasa kemenangan dan keberhasilan mengisi hati mereka. Di tengah gemuruh hujan dan kegelapan malam, mereka berdiri di bawah rintik hujan dengan penuh pengharapan. Beban yang mereka pikul bukan hanya berat fisik, tetapi juga beban harapan dan mimpi bangsa yang lebih besar.

"Ingat, sebelum jam tujuh malam, trek bom harus sudah terpasang," tegas Abdul Manab, komandan regu tersebut, dengan suara yang penuh otoritas. Matanya yang tajam memandang kedua anggota regunya, Tumin dan Rabun, menegaskan betapa pentingnya tugas ini.

Perintah itu bukan sembarang perintah. Itu adalah perintah yang datang dari Komandan SWK 102, Mayor Sardjono, seorang pemimpin yang dihormati dan sangat gigih dalam perjuangan melawan penjajah Belanda. Pesan itu disampaikan melalui Sersan Palil, salah satu koordinator pejuang di Wilayah Sanden, Pandak dan Srandakan.

Mereka bukanlah pejuang biasa. Mereka adalah bagian dari gerilyawan yang beroperasi di pegunungan dan hutan-hutan, merencanakan serangan-serangan mendadak yang menguras kekuatan musuh. Mereka adalah orang-orang yang mengambil risiko besar untuk menghadapi pasukan yang lebih besar dan lebih bersenjata.

Dan saat ini, tugas mereka bertiga adalah mencegat pasukan Belanda yang berencana melintas di jembatan di sebelah barat Gunung Sepikul.

Pasukan Belanda itu bukanlah lawan yang mudah. Mereka memiliki senjata-senjata modern dan jumlah pasukan yang lebih besar. Sementara regu yang terdiri dari tiga orang itu hanya bersenjata seadanya. Selain bom tarik, di ikat pinggang Abdul Manab hanya tergantung granat gombyok buatan Purosani, sementara Tumin dan Rabun hanya memegang kelewang. Namun, semangat dan pengetahuan tentang medan yang dimiliki oleh regu bom tarik ini memberikan mereka keunggulan taktis yang tak ternilai harganya.

Pasukan Belanda tersebut dilaporkan sedang menuju Brosot dari markas mereka di Jebugan Bantul. Ini adalah peluang emas untuk membuktikan bahwa perlawanan mereka tidak bisa diabaikan. Jika mereka berhasil menghancurkan pasukan Belanda, paling tidak menghambat pergerakan mereka, ini akan menjadi pukulan telak bagi pasukan Belanda dan juga sebagai pembakar semangat perjuangan bagi masyarakat ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan.

Dan malampun semakin merangkak. Anggota regu ini mempersiapkan diri dengan seksama. Mereka memeriksa trek bom, memastikan semua alat yang dibutuhkan ada, dan merencanakan taktik penyamaran.

Suara hujan yang mengguyur tak mengurangi semangat mereka. Suara hujan itu justru seolah menjadi alunan musik pengiring dalam persiapan yang serius ini.

"Kita memiliki tanggung jawab besar," ujar Abdul Manab dengan rasa hormat terhadap peran mereka dalam sejarah. "Kemerdekaan kita perlu perjuangan dan pengorbanan. Ini adalah tindakan nyata yang merebut kemerdekaan kita kembali."

Tumin dan Rabun mengangguk, mata mereka penuh tekad. Tidak ada kata menyerah dalam kamus perjuangan mereka. Dengan tekad yang tak tergoyahkan, mereka berdua bersama komandan mereka menghadapi malam yang gelap dan hujan yang deras, siap untuk menjalankan tugas suci ini demi kemerdekaan bangsa dan jati diri mereka sendiri.

Saat trek bom terpasang dengan aman, Tumin, Rabun, dan Abdul Manab saling bertatap mata. Meskipun lelah, senyum kebanggaan terpancar di wajah-wajah mereka. Perjuangan mereka tak sia-sia. Semua ini adalah langkah kecil yang akan menjadi bagian dari kisah besar perjuangan bangsa ini. Dalam hati mereka, janji untuk terus memperjuangkan kemerdekaan dan martabat bangsa terpatri kuat.

"Semoga perjuangan kita ini memberi inspirasi kepada banyak orang," ucap Abdul Manab dengan suara lirih. Tumin dan Rabun mengangguk setuju, dan saat itu juga, di tengah keheningan hutan, mereka mengucapkan doa untuk keberhasilan misi ini dan kemerdekaan bangsa.

Di malam yang penuh makna ini, tiga pejuang itu terus berdiri teguh, siap menghadapi apa pun yang akan datang.

Malam semakin larut, dan suasana semakin memanas dengan tegangan yang tak terbendung. Hujan yang turun begitu deras seolah berbicara dalam bahasa mereka sendiri, mengiringi momen-momen bersejarah yang tengah terjadi di dalam hutan. Di bawah langit gelap yang hanya diterangi oleh cahaya redup bintang, regu bom tarik menanti dengan perasaan campur aduk.

Ketika akhirnya jam menunjukkan pukul tujuh lima belas malam, Abdul Manab, dengan wajah tegar dan tangan yang siap bertindak, mengumpulkan semua energinya. Dia memberikan isyarat kepada Rabun, sahabat dan mitra seperjuangan yang dipercayai untuk menjalankan tugas krusial ini. Dengan gerakan yang ringan dan hati yang tulus, Rabun bergegas menuju ke posisinya, siap mengintai di sisi timur jembatan.

Ketika Rabun mencapai posisinya yang strategis, dia merasa jantungnya berdegup kencang seolah ikut dalam irama malam ini. Dia memejamkan mata sejenak, berusaha meredakan detak jantungnya yang terdengar begitu keras di telinganya. Cahaya bulan yang temaram membingkai siluet pepohonan dan jalanan yang semakin gelap, membuat kehadiran truk pasukan Belanda makin sulit untuk dideteksi.

Namun, tak lama kemudian, di tengah kegelapan malam, terdengarlah gemuruh gemuruh mesin yang memotong hening. Suara itu tumbuh semakin nyaring, menggema di antara pohon-pohon, dan membuat hati semua anggota regu ini berdegup tak terkendali. Dalam ketegangan yang tiada tara, Rabun mengencangkan dirinya, siap untuk memberikan isyarat yang sangat vital.

Saat suara mesin mendekat dan gemuruh kendaraan menjadi semakin jelas, Rabun merasa detak jantungnya merasuki bumi. Dalam sekejap, truk pasukan Belanda muncul dari balik tikungan. Wajah Rabun yang tertutup oleh bayangan dedaunan mengintai dengan konsentrasi maksimal. Dia harus menghitung detik-detik yang tepat.

Semua anggota regu, termasuk Tumin sendiri, menahan napas mereka dengan tegang saat ia meraih tali penarik trek bom. Setiap gerakan yang dilakukannya begitu hati-hati, seakan ia menyadari bahwa dalam tangan kecilnya terletak nasib dari misi ini. Di bawah tekanan yang luar biasa, mata Tumin fokus pada tali itu, tangannya gemetar namun penuh tekad.

Ketika truk itu benar-benar berada di atas jembatan Gunung Sepikul, Abdul Manab  mengangkat tangannya dan berbisik agak keras, "Tariiiik!"

Senyap.

Bom yang tertanam di  jembatan itu tidak meledak meskipun dua truk pasukan Belanda telah melintas di atasnya. Sesaat, malam itu seolah membisu. Seakan waktu berhenti, dan suara hujan dan keheningan malam semakin terasa mencengkam. Ketegangan di udara seolah memancar begitu kuat hingga bisa dirasakan dalam denyut nadi mereka.

Situasi semakin rumit. Namun, tak satupun dari regu ini menunjukkan tanda-tanda menyerah. Mereka tidak mengenal kata putus asa, dan kini tantangan baru menghadang mereka. Kepercayaan diri mereka bergoyang, tetapi kebulatan tekad mereka berkeras. Ini adalah ujian terberat yang mereka hadapi, dan takdir misi ini berada dalam genggaman tangan mereka.

Ketika detik-detik berlalu, terasa seperti jamuan panjang yang menguji ketahanan mereka, ketegangan itu mereda dan berubah menjadi semacam penantian yang sarat ketidakpastian. Tumin memandang tali penarik di tangannya dengan intens, mempertimbangkan langkah berikutnya. Seolah mendengar panggilan dari kejauhan, Rabun dan Abdul Manab menatapnya dengan penuh harap.

"Tidak boleh menyerah," bisik Tumin pada dirinya sendiri, merangkul tekadnya yang tak henti-hentinya. Dengan gerakan perlahan, ia mulai menarik tali penarik sekali lagi. Tali itu bergerak dengan enggan, memberikan perlawanan yang hampir tak teratasi. Keringat menetes di dahinya, tekadnya tak goyah sedikit pun. Ia tahu, jika mereka mundur sekarang, semua usaha mereka akan sia-sia.

Dan akhirnya, dalam momen yang seperti berlangsung selamanya, tali itu mulai bergerak lebih lancar. Tarikan Tumin semakin mantap, dan tiba-tiba, terasa seperti ada hambatan yang terlewati.

Pada saat itu juga, di bawah cahaya langit yang gelap. Buummm, bom itu meledak.

Ledakan yang menggelegar memotong malam, kilatan cahaya menghancurkan kegelapan. Jembatan Gunung Sepikul bergetar dan runtuh, puing-puing berserakan ke segala penjuru. Sebuah jeep yang tepat melintas di atas jembatan terlempar ke udara.

"Berhasil!" ucap mereka hampir bersamaan. Ekspresi kelegaan terpancar jelas di wajah mereka. Namun, sebelum mereka bisa sepenuhnya merayakan keberhasilan mereka, dampak ledakan yang menghentikan truk pasukan Belanda membuat suasana berubah drastis. Udara yang tadinya gelap kini terang benderang oleh cahaya kilatan ledakan yang memenuhi langit malam.

Tak butuh waktu lama bagi malam yang sunyi menjadi teror pertempuran yang mendadak meletus. Tembakan senjata dan suara letusan merusak hening malam, mengirimkan getaran mengerikan ke setiap sudut hutan. Para tentara Belanda yang terkejut dan marah segera merespons dengan menghujani wilayah sekitar dengan peluru secara membabi buta. Rentetan tembakan itu seolah menjadi hujan api yang melibatkan seluruh medan.

Abdul Manab segera menyadari ancaman ini dan dengan cepat memberikan perintah untuk mundur. Suaranya mengatasi kekacauan dan menjadi pemandu yang membuat rekan-rekannya berkumpul dan bergerak. Tumin dan Rabun, meskipun masih merasakan efek keterkejutan, mengikuti perintah Abdul Manab dengan cermat.

Namun, dalam kekacauan tersebut, sebuah tembakan yang tak terduga menerjang Tumin.

"Kakiku kena!" teriak Tumin dengan nafas terengah-engah sambil terus berlari. Sebuah peluru menghantam kakinya, menusuk tubuhnya dengan rasa sakit yang tajam. Tumin roboh ke tanah. Rasa sakit di kakinya semakin terasa, tetapi dia melawan rasa lemah yang mencoba merayap ke dalam pikirannya.

Dalam keadaan yang penuh adrenalina, tekadnya untuk bertahan dan melanjutkan perjuangan tidak pernah goyah. Ia merasakan dorongan dalam dirinya untuk terus merangkak dan bangkit, menangkis rasa sakit yang semakin menusuk.

Bersama dengan Rabun dan Abdul Manab, mereka berlari semampu mereka menjauhi jembatan yang hancur, di bawah tembakan yang semakin mengganas. Rentetan tembakan yang menghujani mereka seakan menjadi soundtrack yang mengiringi langkah-langkah cepat mereka. Dalam kepanikan dan keputusasaan, mereka tahu bahwa satu-satunya pilihan adalah mencari tempat perlindungan yang lebih aman.

Mereka berlari semakin dalam ke dalam rimbunan hutan jati yang tumbuh lebat, berharap bisa berlindung dari penglihatan dan tembakan tentara Belanda.

Beruntung, keberanian dan kecepatan mereka membawa hasil. Dalam ketegangan dan kekacauan itu, mereka berhasil meloloskan diri dari kejaran tentara Belanda. Di tengah kegelapan hutan, mereka berhenti untuk mengambil napas, mengintai dan merenungkan situasi yang mereka hadapi. Meskipun luka-luka mereka, tekad untuk terus melawan tidak pernah padam. Dalam gelap malam yang penuh tantangan ini, semangat perjuangan mereka masih berkobar, dan mereka tahu bahwa mereka harus terus maju menuju kemerdekaan

.

Misi ini bukan hanya tentang fisik dan taktik, tetapi tentang tekad yang tak tergoyahkan dan semangat yang tak pernah padam. Dalam momen ledakan itu, mereka merasakan beban yang mereka pikul selama ini menghilang, digantikan oleh kebanggaan dan keyakinan bahwa perjuangan mereka memiliki arti yang mendalam dalam sejarah kemerdekaan bangsa.

Peristiwa itu adalah bukti nyata dari perjuangan mereka yang tak kenal lelah. Semua langkah yang telah mereka ambil, semua usaha yang mereka korbankan, berbuah hasil yang begitu signifikan. Saat mereka merayakan keberhasilan ini dalam diam, hujan turun dengan lebih lembut, hampir seperti memberi penghormatan kepada pahlawan-pahlawan yang terusir lelah di dalam hutan.

Misi mereka berhasil, dan semangat perjuangan mereka semakin berkobar. Dalam ketegangan dan kegelapan malam itu, mereka telah menciptakan cahaya baru yang akan terus bersinar dalam perjuangan kemerdekaan bangsa.

Dengan langkah-langkah hati-hati yang penuh kewaspadaan, mereka akhirnya tiba di desa Gluntung dengan selamat. Malam yang penuh petualangan dan bahaya membuat langkah mereka begitu berharga di tengah kegelapan yang memayungi desa. Rasa lega dan bangga menyelimuti hati mereka, mengetahui bahwa perjuangan keras yang mereka lalui telah membawa mereka ke tempat perlindungan yang aman.

Di desa yang sunyi, langkah mereka menjadi kicauan harapan yang terdengar oleh para penduduk setempat. Ketika kabar tentang keberhasilan mereka dalam menghancurkan jembatan dan melawan pasukan Belanda menyebar, semangat perjuangan di desa tersebut semakin berkobar. Malam ini akan menjadi sejarah yang diabadikan dalam ingatan mereka, menjadi bukti bahwa perjuangan tanpa pamrih dan tekad yang tak tergoyahkan dapat mengatasi bahkan hambatan terbesar.

Setelah tiba di sebuah rumah yang aman, Abdul Manab langsung memberikan perintah yang berfokus pada kemanusiaan. "Carikan gedebog pisang busuk," ujarnya tegas kepada Rabun. Dalam situasi seperti ini, terlepas dari perjuangan mereka, kemanusiaan dan perhatian pada rekan-rekan yang terluka tetap menjadi prioritas.

Tangan Rabun segera bergerak, mencari gedebog pisang yang sudah  membusuk. Ini mungkin bukan obat ideal dalam situasi normal, tetapi saat ini, gedebod pisang busuk tersebut menjadi obat alami yang dibutuhkan. Sementara itu, Abdul Manab membantu Tumin duduk dengan hati-hati, memastikan bahwa tembakan itu tidak mengakibatkan cedera yang lebih parah.

Kemudian Abdul Manab merobek sebagian dari kain sarungnya dengan cermat, menciptakan sepotong kain yang dapat digunakan sebagai pembalut. Dengan hati-hati, ia merawat luka tembakan di paha Tumin.

Beruntung, luka tersebut tidak terlalu parah. Peluru hanya tembus di sebelah paha, mengakibatkan luka yang memang menyakitkan, tetapi tidak mengancam jiwa. Meskipun dalam keadaan yang melelahkan dan nyeri, Tumin tetap tahan terhadap rasa sakit, tahu bahwa perjuangan mereka masih jauh dari selesai.

Dalam ruang yang sunyi, dengan gedebog pisang yang busuk yang didapatkan oleh Rabun dan kain yang robekan sarung milik Abdul Manab, mereka menemukan kekuatan dan semangat perjuangan yang tak tergoyahkan.

"Alhamdulillah, kita selamat. Merdeka!" ujar Abdul Manab dengan suara yang terdengar lelah, namun juga penuh rasa syukur. Ungkapan itu bukan hanya sekadar kata-kata, tetapi juga mencerminkan perasaan lega dan kebanggaan atas apa yang mereka capai malam itu.

"Merdeka!" jawab Tumin dan Rabun hampir bersamaan, suara mereka terdengar dengan semangat yang menggebu-gebu. Dalam satu kata tersebut terdapat kebersamaan, keyakinan, dan harapan yang mengalir bersama. Meskipun tubuh mereka lelah, semangat mereka masih berkobar. Kemenangan kecil ini adalah tonggak penting dalam perjalanan panjang menuju kemerdekaan.

Ketika kata "Merdeka!" diucapkan, mereka merasakan getaran perasaan yang tak terlukiskan. Suara itu adalah seruan dari hati yang ingin menggapai sesuatu yang lebih tinggi, sesuatu yang telah mereka perjuangkan dengan begitu gigih. Kemenangan malam ini bukanlah sekadar menghancurkan jembatan atau menghadapi tentara musuh, tetapi juga melampaui batas-batas ketidakpastian dan ketakutan.

Kemenangan kecil ini menjadi tonggak besar dalam perjuangan mereka merebut kemerdekaan. Mereka sadar bahwa perjalanan ini belum usai, tetapi setiap langkah yang mereka ambil adalah langkah yang membawa mereka lebih dekat ke tujuan akhir. Dalam satu detik, sejarah terukir di bawah langit malam yang temaram.

Peristiwa ini akan selalu menjadi peristiwa yang diukir dalam ingatan mereka, hari yang memberi warna baru pada rentetan perjuangan mereka. Itu adalah hari di mana tiga individu dengan tekad dan semangat yang tak tergoyahkan membuat langkah berani yang mengubah jalannya sejarah. Pada hari itu, cahaya keberanian mereka menerangi jalan bagi banyak orang yang mengikuti jejak mereka dalam merebut hak kemerdekaan.

Dalam gelap malam yang telah menjadi saksi bisu, Tumin, Rabun, dan Abdul Manab merayakan kemenangan mereka dengan diam. Suara sorak-sorai mungkin belum bisa terdengar oleh telinga manusia, tetapi semangat mereka tercermin dalam bintang-bintang yang bersinar terang di langit. Dalam perjalanan panjang menuju kemerdekaan, mereka adalah pahlawan yang melawan ketidakadilan, dan di malam itu, mereka telah menorehkan namanya dalam lembaran sejarah bangsa.

Catatan:

Cerita ini didasari oleh cerita nyata dari para pelaku.

Ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, tanggung jawab menjaga keamanan di Kabupaten Bantul diberikan kepada SWK 102. Faktor ini dipicu oleh fakta bahwa wilayah Kabupaten Bantul adalah tempat di mana SWK 102, di bawah komando Mayor Sarjono, menjalankan operasi-operasinya. Anggota-anggota pejuang yang tergabung dalam SWK 102 melakukan upaya penghadangan dan serangan terhadap patroli-patroli pasukan Belanda setiap hari. Selain itu, mereka juga melaksanakan serangan-serangan terhadap pos-pos militer Belanda yang berada dalam wilayah Kabupaten Bantul.

Perlu ditambahkan di sini, sersan Palil yang ada pada tulisan di atas adalah Alm mbah Palil Hadisusanto yang menjabat komandan KODM hingga Koramil Sanden terlama, dari tahun 1945 hingga 1965. Karena ada peristiwa G30S PKI ditugaskan lagi (sebagai anggota KODIM Bantul) hingga tahun 1967.

Sedang Abdul Manab adalah Alm Bapak Abdul Manab yang mantan perangkat desa kalurahan Murtigading, yang sekaligus merupakan mertua Almarhum KH Aziz Umar, yang rumahnya sekarang ditempati Pondok Pesantren Al Furqon Sanden. Beliau mendapatka kehormatan sebagai Veteran dengan Golongan A.

Rabun dalam tulisan diatas adalah Almarhum Bapak Budya Sutadi, rumahnya di desa Sanggrahan sebelah timur SMP N 1 Sanden. Beliau juga mendapat penghargaan sebagai Veteran Golongan A.

Tumin dalam  tulisan di atas adalah Almarhum Bapak Warsa Tumin, mantan TU SMPN 1 Sanden. Beliau mendapatka kehormatan sebagai Veteran dengan Golongan A.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun