Malam semakin larut, dan suasana semakin memanas dengan tegangan yang tak terbendung. Hujan yang turun begitu deras seolah berbicara dalam bahasa mereka sendiri, mengiringi momen-momen bersejarah yang tengah terjadi di dalam hutan. Di bawah langit gelap yang hanya diterangi oleh cahaya redup bintang, regu bom tarik menanti dengan perasaan campur aduk.
Ketika akhirnya jam menunjukkan pukul tujuh lima belas malam, Abdul Manab, dengan wajah tegar dan tangan yang siap bertindak, mengumpulkan semua energinya. Dia memberikan isyarat kepada Rabun, sahabat dan mitra seperjuangan yang dipercayai untuk menjalankan tugas krusial ini. Dengan gerakan yang ringan dan hati yang tulus, Rabun bergegas menuju ke posisinya, siap mengintai di sisi timur jembatan.
Ketika Rabun mencapai posisinya yang strategis, dia merasa jantungnya berdegup kencang seolah ikut dalam irama malam ini. Dia memejamkan mata sejenak, berusaha meredakan detak jantungnya yang terdengar begitu keras di telinganya. Cahaya bulan yang temaram membingkai siluet pepohonan dan jalanan yang semakin gelap, membuat kehadiran truk pasukan Belanda makin sulit untuk dideteksi.
Namun, tak lama kemudian, di tengah kegelapan malam, terdengarlah gemuruh gemuruh mesin yang memotong hening. Suara itu tumbuh semakin nyaring, menggema di antara pohon-pohon, dan membuat hati semua anggota regu ini berdegup tak terkendali. Dalam ketegangan yang tiada tara, Rabun mengencangkan dirinya, siap untuk memberikan isyarat yang sangat vital.
Saat suara mesin mendekat dan gemuruh kendaraan menjadi semakin jelas, Rabun merasa detak jantungnya merasuki bumi. Dalam sekejap, truk pasukan Belanda muncul dari balik tikungan. Wajah Rabun yang tertutup oleh bayangan dedaunan mengintai dengan konsentrasi maksimal. Dia harus menghitung detik-detik yang tepat.
Semua anggota regu, termasuk Tumin sendiri, menahan napas mereka dengan tegang saat ia meraih tali penarik trek bom. Setiap gerakan yang dilakukannya begitu hati-hati, seakan ia menyadari bahwa dalam tangan kecilnya terletak nasib dari misi ini. Di bawah tekanan yang luar biasa, mata Tumin fokus pada tali itu, tangannya gemetar namun penuh tekad.
Ketika truk itu benar-benar berada di atas jembatan Gunung Sepikul, Abdul Manab  mengangkat tangannya dan berbisik agak keras, "Tariiiik!"
Senyap.
Bom yang tertanam di  jembatan itu tidak meledak meskipun dua truk pasukan Belanda telah melintas di atasnya. Sesaat, malam itu seolah membisu. Seakan waktu berhenti, dan suara hujan dan keheningan malam semakin terasa mencengkam. Ketegangan di udara seolah memancar begitu kuat hingga bisa dirasakan dalam denyut nadi mereka.
Situasi semakin rumit. Namun, tak satupun dari regu ini menunjukkan tanda-tanda menyerah. Mereka tidak mengenal kata putus asa, dan kini tantangan baru menghadang mereka. Kepercayaan diri mereka bergoyang, tetapi kebulatan tekad mereka berkeras. Ini adalah ujian terberat yang mereka hadapi, dan takdir misi ini berada dalam genggaman tangan mereka.
Ketika detik-detik berlalu, terasa seperti jamuan panjang yang menguji ketahanan mereka, ketegangan itu mereda dan berubah menjadi semacam penantian yang sarat ketidakpastian. Tumin memandang tali penarik di tangannya dengan intens, mempertimbangkan langkah berikutnya. Seolah mendengar panggilan dari kejauhan, Rabun dan Abdul Manab menatapnya dengan penuh harap.