Mohon tunggu...
Achmad Suhawi
Achmad Suhawi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Politisi Pengusaha

MENGUTIP ARTIKEL, Harap Cantumkan Sumbernya....! "It is better to listen to a wise enemy than to seek counsel from a foolish friend." (LEBIH BAIK MENDENGARKAN MUSUH YANG BIJAK DARIPADA MEMINTA NASEHAT DARI TEMAN YANG BODOH)

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penerapan Hukum Pidana Islam di Indonesia, Mungkinkah?

29 Oktober 2021   02:50 Diperbarui: 8 November 2021   02:06 963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

HUKUM PIDANA ISLAM DI INDONESIA

Indonesia merupakan negara bangsa yang sumber hukumnya didasarkan kepada Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Para Founding Fathers menjadikan Pancasila sebagai Grondslag sekaligus sebagai weltanschauung. Menjadikan Pancasila sebagai philosophische grondslag menunjukan bahwa Indonesia tidak mendasarkan dirinya pada salah satu agama tertentu. Philosophische grondslag berarti norma dasar, suatu istilah yang berasal dari bahasa Belanda, dengan dua asal kata yaitu: Lag yang berarti norma dan Gronds atau Grands yang bermakna dasar. Pancasila di dalam sidang BPUPK oleh Bung Karno didefinisikan sebagai fundamen, filosofi, jiwa, hasrat, pikiran yang sedalam-dalamnya untuk di bangun Indonesia merdeka yang kekal dan abadi diatasnya. Pancasila disebut pula sebagai Weltanschauung yang memiliki arti sebagai pandangan mendasar. Weltanschauung berakar dari bahasa Jerman dengan asal kata Anschauung dan Welt

Jadi pancasila sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 merupakan pedoman dalam mengatur kehidupan penyelenggaraan bangsa dan negara Indonesia. Dengan Pancasila dan UUD NRI 1945 sebagai pandangan dasar sekaligus norma dasar, maka Indonesia bukan negara Teokrasi atau suatu negara yang disandarkan pada agama tertentu saja, dan bukan pula negara sekuler yang tidak mengakui eksistensi Tuhan YME. Dan Indonesia juga bukan negara yang memisahkan kehidupan keagamaan dengan urusan kenegaraan. Oleh sebab itu, ada banyak produk hukum di Indonesia yang bersumber dari hukum-hukum agama, terutama hukum Islam, seperti keberadaan dan eksistensi dari Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat dan Undang-undang mengenai Penyelenggaraan Ibadah Haji, termasuk berbagai produk legislasi yang senafas dengan ajaran agama Islam. Artinya, kehadiran dan penerapan dari Undang-undang dengan nafas ajaran Islam menunjukan bahwa pemerintah Indonesia turut berperan aktif dalam pengelolaan kehidupan peribadatan umat, khususnya umat Islam. 

Jadi masalah agama di Indonesia tidak selalu menjadi ranah privat, tetapi ada kalanya menjadi urusan publik, dimana pemerintah turut andil dalam regeluasi guna menjamin tata pelaksanaannya. Keberadaan Kementerian Agama dan Pengadilan Agama merupakan wajud nyata bahwa Indonesia berkehendak untuk menjamin keharmonisan kehidupan keagamaan di tanah air.

Sejalan dengan kenyataan bahwa Indonesia bukan negara teokrasi, maka keberadaan Undang-undang yang bernafaskan Islam dalam praktek pelaksanaannya tidak mutlak, tidak sama dengan pelaksanaan hukum Islam sebagaimana hukum Islam pernah diterapkan di bawah Daulah Islamiyah. Jadi praktek penerapan berbagai hukum yang bernafaskan Islam tidak mutlak seperti yang diterapkan pada masa awal Islam berkembang, Khulafaur Rasyidin, diantaranya adalah penerapan praktek hukum pidana Islam yang dikenal dengan sebutan Jinayat dalam literatur Islam. 

Bahkan bisa disaksikan bersama bahwa Jinayat kurang mendapat perhatian dari kalangan intelektual hukum Islam dan ahli hukum nasional. Ada pandangan yang menilai bahwa kurangnya minat masyarakat untuk melakukan studi dan terobosan hukum islam dalam hal praktek penerapan Jinayat, terutama di Indonesia, karena Jinayat di dunia Islam kurang mendapat perhatian, kecuali di beberapa negara saja, seperti Arab Saudi dan sejumlah negara Islam. Sehingga praktek penerapan hukum Islam pun tergantikan oleh hukum pidana yang berasal dari hukum pidana yang ada di negara – negara barat. Di samping itu, praktek penerapan hukum Islam di Indonesia cenderung dibenturkan dengan sumber-sumber hukum yang lain. Ada asumsi bahwa hukum islam mengalami disharmonisasi dengan hukum nasional dalam beberapa kasus hukum. Walaupun ada anggapan demikian, bukan berarti hukum Islam mengalami ketertinggalan zaman atau anti modernisasi, namun lebih kepada kurangnya pemahaman atas substansi dan hukum-hukum islam sebagai hukum yang dinamis (living law) dalam beberapa aspek.  Disamping ada kekhawatiran dan kecemasan sejumlah kalangan apabila penerapan Jinayat atau hukum pidana islam diterapkan, maka akan bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM) sebagai nilai - nilai universal. 

Kekhawatiran tersebut cukup beralasan karena di kalangan umat Islam sendiri ada yang berpendapat bahwa pelaksanaan hukum Islam merupakan konsekuensi yang logis sebagai wujud ketaatan tertinggi manusia sebagai makhluk kepada sang Pencipta, yakni kepada Allah SWT. Sebagaimana firman Allah dalam QS 4 : 59 yang berbunyi :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا 

 Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (di dunia dan akhirat).”

Walaupun dalam praktek pelaksanaannya tidak selalu demikian. Bahkan bagi sebagian kalangan, praktek penerapan Jinayat dianggap anti modernisasi karena tidak selaras dengan traktat internasional, bahkan dinilai kurang sejalan dengan Pancasila sebagai konsensus nasional dari bangsa Indonesia, dimana Pancasila menjadi sumber hukum. Dan kenyataan Indonesia telah meratifikasi Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan berbagai konvensi internasional. 

Demikian pula dengan negara-negara lain di dunia, termasuk di Timur Tengah, dimana dalam perjalanannya diasosiasikan bahwa hukum pidana islam tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan modernisasi. Selain itu, minimnya penerapan hukum pidana Islam di dunia, membuat umat Islam tidak memiliki kesempatan untuk melakukan pengembangan yang adaptif terhadap praktik penegakan hukum Jinayat sebagai living law, karena kajian dan studi kritis secara mendalam di pandang kurang bermanfaat secara praktis.

Dalam sejarah perkembangannya, kajian terhadap hukum Islam di Indonesia cukup menarik untuk dicermati. Sebab, pertimbangan hukum islam dipelajari dalam kurikulum fakultas hukum menurut Mohammad Daud Ali, didasarkan kepada alasan sejarah, penduduk, yuridis, konstitusional, dan ilmiah. 

Sekolah Tinggi Hukum yang didirikan di Hindia Belanda atau Indonesia dalam sejarahnya mengajarkan hukum islam atau yang disebut sebagai Mohammedaansch Rech, namun penamaan tersebut dianggap kurang tepat karena hukum-hukum islam bersumber pada firman Allah SWT. Jadi berbeda dengan agama-agama yang didasarkan pada penyebarnya. Apalagi sejak tahun 1882 didirikan pengadilan agama di Jawa Barat dan Madura. Dan deklarasi bahwa Indonesia merupakan negara yang berdasarkan kepada ketuhanan YME dinyatakan dalam pasal 29 UUD 1945 sebagai penjabaran dari Pembukaan UUD 1945. Oleh sebab itu, sebagai salah satu disiplin ilmu maka hukum Islam dipelajari secara ilmiah oleh berbagai kalangan, baik cendikiawan maupun praktisi Muslim dan non Islam.

Ditambah dengan jumlah penduduk yang mengaku beragama Islam adalah 229,6 juta jiwa atau 87,2 persen dari total penduduk Indonesia dan 13 persen dari populasi muslim dunia menurut data Global Religious Future pada tahun 2020. Sehingga menjadi kebutuhan bagi para pegawai, para pejabat dan pemimpin untuk mengetahui dan membekali diri dengan pengetahuan keislaman, baik mengenai lembaganya maupun hukum yang tumbuh dan berkembang di dalam umat Islam. Hukum islam di Indonesia berlaku secara normatif dan formal yuridis. Hukum Islam dalam arti normatif karena ia memiliki sanksi kemasyarakatan apabila norma-normanya dilanggar, walaupun bentuk dan praktek pelaksanaan atas sanksi tersebut sangat kondisional, karena tergantung kepada kesadaran masyarakat itu sendiri. Sedangkan secara formal yuridis, karena hukum islam mengatur mengenai manusia dengan manusia dalam arti masalah hukum pidana, dan mengatur manusia dengan benda terutama dalam masyarakat, dalam arti hukum perdata. Jadi hukum islam menjadi hukum positif karena di rujuk dalam peraturan dan perundang-undangan. 

Berbeda dengan pendapat Mohammad Daul Ali diatas, M. Sularno berpandangan bahwa pertimbangan mempelajari hukum Islam dan kemanfaatan secara praktis cenderung membuat umat Islam menjadi abai dan gamang dalam praktek pelaksanaan hukum islam dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan menurut Christian Snouck Hurgronje sebagai tokoh orentalis, ia berpendapat bahwa hukum islam walaupun diterima dalam teori, tetapi sering dilanggar dalam praktek. Watak dasar manusia Indonesia menurut Mochtar Lubis dalam pidato kebudayaannya pada tahun 1977 adalah hipokrit atau munafik, segan dan enggan bertanggungjawab atas perbuatannya, birjiwa feodal, percaya tahayul, artistik, berwatak lemah. Sebenarnya bukan hanya manusia Indonesia yang memiliki sifat-safat negatif seperti digambarkan. Karena pada kenyataan, manusia cenderung abai dengan perintah Allah, termasuk atas kemungkinan perbedaan pandangan. Padahal Allah SWT telah menggariskan bahwa perbedaan sebagai sesuatu yang sunnatullah, dengan catatan penting, tetap mengembalikan segala sesuatunya kepada Allah dan Rasulnya, sebab kebenaran mutlak hanya ada padaNya. Sedangkan manusia pada umumnya hanya mengintripretasikan sesuai dengan kemampuan, pengalaman dan kemauan semata, karena pada dasarnya manusia bersifat dhoif. 

Oleh karena itu menurut M. Sularno,  upaya untuk mewujudkan hukum pidana Islam (Jinayat) baru dapat dijalankan di tengah-tengah masyarakat, baik secara normatif maupun legal formal, apabila memiliki dukungan luas dari berbagai elemen, mulai dari kesiapan regulasinya, kesadaran masyarakatnya, kondusifitas kultur atau budayanya, serta komitmen yang tinggi dari organ pelaksana dan penegakan hukum itu sendiri. Dan hanya dengan demikian, maka Hukum Pidana Islam (Jinayat) dapat mewarnai hukum pidana positif di bidang kepidanaan, karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Sayangnya hukum Jinayat belum difahami secara benar dan mendalam, sehingga menimbulkan kesan bahwa hukum pidana Islam itu kejam dan mengerikan. Di samping kendala dalam memahami hukum Jinayat, ternyata untuk mengimplementasi, mengembangkan, serta menegakkan hukum pidana Islam memiliki kendala tersendiri. 

Untuk memahami hukum islam, khususnya Jinayat, perlu dijalani dengan membuat pemetaan atas berbagai hukum islam yang ada dalam literatur islam dan sempat dikembangkan oleh peradaban Islam, termasuk dengan prinsip-prinsip dasar yang ada padanya. Akan tetapi, tulisan ini terlalu singkat untuk bisa mengulas secara lebih menyeluruh karena begitu luasnya hukum-hukum Islam, syariat Rasullah Muhammad SAW.

JENIS DAN ASAS - ASAS HUKUM ISLAM

Ada berbagai jenis sistem hukum yang digunakan dan dianut oleh negara – negara di berbagai belahan dunia saat ini, antara lain sistem hukum Eropa Kontinental, sistem hukum Anglo-Saxon, Sistem Hukum Adat, dan sistem Hukum Agama. Sistem hukum Eropa Kontinental merupakan sistem hukum yang mencirikan adanya berbagai ketentuan hukum yang di Kodifikasi (dihimpun) secara sistematis untuk kemudian ditafsirkan lebih lanjut oleh Hakim dalam penerapannya.  

Adapun Common Law System atau system hukum umum merupakan sistem hukum yang digunakan di Inggris, di dalamnya menganut aliran frele recht lehre  dimana hukum tidak dibatasi Undang-undang. Artinya, Hakim diberi kebebasan untuk melaksanakan Undang-undang atau mengabaikannya. Sedangkan Sistem hukum Anglo-Saxon ialah sistem hukum yang didasarkan pada Yurisprudensi. Yurisprudensi adalah keputusan Hakim terdahulu menjadi dasar putusan bagi hakim-hakim selanjutnya.

Berbeda dengan system hukum Eropa Continental, Common Law dan Anglo Saxon, -- Sistem Hukum Adat lebih merupakan seperangkat norma dan aturan adat / kebiasaan yang berlaku di suatu wilayah tertentu dan memiliki sanksi sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di wilayah tersebut. Jadi Hukum adat dimungkinkan untuk menjadi hukum legal formal apabila tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 

Dan sebaliknya, Sistem Hukum Agama sebagai sistem hukum yang berdasarkan ketentuan agama,utamanya bersumber dari Kitab Suci sebagai sesuatu yang telah ditetapkan oleh Tuhan YME. Hukum Agama Islam atau Hukum Islam secara umum dapat dibagi menjadi kelompok Hukum yang dapat diperinci sebagai berikut : Munakahat ( Hukum Perkawinan); Wirasah (Hukum Faraid); Muamalat (Hukum Benda, dalam arti khusus); Al Hakam As Sulthoniyah (Hukum Tata Negara); Siyar (Hukum Internasional); Mukhasamat (Hukum Acara); Dan Jinayat (Hukum Pidana).

Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan Munakahat ialah peraturan yang mengatur segala sesuatu tentang perkawinan, perceraian serta akibat dan konsekuensi hukumnya. Adapun Wirasah merupakan hukum yang mengatur semua permasalahan yang berhubungan dengan kewarisan, harta peninggalan dan pembagian warisan. Sedangkan Muamalat merupakan hukum yang mengatur masalah kebendaan, hak atas benda, jual - beli, sewa - menyewa, pinjam - meminjam, dan perserikatan dagang. 

Jadi berbeda dengan Al Hakam As Sulthoniyah yang merupakan peraturan tentang masalah pemerintahan pusat dan daerah, kepala negara, tentara, maupun masalah perpajakan. Demikian halnya dengan Siyar sebagai ketentuan yang mengatur urusan perang, perdamaian, dan tata hubungan dengan negara lain atau agama lain. Sedangkan Mukhasamat merupakan Hukum Formil yang mengatur masalah peradilan agama, kehakiman dan hukum acara. Dan lain pula dengan Jinayat sebagai suatu hukum yang memuat tentang tata aturan mengenai perbuatan-perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman. 

Jinayat sendiri terdiri dari dua aspek yaitu Jarimah Hudud dan Ta’zir. Jarimah Hudud merupakan suatu ketentuan hukum pidana yang sumber, bentuk dan batas hukumannya telah ditentukan dalam Al Qur’an dan sunah Nabi SAW (Hadist). Sebaliknya, Jarimah Ta’zir merupakan perbuatan Pidana yang bentuk dan ancaman hukumannya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelaku / pelanggar Jinayat. Jarimah Ta'zir dimungkinkan adanya Ijtihad dalam memutuskan suatu hukum oleh penguasa, pejabat, petugas yang memiliki kewenangan untuk berijtihad.  

Selain lingkup hukum islam sebagaimana diterangkan di atas, perlu pula diketahui mengenai sumber-sumber Hukum Islam atau biasa di kenal dengan dalil atau inti pokok hukum islam sebagaimana telah ditentukan oleh Allah SWT. 

Sumber hukum Islam bila merujuk kepada QS 4:59 sebagaimana dikutip pada bagian di atas, sejatinya bisa dikatagorikan kepada tiga sumber yaitu setiap umat Islam wajib taat dan patuh kepada Allah SWT, Rasulallah SAW dan Ulil Amri. Jadi sumber hukum yang utama dalam hukum Islam adalah Al Quran, kemudian Al Hadist yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW, dan yang terakhir adalah penguasa (ulil amri). Sedangkan yang dimaksud dengan  Ulil Amri adalah setiap orang yang mempunyai kekuasaan atau memenuhi syarat untuk berijtihad mengenai hukum Islam. Memang hukum yang dihasilkan melalui Ijtihad oleh penguasa memiliki kadar di bawah kehendak Allah sebagai suatu ketetapan yang tertulis dalam Al Quran, dan dibawah hikmah dari Rasulllah SAW yang berupa sunnah-sunnahnya dimana saat ini telah terhimpun dalam kitab-kitab hadist, akan tetapi sebagai sumber hukum maka hasil Ijtihad dari Ulil Amri adalah suatu produk hukum yang sah dan diakui.

Islam mengenal dan mengakui bahwa akal pikiran merupakan salah satu sarana menggali sumber hukum yang dapat dilakukan melalui Ijtihad. Hukum - hukum Islam yang dilahirkan melalui proses ijtihad merupakan sumber pengembangan yang sangat diperlukan dalam bidang muamalah untuk menampung pertumbuhan dan perkembangan masyarakat yang senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Hukum Islam pada kenyatannya merupakan hukum yang hidup atau dinamis, walaupun ada yang bersifat statis atau baku sehingga tidak bisa diganggu gugat lagi. Oleh sebab itu perlu mengetahui asas-asas yang digunakan di dalam hukum Islam, khususnya dalam persoalan Jinayat.

Asas memiliki asal kata Asasun yang dalam Bahasa Arab berarti dasar, basis, pondasi. Jadi yang dimaksud dengan asas adalah landasan berfikir yang mendasari atau kebenaran yang menjadi tumpuan berfikir atau berpendapat. Sedangkan asas hukum itu sendiri merupakan kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berfikir atau alasan berpendapat, terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum. Sehingga asas merupakan prinsip yang sangat penting dalam hukum Islam agar pengamalannya senantiasa sesuai dengan setiap keadaan karena berdiri di atas dasar yang kuat, jelas, sekaligus selaras dengan fitrah manusia.

Mohammad Daud Ali membagi asas hukum islam menjadi asas yang bersifat umum, asas hukum pidana, dan asas hukum perdata. Asas umum dalam hukum islam terdiri dari 3 asas, yaitu : (1). asas keadilan, (2). asas kepastian hukum, (3). dan asas kemanfaatan; Sedangkan asas hukum pidana mencakup 3 asas yakni : (1). asas legalitas, (2). asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain, (3). serta asas praduga tidak bersalah; Adapun asas hukum perdata lebih luas lagi, yaitu : (1). asas kebolehan atau mubah, (2). asas kemaslahatan hidup, (3). asas kebebasan dan kerelaan, (4). asas menolak mudharat, mengambil manfaat, (5). asas kebajikan, (6). asas kekeluargaan, (7). asas adil dan berimbang, (8). asas mendahulukan kewajiban dari hak, ((9). asas larangan merugikan diri sendiri dan orang lain, (10). asas kemampuan berbuat, (11). asas kebebasan berusaha, (12). asas mendapatkan hak karena usaha dan jasa, (13). asas perlindungan hak, (14). asas hak milik berfungsi sosial, (15). asas yang beriktikad baik harus dilindungi, (16). asas resiko dibebankan kepada benda atau harta, tidak kepada tenaga atau pekerja, (17). asas mengatur sebagai petunjuk, (18). asas perjanjian tertulis atau diucapkan di depan saksi. 

Mohammad Daud Ali menambahkan bahwa dalam hukum perdata, ada asas khusus mengenai hukum perkawinan, yaitu : (1). Kesukarelaan, (2). Persetujuan kedua belah pihak, (3). Kebebasan memilih, (4). Kemitraan suami-istri, (5). untuk selama-lamanya, (6). Monogami terbuka. Sedangkan dalam hukum kewarisan dikenal beberapa asas yaitu : (1) ijabari atau wajib dilaksanakan, (2). Bilateral, (3). Individual, (4). Keadilan yang berimbang, (5). Akibat kematian.

Apabila Muhammad Daul Ali mengemukakakan 3 asas dalam hukum pidana islam atau Jinayat, tetapi menurut berbagai penelusuran yang akurat dan mendalam terhadap syari’at Islam oleh para juris muslim, maka M. Sularno menghasilkan simpulan yang berbeda mengenai asas-asas yang menjadi landasan tegak berdirinya Hukum Islam. Dari berbagai pendapat para cendikiawan tersebut, maka bisa dikemukakan bahwa asas Jinayat antara lain :

1). Asas legalitas adalah tiada delik tiada hukuman sebelum ada ketentuan terlebih dahulu. Asas ini merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini juga dapat melindungi dari penyalahgunaan kekuasaan hakim, menjamin keamanan individu dengan adanya informasi yang boleh dan yang dilarang. Asas legalitas dalam hukum islam bukan berdasarkan akal fikiran manusia semata, namun sudah merupakan ketentuan dari Allah SWT sesuai dengan firmannya dalam Al-Qur’an  yang menegaskan bahwa Allah tidak akan mengazab sebelum diutus seorang utusan, yaitu QS 17:15 yang berbunyi :

مَّنِ ٱهْتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهْتَدِى لِنَفْسِهِۦ ۖ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا ۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ ۗ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا

Artinya: "Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul."

Asas legalitas sebagai asas hukum diambil dari kata legalitas yang berasal dari bahasa Latin yaitu lex yang berarti undang-undang. Dengan demikian maka asas legalitas dapat diartikan sebagai keabsahan sesuatu menurut undang-undang. Asas legalitas pertama kali digagas oleh Anselm van Voirbacht dan penerapannya di Indonesia dapat dilihat Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi “suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan peraturan perundang - perundangan pidana”. 

Istilah asas legalitas dalam syariat islam tidak ditentukan secara spesifik sebagaimana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana positif. Namun demikian bukan berarti syariat islam tidak mengenal asas legalitas. Anggapan bahwa hukum pidana islam tidak mengatur asas legalitas, hanya pendapat mereka yang belum meneliti secara detail berbagai ayat yang secara substansial menunjukkan adanya asas legalitas. Walaupun eksistensi asas legalitas tidak ditentukan secara tegas dalam hukum pidana islam, namun secara substansial terdapat ayat Al Quran dan kaidah yang mengisyaratkan adanya asas legalitas dalam Jinayat, yakni:

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا ٱكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ إِن نَّسِينَآ أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِۦ ۖ وَٱعْفُ عَنَّا وَٱغْفِرْ لَنَا وَٱرْحَمْنَآ ۚ أَنتَ مَوْلَىٰنَا فَٱنصُرْنَا عَلَى ٱلْقَوْمِ ٱلْكَٰفِرِينَ

 Artinya : "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir."

Sanksi dalam Jinayat harus proporsional, setiap orang diberikan sanksi sesuai dengan kadar kesalahan dan dosanya, termasuk unsur niat dan tindak pidana yang dilakukan. Oleh sebab itu, sebagai salah satu kepastian dalam hukum pidana maka sanksi hukuman tidak boleh tidak berlaku umum karena setiap orang yang melakukan kesalahan yang sama dengan niat dan tindak pidana yang sama, maka sanksinya juga sama sebagai asas legalitas.

2). Asas tidak berlaku surut ialah suatu asas yang melarang berlakunya hukum pidana ke belakang atau retroaktif. Asas ini dalam hukum islam dapat dilihat pada ketentuan mengenai seorang anak yang tidak diizinkan menikahi isteri dari ayahnya. Islam melarang hal ini, tetapi Allah telah menentukan melalui firmanNya bahwa ketentuan tersebut secara khusus tidak berlaku kepada setiap perkawinan yang dilakukan sebelum adanya pernyataan larangan dari Allah SWT,, melalui firmannya dalam QS 4:22 yang berbunyi :

وَلَا تَنكِحُوا۟ مَا نَكَحَ ءَابَآؤُكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَمَقْتًا وَسَآءَ سَبِيلًا

 Artinya : "Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)."

Jadi dalam penerapan Jinayat tidak berlaku retroaktif. Sebelum syariat Islam diturunkan oleh Allah SWT atau aturan hukum dibuat, maka sanksi hukum tidak dikenakan kepada mereka yang melakukan tindak pidana.

3) Asas Tidak Sahnya Hukuman Karena Keraguan. Suatu hukuman tidak bisa dikenakan kepada pelaku pidana karena memiliki unsur keraguan. Hal ini bermakna bahwa batal hukumnya jika terdapat hukuman yang dijatuhkan tetapi dasar atau alasan penjatuhan hukuman tersebut memiliki unsur keraguan di dalamnya. Nash Al-Hadis mengatur : 

Hindarkanlah hudud dalam keadaan ragu, lebih baik salah dalam membebaskan dari pada salah dalam menghukum.” Menurut ketentuan ini, putusan menjatuhkan hukuman harus dilakukan dengan penuh keyakinan, tanpa adanya keraguan. Asas ini amat penting dalam penerapan Jinayat, bahkan seorang yang memberikan keterangan palsu juga bisa dikenakan sanksi hukum yang amat berat apabila keterangannya tidak didukung oleh saksi-saksi yang memadai, sebagaimana firmanNya dalam QS 24:4.

وَٱلَّذِينَ يَرْمُونَ ٱلْمُحْصَنَٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا۟ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَآءَ فَٱجْلِدُوهُمْ ثَمَٰنِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا۟ لَهُمْ شَهَٰدَةً أَبَدًا ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ

Artinya: "Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik."

Ketentuan mengenai keberadaan saksi amat penting dalam pelaksanaan Jinayat, sebab mendatangkan bukti yang memenuhi kualifikasi sesuai syariat amat penting dalam menentukan kadar dari putusan yang dijatuhkan oleh hakim / pengadilan. Selain daripada itu, keberadaan saksi menghindarkan keragu-raguan dalam memutuskan suatu perkara.

4). Asas Praduga Tak Bersalah (principle of lawfulness) dimaksudkan bahwa semua perbuatan dianggap boleh, kecuali dinyatakan sebaliknya oleh suatu nash hukum. Selanjutnya, setiap orang dianggap tidak bersalah untuk sesuatu perbuatan salah, kecuali telah dibuktikan kesalahannya itu pada suatu kejahatan tanpa keraguan. Jika suatu keraguan yang beralasan muncul, seseorang tertuduh harus dibebaskan. Rasulullah bersabda : “Hindarkanlah bagi muslim hukuman hudud kapan saja kamu dapat dan jika kamu dapat menemukan jalan untuk membebaskannya. Jika imam salah, lebih baik salah dalam membebaskan daripada salah dalam menghukum.” Allah SWT berfirman dalam QS 24 : 13 sebagai berikut :

لَّوْلَا جَآءُو عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَآءَ ۚ فَإِذْ لَمْ يَأْتُوا۟ بِٱلشُّهَدَآءِ فَأُو۟لَٰٓئِكَ عِندَ ٱللَّهِ هُمُ ٱلْكَٰذِبُونَ

 Artinya: "Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta."

Allah SWT telah memaklumatkan bahwa setiap tuduhan harus bisa dibuktikan. Jadi, asas praduga tak bersalah adalah asas yang mendasari setiap dakwaan bahwa seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang meyakinkan menyatakan dengan tegas kesalahannya itu. Asas ini diambil dari ayat-ayat Al Quran yang menjadi sumber asas legalitas dan asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain sebagaimana telah diterangkan di atas.

5). Asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law) mengandung makna bahwa tidak ada perbedaan antara tuan dan budak, antara kaya dan miskin, antara pemimpin dan rakyatnya, dan antara pria dan wanita dalam pandangan hukum Islam. Prinsip atau asas persamaan ini, tidak hanya terdapat dalam ranah teori dan filosofi hukum Islam, melainkan dilaksanakan secara praktis oleh Rasulullah SAW dan para sahabat, para khalifah, dan penerus beliau. Dan Syari’at Islam memberikan tekanan yang besar pada prinsip equality before the law ini, Rasulullah bersabda : “Wahai manusia ! Kalian menyembah Tuhan yang sama, kalian mempunyai bapak yang sama. Bangsa Arab tidak lebih mulia dari pada bangsa Persia dan merah tidak lebih mulia dari pada hitam, kecuali dalam ketakwaan”. Hadist tersebut memperkuat firman Allah SWT yang berbunyi :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Artinya : "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal."

Perbedaan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya dihadapan Allah SWT hanya terletak pada ketakwaanya, bukan pada pangkat, jabatan, kekayaan, ketokohan, keturunan dan lainnya sebagainya. Takwa berarti menjalankan segenap perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya. Takwa berkorelasi dengan amal ibadah, perbuatan dan kepatuhan kepada sang maha pencipta. 

6). Asas Larangan Memindahkan Kesalahan Kepada Orang Lain. Asas ini menyatakan bahwa setiap perbuatan manusia, baik perbuatan yang baik maupun perbuatan yang jahat akan mendapatkan imbalan yang setimpal. Asas ini terdapat di dalam berbagai surah dan ayat di dalam Al Quran, diantaranya QS 35 :18 berikut ini :

وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ ۚ وَإِن تَدْعُ مُثْقَلَةٌ إِلَىٰ حِمْلِهَا لَا يُحْمَلْ مِنْهُ شَىْءٌ وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰٓ ۗ إِنَّمَا تُنذِرُ ٱلَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُم بِٱلْغَيْبِ وَأَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ ۚ وَمَن تَزَكَّىٰ فَإِنَّمَا يَتَزَكَّىٰ لِنَفْسِهِۦ ۚ وَإِلَى ٱللَّهِ ٱلْمَصِيرُ

Artinya : "Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka mendirikan sembahyang. Dan barangsiapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allahlah kembali(mu)."

Selain ayat tersebut diatas, masih ada beberapa ayat lain yang terkait dengan asas ini, diantaranya Surah Al An’aam ayat 165, Surah Az Zumar ayat 7, Surah An Najm ayat 38, dan bahkan dalam Surah Al Mudatsir ayat 38 menerangkan tegas:

كُلُّ نَفْسٍۭ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ

Artinya : 'Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya."

Dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa setiap orang terikat kepada apa yang dia kerjakan, dan setiap orang tidak akan memikul dosa atau kesalahan yang dibuat oleh orang lain.

Sesungguhnya Syari’at Islam telah menerapkan asas – asas hukum pidana islam secara lengkap sejak lebih dari empat belas abad yang lalu, sementara dalam hukum pidana modern asas ini baru dikenal pada akhir abad delapan belas di dalam bentuknya yang berbeda - beda antar negara yang satu dengan negara yang lain.

PESONA KONTEKSTUALITAS PENERAPAN HUKUM PIDANA ISLAM

Ketika membicarakan perihal hukum pidana yang kini berlaku di Indonesia, kesan yang timbul adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai warisan kaum penjajah Belanda, walaupun sudah banyak terdapat ketidaksesuaian dengan perkembangan dan tuntutan keadilan di tengah masyarakat, tetapi pengesahan rancangan RUU KUHP tidak kunjung selesai. Di samping KUHP terdapat beberapa produk perundang-undangan yang berkaitan dengan pidana, seperti Undang-undang No. 35/2009 tentang Narkotika, termasuk keberadaan ketentuan-ketentuan pidana yang tercantum dalam berbagai Undang-undang non-pidana, misalnya pada Undang-undang Pendidikan, Undang-undang Pemilu, Undang-undang Parpol, Undang-undang Kesehatan, Undang-undang Pers. Undang-undang tersebut relatif telah mengarah kepada tuntutan keadilan masyarakat masa kini. Sedangkan hukum pidana sebagaimana sudah dijelaskan di atas biasa disebut sebagai hukum pidana dalam arti sempit atau hukum pidana materiil. Jika ketentuan- ketentuan dalam hukum pidana materiil itu ada yang dilanggar, maka diperlukan hukum pidana formal yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Di dalam KUHAP itulah diatur tentang batas-batas berlakunya aturan pidana, dasar penghapus pidana, pemberat dan peringan pidana, penyertaan melakukan tindak pidana, gabungan tindak pidana dan sebagainya. 

Dalam hukum pidana suatu tindak pidana dibedakan menjadi dua macam, yakni kejahatan dan pelanggaran. Bentuk kejahatan yang diatur dalam KUHP diantaranya adalah kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan terhadap ketertiban umum, kejahatan tentang sumpah palsu, kejahatan terhadap Kesusilaan, kejahatan penghinaan, kejahatan terhadap nyawa, penganiayaan, serta pencurian. Sedangkan kejahatan - kejahatan yang sifatnya kurang serius bisa dikategorikan ke dalam bentuk pelanggaran.

Sementara hukum pidana yang berlaku di Indonesia merupakan peninggalan penjajah Belanda, dimana landasan falsafah yang mendasarinya berbeda dengan falsafah yang dianut oleh bangsa Indonesia. Di samping sebagian pandangan yang menganggap bahwa sanksi pidana yang diancamkan bagi pelaku pidana terlalu ringan, tidak menjerakan, dan tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Bahkan ancaman pidana yang dijatuhkan oleh Hakim seringkali dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan di tengah masyarakat, khususnya bagi korban kejahatan dan keluarganya.

Berbeda dengan Hukum Islam, khususnya mengenai tindak pidana atau hukum pidana islam yang biasa dikenal dengan istilah Jinayat. Hukum pidana islam sudah cukup dikenal dalam sejarah peradaban umat islam, demikian halnya di Indonesia. Ayat-ayat Al-Qur’an yang membicarakan perihal pidana (Jinayat) dengan berbagai hal yang terkait dengannya telah cukup banyak. Menurut pendapat para ahli terdapat kurang lebih 30 ayat yang membahas secara khusus soal Jinayat, namun untuk menunjukan pesona penerapan Jinayat tersebut, penulis akan mengetengahkan 2 permasalahan yang cukup menarik dalam perbincangan sehari-hari, antara lain :

Kejahatan terhadap Jiwa

Tindak pidana yang mengakibatkan kematian orang lain disebut pembunuhan, dalam hukum pidana Islam, menurut mazhab Maliki, dibedakan menjadi pembunuhan sengaja dan pembunuhan tidak sengaja, sedangkan menurut mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali, dibedakan menjadi pembunuhan sengaja, semi sengaja, dan pembunuhan karena tersalah (tidak sengaja). Allah berfirman dalam QS 17:35,

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ۗ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ ۖ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا

 Artinya : "Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan."

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa pembunuhan bisa dibedakan menjadi pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja dan pembunuhan yang terjadi secara tidak sengaja. Guna mengetahui pembunuhan itu disengaja atau tidak sengaja, maka perlu dibuktikan melalui mekanisme pembuktian yang berlaku dalam hukum acara pidana sebagaimana umumnya pengadilan terhadap tindak pidana. Sebab dengan adanya klasifikasi pembunuhan sengaja, semi sengaja, dan karena tersalah, maka perkara pembunuhan dari sudut pandang Jinayat bisa berkonsekuensi hukum yang berbeda dengan sanksi yang berbeda pula, terutama bagi pelaku pembunuhan yang sengaja. Islam mengatur sanksi melakukan pembunuhan secara eksplisit di dalam Al Qur'an maupun Hadist. Misalnya saja dalam QS 4:92 yang berbunyi sebagai berikut :

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَن يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَـًٔا ۚ وَمَن قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَـًٔا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰٓ أَهْلِهِۦٓ إِلَّآ أَن يَصَّدَّقُوا۟ ۚ فَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ۖ وَإِن كَانَ مِن قَوْمٍۭ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُم مِّيثَٰقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰٓ أَهْلِهِۦ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ۖ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِّنَ ٱللَّهِ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا 

Artinya: "Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh seorang yang beriman (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Barangsiapa membunuh seorang yang beriman karena tersalah (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta (membayar) tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh) membebaskan pembayaran. Jika dia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia orang beriman, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan jika dia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa tidak mendapatkan (hamba sahaya), maka hendaklah dia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai tobat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana."

Jadi sanksi akibat melakukan pembunuhan menurut Islam ada beberapa jenis, yaitu hukuman pokok, hukuman pengganti, dan hukuman tambahan. Hukuman pokoknya adalah Qisas / balas dendam. Numun jika dimaafkan oleh keluarga korban, maka hukuman penggantinya adalah Diyat / tebusan. Dan apabila sanksi Qisas atau Diyat dimaafkan, maka hukuman penggantinya adalah Ta’zir. Bentuk dan jenis dari hukuman Ta'zir ini diserahkan kepada penguasa / hakim untuk menentukannya. 

Disampin itu ada bentuk hukuman tambahan bagi tindak pidana pembunuhan, yaitu jarimah berupa terhalangnya hak atas warisan dan wasiat. Sanksi hukuman pokok bagi pembunuhan semi sengaja adalah Diyat dan Kafarat, sedangkan hukuman penggantinya adalah puasa dan Ta’zir, sedangkan hukuman tambahannya adalah terhalang menerima warisan dan wasiat. Sanksi pokok bagi pembunuhan karena tersalah adalah Diyat dan Kafarat. Hukuman penggantinya adalah puasa dan ta’zir, sedangkan hukuman tambahannya adalah hilangnya hak mewarisi dan hak mendapatkan wasiat.

Kejahatan terhadap Harta

Kejahatan yang dilakukan terhadap harta yang bukan haknya, mengambil atau merampas milik orang lain tanpa hak, baik secara diam-diam seperti Pencurian atau dilakukan dengan paksaan seperti Perampokan. Kejahatan pencurian dalam praktik kehidupan sehari-hari ada yang dijalankan secara tersembunyi tetapi ada juga yang dilaksanakan secara terang - terangan. Namun demikian, di dalam Al-Qur’an tidak didefinisikan istilah atas tindak pidana / kejahatan terhadap harta sebagaimana yang tercantum di dalam KUHP yang sampai menjelaskan unsur – unsurnya dengan cukup detail. Jadi definisi pencurian yang ada dalam Al-Qur’an diserahkan kepada pihak-pihak yang memiliki otoritas untuk menjabarkan hal itu sesuai dengan kewenangan dan kemampuannya untuk berijtihad dalam hukum islam. Dan hal itu menjadi kebutuhan umat agar para Alim dan Ulama melakukan ijtihad.   

Ulama fiqih sudah barang tentu merasa perlu merumuskan definisi pencurian supaya kepastian hukum dapat terwujud seiring dengan perkembangan dan kemajuan teknologi agar lebih kontekstual namun tidak menghilangkan substansi dari praktek penerapan hukum Jinayat tersebut. Para Alim Ulama perlu segera membuat definisi ulang yang lebih kontekstual sekaligus operasional atas definisi yang pernah mapan. Mengingat dalam Al Quran hanya menyebutkan secara garis besar, yakni QS 5:38 yang berbunya :

وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقْطَعُوٓا۟ أَيْدِيَهُمَا جَزَآءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَٰلًا مِّنَ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ 

Artinya : Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Didalam ayat tersebut tidak menyebutkan definisi tentang praktek pencurian yang dilakukan dan batasan jumlah yang dicuri, sehingga praktek penerapan hukum Jinayat bisa di salah pahami, terutama ketika hendak dilaksanakan. Padahal dalam pelaksanaannya tidak semua pencuri di hukum potong tangan. Ada batas minimal nilai harta yang dicuri untuk dapat diterapkan hukuman tersebut. Menurut Hadist Riwayat Abu Dawud dari ‘Aisyah menerangkan : “Sesungguhnya nabi memotong (tangan pencuri yang mencapai batas minimal) seperempat dinar emas.” Jika pencurian dengan hukuman potong tangan termasuk hudud, maka untuk pencurian yang tidak mencapai batas minimal hukumannya tidak dikenakan hukuman potong tangan. Jadi praktek pelaksanaan hukumannya dipindahkan ke hukuman Ta’zir. Dalam konteks menghindari hukuman potong tangan ini, sesungguhnya hukum pidana islam memberi ruang kepada penyelesaian perkara secara damai diantara para pihak, sebelum terlanjur diproses di pengadilan, bahkan islam amat menganjurkan penyelesaian secara damai ini untuk diterapkan.

Dari praktek pelaksanaan hukum Jinayat atas 2 tindak pidana diatas memberikan gambaran sangat nyata kepada kita semua, betapa praktek penerapan Jinayat sangat memberi ruang untuk penyelesaian secara musyawarah, tidak selalu hukum Qisas (balas dendam) untuk pembunuhan atau potong tangan untuk pelaku tindak pidana pencurian. Permusyarawaratan dan perdamaian merupakan solusi manusiawi di dalam menyelesaiakan masalah pidana dalam praktek pelaksanaan Jinayat sebagai bentuk Hukum Pidana Islam. Sebab, anggota keluarga yang keluarganya dibunuh, atau pemilik harta yang hartanya dicuri bisa melakukan perdamaian secara musyawarah dengan pelaku tindak pidana tersebut, sehingga bisa saling mengikhlaskan untuk mencari ridho Allah SWT sehingga pada akhirnya sepakat untuk tidak melanjutkannya ke pengadilan. Dan hal itu dibenarkan dalam penerapan hukum islam, sebab dalam hukum pidana Islam ada beberapa perkara pidana yang dapat diselesaikan secara perdata.

Sayangnya, walaupun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dimana Jinayat secara legal formal bisa dipraktekan secara lebih luas lagi, atau setidaknya, aturan perundangan yang berlaku di tanah air lebih banyak lagi mengakomodasi ketentuan syari’at yang berkaitan dengan persoalan pidana, dimana ada berbagai masalah tindak pidana yang bisa di geser ke masalah perdata, dan persoalan litigasi yang menumpuk di pengadilan menjadi referal kasus secara non litigasi. Maka problem over kapasitas Lapas, kriminalisasi, jual beli vonis, atau pun makelar kasus yang menjangkiti lembaga peradilan bisa dikurangi.  

Memang, dalam realitanya masih jauh panggang dari api. Segenap pihak yang peduli dan memiliki kapasitas dalam dunia hukum seyogyanya berikhtiar tiada henti untuk membumikan peluang Hukum Pidana menjadi Hukum Perdata, persoalan litigasi diselesaikankan secara non litigasi. Dan ikhtiar dalam hal ini belumlah menggembirakan. Untuk menuju harapan yang lebih ideal sebagaimana tersebut di atas diperlukan upaya nyata secara bertahap, termasuk dalam menentukan pilihan-pilihan yang lebih bersifat praktis - operasional.

***---***

*disampaikan pada fh universitas jakarta, tgl 27/10/2021.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun