Mohon tunggu...
Achmad Suhawi
Achmad Suhawi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Politisi Pengusaha

MENGUTIP ARTIKEL, Harap Cantumkan Sumbernya....! "It is better to listen to a wise enemy than to seek counsel from a foolish friend." (LEBIH BAIK MENDENGARKAN MUSUH YANG BIJAK DARIPADA MEMINTA NASEHAT DARI TEMAN YANG BODOH)

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penerapan Hukum Pidana Islam di Indonesia, Mungkinkah?

29 Oktober 2021   02:50 Diperbarui: 8 November 2021   02:06 963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jadi sanksi akibat melakukan pembunuhan menurut Islam ada beberapa jenis, yaitu hukuman pokok, hukuman pengganti, dan hukuman tambahan. Hukuman pokoknya adalah Qisas / balas dendam. Numun jika dimaafkan oleh keluarga korban, maka hukuman penggantinya adalah Diyat / tebusan. Dan apabila sanksi Qisas atau Diyat dimaafkan, maka hukuman penggantinya adalah Ta’zir. Bentuk dan jenis dari hukuman Ta'zir ini diserahkan kepada penguasa / hakim untuk menentukannya. 

Disampin itu ada bentuk hukuman tambahan bagi tindak pidana pembunuhan, yaitu jarimah berupa terhalangnya hak atas warisan dan wasiat. Sanksi hukuman pokok bagi pembunuhan semi sengaja adalah Diyat dan Kafarat, sedangkan hukuman penggantinya adalah puasa dan Ta’zir, sedangkan hukuman tambahannya adalah terhalang menerima warisan dan wasiat. Sanksi pokok bagi pembunuhan karena tersalah adalah Diyat dan Kafarat. Hukuman penggantinya adalah puasa dan ta’zir, sedangkan hukuman tambahannya adalah hilangnya hak mewarisi dan hak mendapatkan wasiat.

Kejahatan terhadap Harta

Kejahatan yang dilakukan terhadap harta yang bukan haknya, mengambil atau merampas milik orang lain tanpa hak, baik secara diam-diam seperti Pencurian atau dilakukan dengan paksaan seperti Perampokan. Kejahatan pencurian dalam praktik kehidupan sehari-hari ada yang dijalankan secara tersembunyi tetapi ada juga yang dilaksanakan secara terang - terangan. Namun demikian, di dalam Al-Qur’an tidak didefinisikan istilah atas tindak pidana / kejahatan terhadap harta sebagaimana yang tercantum di dalam KUHP yang sampai menjelaskan unsur – unsurnya dengan cukup detail. Jadi definisi pencurian yang ada dalam Al-Qur’an diserahkan kepada pihak-pihak yang memiliki otoritas untuk menjabarkan hal itu sesuai dengan kewenangan dan kemampuannya untuk berijtihad dalam hukum islam. Dan hal itu menjadi kebutuhan umat agar para Alim dan Ulama melakukan ijtihad.   

Ulama fiqih sudah barang tentu merasa perlu merumuskan definisi pencurian supaya kepastian hukum dapat terwujud seiring dengan perkembangan dan kemajuan teknologi agar lebih kontekstual namun tidak menghilangkan substansi dari praktek penerapan hukum Jinayat tersebut. Para Alim Ulama perlu segera membuat definisi ulang yang lebih kontekstual sekaligus operasional atas definisi yang pernah mapan. Mengingat dalam Al Quran hanya menyebutkan secara garis besar, yakni QS 5:38 yang berbunya :

وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقْطَعُوٓا۟ أَيْدِيَهُمَا جَزَآءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَٰلًا مِّنَ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ 

Artinya : Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Didalam ayat tersebut tidak menyebutkan definisi tentang praktek pencurian yang dilakukan dan batasan jumlah yang dicuri, sehingga praktek penerapan hukum Jinayat bisa di salah pahami, terutama ketika hendak dilaksanakan. Padahal dalam pelaksanaannya tidak semua pencuri di hukum potong tangan. Ada batas minimal nilai harta yang dicuri untuk dapat diterapkan hukuman tersebut. Menurut Hadist Riwayat Abu Dawud dari ‘Aisyah menerangkan : “Sesungguhnya nabi memotong (tangan pencuri yang mencapai batas minimal) seperempat dinar emas.” Jika pencurian dengan hukuman potong tangan termasuk hudud, maka untuk pencurian yang tidak mencapai batas minimal hukumannya tidak dikenakan hukuman potong tangan. Jadi praktek pelaksanaan hukumannya dipindahkan ke hukuman Ta’zir. Dalam konteks menghindari hukuman potong tangan ini, sesungguhnya hukum pidana islam memberi ruang kepada penyelesaian perkara secara damai diantara para pihak, sebelum terlanjur diproses di pengadilan, bahkan islam amat menganjurkan penyelesaian secara damai ini untuk diterapkan.

Dari praktek pelaksanaan hukum Jinayat atas 2 tindak pidana diatas memberikan gambaran sangat nyata kepada kita semua, betapa praktek penerapan Jinayat sangat memberi ruang untuk penyelesaian secara musyawarah, tidak selalu hukum Qisas (balas dendam) untuk pembunuhan atau potong tangan untuk pelaku tindak pidana pencurian. Permusyarawaratan dan perdamaian merupakan solusi manusiawi di dalam menyelesaiakan masalah pidana dalam praktek pelaksanaan Jinayat sebagai bentuk Hukum Pidana Islam. Sebab, anggota keluarga yang keluarganya dibunuh, atau pemilik harta yang hartanya dicuri bisa melakukan perdamaian secara musyawarah dengan pelaku tindak pidana tersebut, sehingga bisa saling mengikhlaskan untuk mencari ridho Allah SWT sehingga pada akhirnya sepakat untuk tidak melanjutkannya ke pengadilan. Dan hal itu dibenarkan dalam penerapan hukum islam, sebab dalam hukum pidana Islam ada beberapa perkara pidana yang dapat diselesaikan secara perdata.

Sayangnya, walaupun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dimana Jinayat secara legal formal bisa dipraktekan secara lebih luas lagi, atau setidaknya, aturan perundangan yang berlaku di tanah air lebih banyak lagi mengakomodasi ketentuan syari’at yang berkaitan dengan persoalan pidana, dimana ada berbagai masalah tindak pidana yang bisa di geser ke masalah perdata, dan persoalan litigasi yang menumpuk di pengadilan menjadi referal kasus secara non litigasi. Maka problem over kapasitas Lapas, kriminalisasi, jual beli vonis, atau pun makelar kasus yang menjangkiti lembaga peradilan bisa dikurangi.  

Memang, dalam realitanya masih jauh panggang dari api. Segenap pihak yang peduli dan memiliki kapasitas dalam dunia hukum seyogyanya berikhtiar tiada henti untuk membumikan peluang Hukum Pidana menjadi Hukum Perdata, persoalan litigasi diselesaikankan secara non litigasi. Dan ikhtiar dalam hal ini belumlah menggembirakan. Untuk menuju harapan yang lebih ideal sebagaimana tersebut di atas diperlukan upaya nyata secara bertahap, termasuk dalam menentukan pilihan-pilihan yang lebih bersifat praktis - operasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun