Mohon tunggu...
Achmad Suhawi
Achmad Suhawi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Politisi Pengusaha

MENGUTIP ARTIKEL, Harap Cantumkan Sumbernya....! "It is better to listen to a wise enemy than to seek counsel from a foolish friend." (LEBIH BAIK MENDENGARKAN MUSUH YANG BIJAK DARIPADA MEMINTA NASEHAT DARI TEMAN YANG BODOH)

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penerapan Hukum Pidana Islam di Indonesia, Mungkinkah?

29 Oktober 2021   02:50 Diperbarui: 8 November 2021   02:06 963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika membicarakan perihal hukum pidana yang kini berlaku di Indonesia, kesan yang timbul adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai warisan kaum penjajah Belanda, walaupun sudah banyak terdapat ketidaksesuaian dengan perkembangan dan tuntutan keadilan di tengah masyarakat, tetapi pengesahan rancangan RUU KUHP tidak kunjung selesai. Di samping KUHP terdapat beberapa produk perundang-undangan yang berkaitan dengan pidana, seperti Undang-undang No. 35/2009 tentang Narkotika, termasuk keberadaan ketentuan-ketentuan pidana yang tercantum dalam berbagai Undang-undang non-pidana, misalnya pada Undang-undang Pendidikan, Undang-undang Pemilu, Undang-undang Parpol, Undang-undang Kesehatan, Undang-undang Pers. Undang-undang tersebut relatif telah mengarah kepada tuntutan keadilan masyarakat masa kini. Sedangkan hukum pidana sebagaimana sudah dijelaskan di atas biasa disebut sebagai hukum pidana dalam arti sempit atau hukum pidana materiil. Jika ketentuan- ketentuan dalam hukum pidana materiil itu ada yang dilanggar, maka diperlukan hukum pidana formal yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Di dalam KUHAP itulah diatur tentang batas-batas berlakunya aturan pidana, dasar penghapus pidana, pemberat dan peringan pidana, penyertaan melakukan tindak pidana, gabungan tindak pidana dan sebagainya. 

Dalam hukum pidana suatu tindak pidana dibedakan menjadi dua macam, yakni kejahatan dan pelanggaran. Bentuk kejahatan yang diatur dalam KUHP diantaranya adalah kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan terhadap ketertiban umum, kejahatan tentang sumpah palsu, kejahatan terhadap Kesusilaan, kejahatan penghinaan, kejahatan terhadap nyawa, penganiayaan, serta pencurian. Sedangkan kejahatan - kejahatan yang sifatnya kurang serius bisa dikategorikan ke dalam bentuk pelanggaran.

Sementara hukum pidana yang berlaku di Indonesia merupakan peninggalan penjajah Belanda, dimana landasan falsafah yang mendasarinya berbeda dengan falsafah yang dianut oleh bangsa Indonesia. Di samping sebagian pandangan yang menganggap bahwa sanksi pidana yang diancamkan bagi pelaku pidana terlalu ringan, tidak menjerakan, dan tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Bahkan ancaman pidana yang dijatuhkan oleh Hakim seringkali dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan di tengah masyarakat, khususnya bagi korban kejahatan dan keluarganya.

Berbeda dengan Hukum Islam, khususnya mengenai tindak pidana atau hukum pidana islam yang biasa dikenal dengan istilah Jinayat. Hukum pidana islam sudah cukup dikenal dalam sejarah peradaban umat islam, demikian halnya di Indonesia. Ayat-ayat Al-Qur’an yang membicarakan perihal pidana (Jinayat) dengan berbagai hal yang terkait dengannya telah cukup banyak. Menurut pendapat para ahli terdapat kurang lebih 30 ayat yang membahas secara khusus soal Jinayat, namun untuk menunjukan pesona penerapan Jinayat tersebut, penulis akan mengetengahkan 2 permasalahan yang cukup menarik dalam perbincangan sehari-hari, antara lain :

Kejahatan terhadap Jiwa

Tindak pidana yang mengakibatkan kematian orang lain disebut pembunuhan, dalam hukum pidana Islam, menurut mazhab Maliki, dibedakan menjadi pembunuhan sengaja dan pembunuhan tidak sengaja, sedangkan menurut mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali, dibedakan menjadi pembunuhan sengaja, semi sengaja, dan pembunuhan karena tersalah (tidak sengaja). Allah berfirman dalam QS 17:35,

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ۗ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ ۖ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا

 Artinya : "Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan."

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa pembunuhan bisa dibedakan menjadi pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja dan pembunuhan yang terjadi secara tidak sengaja. Guna mengetahui pembunuhan itu disengaja atau tidak sengaja, maka perlu dibuktikan melalui mekanisme pembuktian yang berlaku dalam hukum acara pidana sebagaimana umumnya pengadilan terhadap tindak pidana. Sebab dengan adanya klasifikasi pembunuhan sengaja, semi sengaja, dan karena tersalah, maka perkara pembunuhan dari sudut pandang Jinayat bisa berkonsekuensi hukum yang berbeda dengan sanksi yang berbeda pula, terutama bagi pelaku pembunuhan yang sengaja. Islam mengatur sanksi melakukan pembunuhan secara eksplisit di dalam Al Qur'an maupun Hadist. Misalnya saja dalam QS 4:92 yang berbunyi sebagai berikut :

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَن يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَـًٔا ۚ وَمَن قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَـًٔا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰٓ أَهْلِهِۦٓ إِلَّآ أَن يَصَّدَّقُوا۟ ۚ فَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ۖ وَإِن كَانَ مِن قَوْمٍۭ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُم مِّيثَٰقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰٓ أَهْلِهِۦ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ۖ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِّنَ ٱللَّهِ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا 

Artinya: "Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh seorang yang beriman (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Barangsiapa membunuh seorang yang beriman karena tersalah (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta (membayar) tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh) membebaskan pembayaran. Jika dia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia orang beriman, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan jika dia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa tidak mendapatkan (hamba sahaya), maka hendaklah dia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai tobat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun