Mohon tunggu...
Suhardi Somomoeljono
Suhardi Somomoeljono Mohon Tunggu... Advokat -

Suhardi Somomoeljono Channel

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pelurusan Sejarah Organisasi Advokat Secara Konstitusional

24 Maret 2016   18:36 Diperbarui: 4 September 2018   13:21 3773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pelurusan Sejarah Organisasi Advokat Secara Konstitusional  Oleh: Dr.H.Suhardi Somomoeljono,Sh.,Mh.

Prolog                                                                                              

          Tulisan ini bermaksut meluruskan sejarah Organisasi Profesi Advokat Indonesia  dalam perspektif UU Advokat No.18.Tahun 2003 dengan pendekatan konstitusional. Semaksimal mungkin ditulis tanpa tafsir hukum terutama terhadap hal-hal yang menyangkut peristiwa kejadian, sehingga tulisan ini diharapkan dapat meluruskan sejarah sesuai dengan dinamika perkembangannya. Para Advokat di Indonesia terutama untuk generasi muda advokat berhak untuk mengetauhi secara jujur, apa adanya tanpa rekayasa sehingga nantinya dapat dilakukan analisa secara mendalam yang bersifat akademis, dengan harapan untuk peningkatan mutu kwalitas Advokat dalam menjalankan profesinya, baik dalam kancah nasional maupun internasional.

          Apa sebenarnya yang menyebabkan terjadinya kesalahan tafsir setelah UU lahir, sehingga pembentukan wadah tunggal (Indonesian Bar Association) belum berhasil diwujudkan. Siapa sesungguhnya pihak-pihak yang harus bertanggungjawab terutama secara moral atas terjadinya dinamika yang menyesatkan atau penyesatan (miss perception), khususnya terhadap kegagalan pembentukan wadah nasional organisasi profesi advokat. Bagaimana peran atau posisi pemerintah, terutama Mahkamah Agung RI dalam penentuan sikap setelah UU Advokat lahir khususnya terhadap keberadaan organisasi advokat pasca lahirnya UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003.    

Sekilas Sejarah Organisasi Advokat

           Perlu diketauhi bersama bahwa sebelum UU Advokat lahir pada tahun 2003, telah telebih dahulu diawali dengan bergabungnya  7 (tujuh ) organisasi profesi Advokat Indonesia yaitu : Ikatan Advokat Indonesia (“IKADIN”);Asosiasi Advokat Indonesia (“AAI”);Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (“IPHI”);Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia (“HAPI”);Serikat Pengacara Indonesia (“SPI”);Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (“AKHI”);Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (“HKHPM”) dalam satu wadah Komite Kerja Advokat Indonesia (“KKAI”). Sebelum ke-7 organisasi profesi tersebut mendirikan KKAI, sebelumnya telah terbentuk Forum Advokat Indonesia (“FAI”) yang anggotanya pertama kali terdiri dari IKADIN, IPHI dan AAI. Saat itu organisasi profesi advokat lainnya belum lahir.

          Tidak lama kemudian ditahun-taun berikutnya karena begitu cepatnya dinamika perkembangan telah lahir beberapa organisasi profesi advokat antara lain HAPI organisasi profesi advokat keempat , SPI organisasi profesi advokat kelima, AKHI organisasi profesi advokat keenam, HKHPM organisasi profesi advokat ketuju. Atas prakarsa DPP IKADIN di era kepemimpinan Almarhum Sudjono, akhirnya FAI dibubarkan berubah nama menjadi Forum Komunikasi Advokat Indonesia (FKAI) yang beranggotakan 7 organisasi profesi advokat. IKADIN dimasa kepemimpinan almarhum Sudjono benar-benar responsip dan demokratis, sehingga semua organisasi profesi advokat yang lahir diakomodir, diakui serta dirangkul secara bersama-sama sehingga terbentuklah rasa kebersamaan yang kuat. Peranan IKADIN sangat menentukan dan menjadi kunci utama pada masa itu. IKADIN dalam kedudukannya selaku organisasi profesi advokat tertua {Pengganti organisasi profesi advokat Persatuan Advokat Indonesia (“PERADIN”) setelah dibubarkan oleh hasil musyawaran nasional}, sehingga mayoritas advokat senior banyak yang bergabung di IKADIN, satu diantaranya almarhum Adnan Buyung Nasution (“ABN”).

          FKAI pada akhirnya dalam rentan waktu yang sangat cepat berubah menjadi KKAI. Ketika KKAI dideklarasikan / terbentuk pada 11 februari 2002, penulis Suhardi Somomoeljono berkedudukan sebagai Sekretaris Jendral Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia (HAPI) dibawah pimpinan Ketua Umum Almarhum Arifien Syafei . HAPI adalah organisasi profesi advokat yang lahir ke-4 setelah IKADIN, IPHI, AAI. Kebetulah penulis secara ex-officio dalam jabatannya selaku Sekretaris Jendral DPP HAPI otomatis juga bertindak selaku salah satu deklarator penandatangan atas kelahiran KKAI tersebut. Pada saat itu seluruh Ketua Umum dan Sekretaris Jendral semuanya secara ex-officio menandatanganinya. IKADIN saat itu diwakili oleh Ketua Umumnya Almarhum SUDJONO dan OTTO HASIBUAN selaku Sekretaris Jendral.  Dengan demikian actual-faktual, secara historis-sosiologis-juridis KKAI adalah satu-satunya forum organisasi profesi Advokat Indonesia yang ditanda tangani bersama 7 ( tujuh ) organisasi profesi Advokat tersebut pada tanggal ll Februari 2002.

KKAI Mendapat Pengakuan (Recoqnition) dari Mahkamah Agung RI

          Tepat pada tanggal 11 Februari Tahun 2002 KKAI dideklarasikan / dilahirkan sebagai fakta historis atas kelahirannya. Setelah KKAI lahir (berdiri) langsung dilaporkan kepada Ketua Mahkamah Agung RI Prof.Dr.H.Bagirmanan,SH.,MH. oleh Ketua Umum dan Sekretaris Jendral dari ke-7 organisasi profesi advokat tersebut. Pada saat itu secara aklamasi dan kekeluargaan kita bersama-sama mendaulat/menunjuk ketua Umum IKADIN almarhum Sudjono selaku Ketua / Koordinator KKAI. Dengan  Pertimbangan mengingat pada saat itu secara kultural IKADIN memang kita akui bersama, kita pandang sebagai organisasi profesi advokat tertua yang sangat berwibawa dan disegani oleh organisasi advokat lainnya. Penunjukan ketua umum IKADIN sebagai koordinator (Chairman) KKAI tidak ada halangan apapun, ke-7 pimpinan organisasi profesi advokat semuanya menyetujui bahkan IKADIN justru diminta untuk bersedia demi kebersamaan.

          Dalam operasionalisasi selanjutnya otomatis secara ex-officio seluruh ketua umum dan sekretaris jendral adalah pengurus / mewakili KKAI. Kebetulan pada saat itu saudara Harry Ponto dari AAI ditunjuk juga secara aklamasi sebagai  sekretaris KKAI. Penunjukan Hary Ponto dari kubu AAI tersebut mengingat secara kultural AAI itu organisasi advokat lahir dalam urutan kedua setelah IKADIN.

          Bahkan dalam rangka menjalankan roda organisasi tahun 2002 setelah KKAI terbentuk, ke-7 organisasi profesi advokat wajib menyetorkan dana untuk modal awal operasional KKAI dengan menyerahkan uang sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Atas perkembangan dana yang disetorkan sebagai modal awal oleh ke-7 organisasi tersebut sampai sekarang belum pernah dilaporkan pertanggungjawabannya kepada anggota (original member) KKAI oleh pengurus KKAI pasca Almarhum Sudjono. Setelah Pak Sudjono meninggal dunia, Koordinator KKAI pasca almarhum Sudjono digantikan oleh Otto Hasibuan.

          Setelah Otto Hasibuan menggantikan Sudjono selaku Koordinator KKAI, terjadilah peristiwa yang sangat mengejutkan keberadaan KKAI diganti nama dengan PERADI, tanpa adanya penjelasan secara juridis, apa yang menjadi dasar hukum penggantian nama tersebut. Tidak ada penjelasan secara organisatoris yang bersifat  Juridis mengapa peran KKAI sebagai wadah bersama dari ke-7 organisasi advokat yang sudah diakui oleh pemerintah ( CQ.Mahkamah Agung RI ) kemudian berubah menjadi PERADI. Tidak ada penjelasan yang memadahi, apakah ada bukti serah terimanya (levering) dari KKAI ke PERADI, dalam bentuk apa model pertanggungjawaban yang dilakukan oleh pengurusnya, semuanya tidak dapat diketauhi secara pasti.

          Dalam kepemimpinan Otto Hasibuan selama di KKAI, dengan adanya peristiwa penggantian nama KKAI menjadi PERADI, merupakan skandal hukum dalam skala nasional, yang sangat besar pengaruhnya / peranannya dalam gagalnya mewujutkan perintah UU Advokat terbentuknya wadah organisasi profesi advokat nasional. Apa sesungguhnya yang mendorong yang menjadi motivasi penggantian KKAI menjadi PERADI tersebut. Disisi lain, Otto Hasibuan selaku Ketua Umum IKADIN yang secara ex-officio bertindak selaku koordinator KKAI sudah mengerti dan mengetauhi bahwa yang dimaksud Organisasi Profesi Advokat secara nasional setelah lahirnya UU Advokat adalah KKAI.

          Apakah secara Hukum Atministrasi Negara peristiwa hukum perubahan nama sekaligus peranan KKAI digantikan oleh PERADI sudah secara sah dilaporkan kepada pemerintah (CQ.Mahkamah Agung RI) sampai saat ini tidak ada fakta hukum yang memadahi yang dapat dipertanggung jawabkan secara pasti. Tentu, Otto Hasibuan baik dalam kapasitas selaku pribadi maupun selaku pimpinan organisasi profesi advokat mengetauhi bahwa, secara juridis formil Mahkamah Agung RI pada tanggal 25 Juni 2003 telah mengeluarkan kebijakan politik (legal policy) sebagai bentuk nyata dari adanya kemauan politik dari pemerintah (political will)  dengan dikeluarkannya surat edaran nomor : KMA/445/VI/2003 Perihal pelaksanaan Undang-Undang Nomor : I8 tahun 2003 tentang Advokat.

          Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI tersebut ditujukan kepada seluruh Ketua Pengadilan Tinggi Pengadilan Tata Usaha Negara, Ketua Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan,Tata Usaha Negara se- Indonesia tanggal 25 Juni 2003, isi surat Mahkamah Agung tersebut, secara tegas tektual menyatakan : “Mahkamah Agung menyerahkan kewenangannya ( levering ) meliputi penerbitan Kartu Advokat oleh organisasi Advokat, perpindahan atau mutasi Advokat, wajib diberitahukan kepada Badan yang disebut organisasi profesi Advokat ( dalam hal ini KKAI ),Untuk mengawasi dan mengangkat para Advokat sesuai Undang-Undang Advokat. Bahkan pengakuan Mahkamah Agung RI terhadap KKAI sudah terjadi sebelum lahirnya UU advokat. Fakta hukum atas pengakuan Mahkamah Agung RI dibawah kepemimpinan Prof Dr Bagir manan, SH.,MH terjadi pada bulan maret 2002 dengan mengeluarkan surat edaran mengenai kerjasama antara Mahkamah Agung RI dengan KKAI dalam rangka pelaksanaan ujian advokat nasional. Pada saat itu Mahkamah Agung RI mengeluarkan surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor : KMA/44/III/2002 tentang Pembentukan Panitia Bersama Ujian Pengacara Praktek tahun 2002.

           Berdasarkan surat edaran Mahkamah Agung RI tersebut, disitulah pertama kali kekuasaan penyelenggaraan ujian advokat sebagian diserahkan kepada KKAI. Saya masih ingat pada saat itu Ketua Mahkamah Agung RI Prof Bagir Manan menyatakan dalam rapat bersama di gedung Mahkamah Agung antara Ketua Mahkamah Agung RI dan jajarannya dengan KKAI mengatakan “proses penyerahan (levering) kekuasaan secara ketata negaraan tidak dapat dilakukan secara mutlaq/keseluruhan, namun harus dengan cara bertahap“. Maksutnya mengenai pelaksanaan ujian pengacara awalnya dilakukan dalam bentuk kerjasama ( gabungan ) antara Mahkamah Aung RI dan KKAI, baru untuk selanjutnya kekuasaan tersebut secara keseluruhan diserahkan kepada KKAI.

          Setelah KKAI dideklarasikan / lahir KKAI melakukan langkah yang sangat menentukan dan strategis yaitu melakukan penyatuan kode etik advokat Indonesia. Dengan semangat kekeluargaan dan gotong royong saling hormat menghormati akhirnya gabungan dari ke 7 ( tujuh ) organisasi profesi Advokat tersebut,  merumuskan dan menyepakati bersama kesatuan Kode Etik Advokat Indonesia ditetapkan tanggal 23 Mei 2002 untuk dimasukan ke dalam Rancangan Undang-Undang Advokat diusulkan oleh organisasi profesi Advokat. Perlu diketauhi bahwa nama KKAI awalnya usul almarhum Bang Buyung ( Adnan Buyung Nasution). Pada saat itu termasuk penulis bersama-sama dengan seluruh ketua mum dan sekretaris jendral dari 7 organisasi profesi advokat berkonsultasi dikantor ABN, pada saat itu berkantor di gedung yang saat ini menjadi gedung Sampurna Strategis Tower. Saat itu ABN  dalam rapat bersama mengatakan “sebelum kalian menemui ketua Mahkamah Agung RI minimal kalian bertuju itu memiliki wadah bersama setidak-tidaknya dalam bentuk komite kerjalah”.Atas dasar saran dari ABN itulah kemudian ke-7 organisasi profesi advokat sepakat membentuk wadah bersama yang diberi nama KKAI (Komite Kerja Advokat Indonesia).

          Sungguh kelahiran KKAI itu benar-benar murni gagasan dari para advokat senior / advokat pejuang, yang tidak terdapat kepentingan politik apapun, kecuali hanya untuk cita-cita terwujudnya profesi advokat yang terhormat  (officium nobile) serta cita-cita catur wangsa yaitu terjadinya kesederajatan antara hakim, polisi, jaksa dan pengacara dalam derajat dan kedudukan selaku penegak hukum.

Dinamika KKAI Setelah Mendapat Pengakuan dari MARI

          KKAI setelah mendapatkan pengakuan dari Mahkamah Agung RI, akhirnya pro aktif, ikut mendorong memperjuangkan lahirnya UU advokat bersama-sama dengan almarhum Adnan Buyung Nasution (“ABN”), selaku perwakilan dari Pemerintah. Pertimbangan utamanya pada saat itu mengingat profesi Hakim, Jaksa, Polisi semuanya sudah memiliki payung hukum berupa undang-undang, mengapa advokat tidak juga berjuang agar supaya memiliki payung hukum berupa undang-undang advokat. Akhirnya lahirlah UU Advokat No.18.Tahun 2003 dan cita-cita advokat sebagai Penegak Hukum  yang sederajat dengan catur wangsa lainnya terwujut.  Peran KKAI sebagai inisiasi lahirnya UU Advokat pada saat itu sangat inten, dengan menempatkan almarhum ABN sebagai wakil atau yang mewakili pemerintah.

          Pada akhirnya secara prinsipil pembahasan-pembahasan atas materi / norma UU Advokat secara substansi perumusan UU Advokat tidak mengalami kesulitan. Bahkan dalam pasal 32 ke-7 organisasi profesi advokat ditambah satu lagi menjelang diundangkannya UU Advokat yaitu Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) atas usulan Menteri Kehakiman saat itu Prof Yusril Ihza Mahendra sehingga berubah menjadi 8 organisasi profesi advokat sebagai anggota ex-officio dari KKAI seluruhnya telah diakui oleh para pembentuk undang-undang. Dengan demikian secara juridis formal   keberadaan organisasi profesi advokat di Indonesia telah diakui oleh Undang-undang Advokat No.18.Tahun 2003 yang secara limitative  UU telah menyebut ke-8 Organisasi Profesi Advokat  antara lain :  IKADIN; AAI; IPHI; HAPI; SPI; AKHI; HKHPM; dan APSI.

 Dinamika KKAI Setelah Lahirnya UU Advokat No.18.Thn.2003

          Setelah UU Advokat lahir tahun 2003, Mahkamah Agung RI masih sangat intensif kerjasama dengan KKAI, sehingga Mahkamah Agung RI dalam waktu yang sangat cepat mengeluarkan Surat Keputusan yang menyatakan dengan sangat tegas dan jelas, sebagai perwujudan dari kemauan politik pemerintah ( politicall will ), telah memutuskan setelah lahirnya UU Advokat maka kekuasaan atas keberadaan advokat di Indonesia diserahkan kepada KKAI. Bukti secara juridis formil Mahkamah Agung  mengeluarkan surat edaran nomor : KMA/445/VI/2003 Perihal pelaksanaan Undang-Undang Nomor : I8 tahun 2003 tentang Advokat.

          Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI tersebut ditujukan kepada seluruh Ketua Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tata Usaha Negara, Ketua Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan,Tata Usaha Negara se- Indonesia tanggal 25 Juni 2003, isi surat Mahkamah Agung tersebut, secara tektual menyatakan : “Mahkamah Agung menyerahkan kewenangannya ( levering ) meliputi penerbitan Kartu Advokat oleh organisasi Advokat, perpindahan atau mutasi Advokat, wajib diberitahukan kepada Badan yang disebut organisasi profesi Advokat ( dalam hal ini KKAI ), Untuk mengawasi dan mengangkat para Advokat sesuai Undang-Undang Advokat.

          Kewenangan Mahkamah Agung mengeluarkan surat edaran tersebut, secara hukum menegaskan Mahkamah Agung mengakui ( recoqnation ) keberadaan KKAI merupakan badan yang memiliki kewenangan sebagai organ negara pelaksana Undang-Undang Advokat. Dalam perspektif hukum ketata negaraan Komite Kerja Advokat Indonesia ( KKAI ) secara Konstitusi telah diberikan kewenangan oleh pasal 24 ayat (3) UUD 1945, memiliki hak dan kewenangan untuk berhubungan dengan lembaga –lembaga Negara dan Pemerintah, diatur dalam pasal 22 ayat (3) ketentuan Kode Etik Advokat Indonesia.

          Oleh karena itu KKAI sangat berperan dalam menjalankan roda organisasi profesi Advokat dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas Advokat dimasa-masa mendatang. Setelah UU Advokat lahir pada tahun 2003 terjadilah pergantian pimpinan di tubuh KKAI, dari sebelumnya dijabat oleh almarhum Sudjono digantikan oleh saudara Otto Hasibuan, mengingat setelah terjadinya Musyawarah Nasional ( Munas ) IKADIN saudara Otto Hasibuan terpilih menjadi Ketua Umum IKADIN, untuk serlanjutnya melanjutkan secara ex-officio selaku Koordinator KKAI. Setelah saudara Otto Hasibuan menjadi koordinator KKAI tanpa penjelasan secara hukum akhirnya KKAI secara diam-diam (silent) tidak diaktifkan lagi.        Peran KKAI kemudian digantikan oleh PERADI  tanpa adanya penjelasan yang memadahi.    Bahkan yang lebih mengherankan lagi bagaimana pertanggungjawaban KKAI dimasa kepemimpinan saudara Otto Hasibuan tidak dapat diketauhi oleh publik. KKAI sebenarnya masih memiliki tugas yang sangat penting yaitu mewujudkan kongres advokat secara nasional dalam rangka menentukan wadah bersama organisasi profesi advokat.

          Apakah KKAI dipertahankan sebagaimana dikehendaki oleh kode etik bersama advokat Indonesia dan / atau kita artikulasikan  sebagai bentuk Federasi Advokat Indonesia. Karena kongres nasional advokat tidak diwujutkan oleh KKAI akhirnya penguatan KKAI sebagai lembaga negara juga terlupakan, sementara Mahkamah Agung RI sudah memberikan penguatan kepada KKAI yang dapat dipandang sebagai bentuk pengakuan sebagai lembaga negara. Dalam hal ini Mahkamah Agung RI sudah bertindak sangat konstitusional dan bermasa depan yang baik untuk advokat, sayangnya pengurus KKAI periode saudara Otto Hasibuan sangat lambat dan terkesan tidak paham.

          Yang lebih mengagetkan lagi, ketika peran KKAI digantikan oleh PERADI dengan tanpa adanya penjelasan secara akademik. Bagaimana mungkin PERADI dilahirkan oleh kehendak dari 8 (delapan) pimpinan organisasi Profesi advokat  dengan cara membuat akta notaris atas perintah siapa hal tersebut terjadi dan apa dasar hukumnya ? apakah UU Advokat memerintahkan ? dan / atau apakah 8 (delapan) organisasi profesi advokat tersebut telah diperintahkan oleh hasil munasnya masing-masing ?. Kelahiran PERADI idealnya harus dilakukan  research yang mendalam secara akademis, sehingga nantinya dapat digunakan sebagai acuan pembelajaran.  Kejanggalan-kejanggalan yang sangat mencolok misalnya PERADI dalam anggaran dasarnya mengatur yang menjadi anggota PERADI adalah orang / para advokat di Indonesia. Sementara yang menjadi anggota KKAI itu bukan orang / para advokat, tetapi organisasi profesi advokat seperti halnya organisasi di Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menjadi anggota PBB itu bukan  orang / Warga Negara dari suatu negara, tetapi Negara-Negara.

          Ketika PERADI dalam anggaran dasar dan anggaran rumahtangganya mengatur bahwa, yang menjadi anggotanya adalah orang / para advokat, maka secara otomatis PERADI baik disengaja maupun tidak disengaja telah mematikan kedaulatan ke-8 Organisasi profesi advokat. Artinya ke-8 Organisasi Profesi Advokat telah dipersepsi sebagai organisasi profesi advokat yang tidak dapat menjalankan kedaulatannya ( melaksanakan perintah UU Advokat.  Dua tahun setelah PERADI lahir, menyadari akan kesalahan yang diperbuat akhirnya ke-4 Organisasi profesi advokat pendiri PERADI ( IKADIN-IPHI-HAPI-APSI) menarik diri dari PERADI dan membubarkan PERADI.Pembubaran mana telah  diumumkan melalui media nasional harian KOMPAS. Dengan demikian jelas, bahwa PERADI tidak lagi memiliki legal standing ( tidak sah dan tidak memiliki legitimate ), sebagai organisasi profesi advokat Indonesia (Indonesia Bar Association).

          Kita para advokat patut bersyukur atas keteledoran PERADI tersebut akhirnya Ketua Mahkamah Agung RI menyadari  ke-8 organisasi profesi advokat kedaulatannya dihidupkan kembali melalui Surat Edaran nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 sehingga secara hukum dapat bertindak melaksanakan perintah UU Advokat No.18.Tahun 2003 dengan menyelenggarakan antara lain :

a. Menyelenggarakan Ujian Advokat.

b. Menyelenggarakan Pendidikan khusus Advokat.

c. Mengangkat Advokat.

d. Mengajukan sumpah Advokat melalui Pengadilan Tinggi setempat/  melalui  Menteri Kehakiman RI.

e. Menerbitkan Kartu Advokat.

£ Menetapkan Kantot Advokat sebagai pelaksana magang calon Advokat.

Dengan demikian jelas bahwa saat ini di Indonesia ke-8 Organisasi Profesi Advokat IKADIN; AAI; IPHI; HAPI; SPI; AKHI; HKHPM; dan APSI  secara hukum memiliki legal standing untuk menjalankan perintah UU Advokat No.18.Tahun 2003 dalam naungan KKAI.

KKAI Kedepan ( For The Future)

          Mengingat Mahkamah Agung RI pada saat ini telah mengakui kembali keberadaan ke-8 organisasi profesi advokat dan dalam kenyataannya sampai saat ini Komite Kerja Advokat Indonesia ( KKAI ) belum dibubarkan oleh pendirinya untuk itu secara hukum KKAI masih eksis sebagai wadah dari ke-8 organisasi profesi advokat tersebut. Tentu saja selain ke-8 organisasi profesi advokat tersebut PERADI dan KAI oleh Mahkamah Agung RI masih juga dapat menjalankan perannya selaku organisasi profesi advokat. Apakah organisasi profesi advokat selainnya memiliki juga legal standing untuk menjalankan kedaulatannya ? seperti halnya PERADIN dan yang lain-lainnya, idealnya sepanjang memenuhi syarat sebagai organisasi profesi advokat dapat menjalankan kedaulatannya. Idealnya jika KKAI kita berdayakan kembali sebagai wadah bersama, terhadap organisasi profesi advokat yang baru cukup diverifikasi oleh KKAI untuk dapat menjalankan kedaulatannya seperti halnya organisasi profesi advokat lainnya.

          KKAI itu sesungguhnya  telah memiliki landasan historis , sosiologis, yuridis yang terang dan jelas dan terukur. KKAI ditetapkan / didirikan pada tanggal 23 Mei tahun 2002. KKAI didirikan oleh 8 Organisasi Advokat  antara lain : IKADIN; AAI; IPHI; HAPI; SPI; AKHI; HKHPM; dan APSI. Ke 8 Organisasi Advokat tersebut telah diakui / disahkan oleh Undang-undang Advokat No.18.Tahun 2003 pada pasal 33. Sehingga secara Juridis KKAI itu sah dan berlaku sebagai Induk dari ke 8 organisasi profesi advokat. KKAI berdasarkan Pasal 22 ayat (3) Kode Etik Advokat Indonesia memiliki kewenangan  dalam hubungan kepentingan profesi advokat dengan lembaga-lembaga negara dan Pemerintah yang telah dikuatkan / disahkan dimuat pada pasal 33 Undang-undang Advokat No.18.Tahun 2003.

          Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI ) sebagai wujud nyata persatuan dan kesatuan dari semua Advokat/Pengacara/Konsultan hukum/Penasihat hukum warga negara Indonesia yang menjalankan profesi Advokat Indonesia dalam menyongsong satu organisasi profesi Advokat Indonesia ( Indonesian Bar Association ). Idealnya, setelah seluruh organisasi profesi advokat, selesai membenahi legal aspeknya secara internal mengingat secara ex-officio seluruh ketua umum dan sekretaris jendral adalah anggota KKAI maka dalam waktu yang sesingkat-singkatnya KKAI segera diberdayakan. Jika KKAI tidak segera diberdayakan maka resikonya akan sangat berbahaya bagi para advokat di Indonesia. Bayangkan advokat itu secara hukum bertindak sebagai penegak hukum, seperti halnya Hakim, Jaksa, Polisi jika tidak memiliki rumah komando akan sangat berbahaya. Advokat selaku penegak hukum maka KKAI dapat berperan sebagai Markas Besarnya Advokat, seperti halnya Polisi dengan Mabes Polrinya. Hakim dengan Mahkamah Agungnya, Jaksa dengan Kejaksaan Agungnya.

          Advokat di Indonesia sudah memiliki modal besar yaitu adanya kode etik bersama, yang secara mutatis mutandis sudah diakui sebagai undang-undang oleh para pembentuk UU Advokat. Seorang advokat yang melanggar kode etik dimanapun naungan  organisasinya tetap dapat diadili oleh kode etik advokat Indonesia. Disinilah satu diantaranya peran KKAI kita perlukan guna merumuskan hal-hal teknis sebagaimana ketentuan kode etik Advokat Indonesia pasal 22 ayat (2) berbunyi : Setiap Advokat wajib menjadi Anggota dari salah satu organisasi profesi tersebut. Belum lagi terhadap hal-hal penting lain nya misalnya : pembentukan Kepengurusan KKAI tingkat nasional dan tingkat Daerah/wilayah. Merumuskan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga KKAI, mempersiapkan Dewan Kehormatan bersama, diluar struktur organisasi KKAI. Membentuk Komisi Pengawasan, di dalam struktur organisasi KKAI.

          Idealnya KKAI segera menyelenggaran Kongres bersama untuk mengesahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Perlu diketauhi bersama bahwa Komite Kerja Advokat Indonesia ( KKAI ) sampai saat ini belum dapat menyelesaikan tugas utamanya antara lain : (1).Membentuk Dewan Kehormatan Bersama, (2). Membentuk Komisi Pengawasan Advokat. Pentingnya memberdayakan kembali KKAI itu antara lain berdasarkan landasan ketentuan pasal 34 Undang-Undang Advokat berbunyi : “Peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai Advokat, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dibentuk atau diganti dengan peraturan perundang-undangan yang baru sebagai pelaksana Undang-Undang ini”.

          Ketentuan tersebut diatas, menunjukan bahwa sebelum kepengurusan, tugas dan fungsi KKAI dalam melaksanakan amanat Undang-Undang Advokat belum terbentuk, maka untuk sementara pelaksanaan yang mengatur mengenai Advokat dilaksanakan oleh masing-masing ke 8 (delapan) organisasi profesi Advokat sebagai pelaksana Undang-Undang  advokat.

Komite Kerja Advokat Indonesia ( KKAI ) sebagai Lembaga Negara

          Komite Kerja Advokat Indonesia ( KKAI ) merupakan Institusi organisasi profesi Advokat, telah dibentuk secara Juridis berdasarkan pasal 22 ayat (3) ketentuan Kode Etik Advokat serta telah didirikan berdasarkan pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor :18 tahun 2003, kemudian untuk selanjutnya, telah disahkan berdasarkan atau telah diatur dalam pasal 33 Undang-Undang Advokat, yang dapat mewakili kepentingan organisasi profesi Advokat seperti IKADIN; AAI; IPHI; HAPI; SPI; AKHI; HKHPM; dan APSI; secara Juridis sah dan legitimage dapat disebut sebagai lembaga negara atau badan

          Pengertian lembaga Negara adalah, suatu Badan atau Lembaga yang melaksanakan fungsi Pemerintahan Negara agar dapat berjalan dengan baik sesuai cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945 yaitu menuju masyarakat adil dan makmur. Cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945 tersebut secara normatif dapat dipahami sebagaimana dimaksut pada isi/bunyi pasal 24 ayat (3) UUD 1945, yang secara tektual dapat dibaca sebagai berikut : “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”.Badan-badan lain tersebut secara aktual-faktual-historis-juridis, dalam perspektif UU Advokat adalah Organisasi Profesi Advokat Komite Kerja Advokat Indonesia ( KKAI ). KKAI merupakan badan lain berbentuk federasi, sebagai dimaksut dalam norma dasar negara tersebut , yang telah dibentuk berdasarkan Konstitusi, yang telah dijabarkan di dalam pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Advokat dan sebagai peraturan pelaksana yang mengatur tentang Advokat secara tegas diatur dalam pasal 34 Undang-Undang Advokat.

          Tidak dapat dipungkiri secara historis-sosiologis-juridis, terbentuknya Organisasi Profesi Advokat disebut KKAI dapat disebut sebagai lembaga negara yang memiliki legal standing mewakili ke 8 (delapan) anggotanya berupa Organisasi Profesi Advokat. Dengan demikian tak terbantahkan lagi bahwa KKAI adalah sebagai Induk Organisasi Profesi Advokat Indonesia.Dalam implimentasi penguatan hukum lainnya Komite Kerja Advokat Indonesia ( KKAI ) sebagai organ Negara diatur lebih lanjut di dalam pasal 38 ayat (1) berikut penjelasannya di dalam Undang- Undang Nomor : 48 tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor : 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi : “Yang dimaksud Badan-badan lain antara lain meliputi Kepolisian Republik Indonesia, Kcjaksaan Repulik Indonesia, Advokat dan lembaga pemasyarakatan”. Perintah UU yang secara tegas telah menyebut elemen Kepolisian Negara RI, Kejaksaan RI dan secara tegas disebut juga Advokat.

          Mengapa UU Kekuasaan Kehakiman mencantumkan adanya elemen advokat, karena advokat salah satu pilar dari proses penegakan hukum (law enforcement) dari suatu sistem peradilan di Indonesia. Pengertian Advokat tersebut  adalah orang yang berprofesi memberi jasa bantuan hukum, dalam naungan Institusinya adalah KKAI. Mengapa Institusinya KKAI ? sebelum UU Advokat lahir tahun 2003 KKAI telah mendapat pengakuan (recoqnation) dari Mahkamah Agung RI, selaku wadah organisasi profesi Advokat. Sebelum UU Advokat diundangkan Mahkamah Agung RI telah menyerahkan kekuasaannya untuk Ujian Advokat serta Pengangkatan Advokat oleh KKAI. Pengangkatan Advokat lebih lanjut diatur dalam pasal 2 ayat (2) Undang-Undng Nomor : 18 tahun 2003, sehingga  secara  hukum sah dan legitimage KKAI merupakan alat kelengkapan kekuasaan kehakiman yang sejajar dengan Mahkamah Agung RI.

          Menurut pendapat Prof DR. Jemly Asshiddikqie dalam bukunya berjudul “ Sengketa kewenangan lembaga” Penerbit Konstitusi Pers, tahun 2005 halaman 55,56 dan halaman 59 menyebutkan : “Bahwa ketentuan pasal 24 ayat (3) UUD 1945, juga membuka peluang akan adanya badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang dapat dikategorikan pula sebagai lembaga negara yang dapat memiliki constitusional importance; seperti Kejaksaan Agung dan KKAI, meskipun keberadaannya tidak secara eksplisit disebut dalam UUD 1945 dan terdapat lebih dari 28 buah lembaga negara yang disebut baik secara langsung maupun tidak langsung, dimana lembaga tersebut dapat dibedakan dalam tiga lapis :

a. Organ lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara.

b. Organ lapis kedua disebut sebagai lembaga negara saja.

c. Organ lapis ketiga merupakan lembaga daerah.

          Ketiga organ negara tersebut, KKAI sebagai organisasi profesi Advokat termasuk dalam kategori organ lapis kedua yaitu lembaga negara saja; namun keberadaannya dalam sistim hukum di Indonesia sebagai negara hukum sangatlah penting dalam rangka penegakan hukum; dimana Kepolisian sebagai pejabat penyidik telah menginduk di Markas Besar Kepolisian Negara RI ( Mabes Polri). Kejaksaan sebagai pejabat penuntut umum telah menginduk di Markas Besar Kejaksaan Agung RI (Kejagung).Hakim selaku pejabat umum pemutus perkara telah menginduk di Mahkamah Agung RI (MA-RI).Advokat sebagai pemberi jasa bantuan hukum menginduk pada Institusi KKAI (Markas Besar Advokat RI). Keberadaan Advokat selaku pemberi jasa bantuan hukum diatur dalam pasal 1 ayat (1,2) Undang-Undang Nomor : 18 tahun 2003 tentang Advokat. Advokat selaku penegak hukum diatur dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Advokat, karena Advokat dapat menerima permohonan bantuan hukum dari para pencari keadilan yang tidak mampu, merupakan kewajiban berdasarkan pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Advokat. Hal-hal yang menyangkut perilaku dari seorang advokat sesuai ketentuan (hukum positif yang berlaku), wajib untuk dilaksanakan, sesuai dengan ketentun Kode Etik Advokat pasal 9 huruf (a), fungsi-fungsi tersebut sama penting kedudukannya dalam sistim negara hukum.

KKAI adalah organisasi advokat setelah lahirnya UU Advokat

          Dalam perkembangan selanjutnya, Kewenangan Konstitusi yang diberikan kepada Advokat dalam bentuk Undang-Undang Advokat, ditindaklanjuti oleh Mahkamah Agung dengan mengeluarkan surat edaran nomor : KMA/445/VI/2003 Perihal pelaksanaan Undang-Undang Nomor : I8 tahun 2003 tentang Advokat.Surat tersebut ditujukan kepada seluruh Ketua Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tata Usaha Negara, Ketua Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan,Tata Usaha Negara se- Indonesia tanggal 25 Juni 2003, dimana isi surat Mahkamah Agung tersebut, berbunyi : “Mahkamah Agung menyerahkan kewenangannya ( levering ) meliputi penerbitan Kartu Advokat oleh organisasi Advokat, perpindahan atau mutasi Advokat, wajib diberitahukan kepada Badan yang disebut organisasi profesi Advokat ( dalam hal ini KKAI ),Untuk mengawasi dan mengangkat para Advokat sesuai Undang-Undang Advokat.

          Kewenangan Mahkamah Agung mengeluarkan surat edaran tersebut, secara nyata Mahkamah Agung mengakui ( recoqnation ) keberadaan KKAI merupakan badan yang memiliki kewenangan sebagai organ negara pelaksana Undang-Undang Advokat. Komite Kerja Advokat Indonesia ( KKAI ) secara Konstitusi telah diberikan kewenangan oleh pasal 24 ayat (3) UUD 1945, memiliki hak dan kewenangan untuk berhubungan dengan lembaga –lembaga Negara dan Pemerintah, diatur dalam pasal 22 ayat (3) ketentuan Kode Etik Advokat Indonesia. Oleh karena itu KKAI sangat berperan dalam menjalankan perannya selaku wadah bersama untuk menggerakkan kepentingan kedaulatan organisasi profesi Advokat dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas Advokat dimasa-masa mendatang. 

Legalitas KKAI

          Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa KKAI telah memiliki landasan hukum berdasarkan ketentuan :

  1. Kode etik Advokat Indonesia Bab XI Aturan Peralihan Pasal 22 ayat (1) Kode Etik ini dibuat dan diprakarsai oleh Komite Kerja Advokat Indonesia, yang disahkan dan ditetapkan oleh Ikatan Advokat Indonesia (“IKADIN”),Asosiasi Advokat Indonesia (“AAI”),Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (“IPHI”),Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia (“HAPI”),Serikat Pengacara Indonesia (“SPI”),Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (“AKHI”),Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (“HKHPM”) yang dinyatakan berlaku bagi setiap orang yang men jalankan profesi advokat di Indonesia tanpa terkecuali.
  2. Kode etik Advokat Indonesia Bab XI Aturan Peralihan Pasal 22 ayat (2) berbunyi : “Setiap Advokat wajib menjadi Anggota dari salah satu organisasi profesi tersebut”.
  3. Kode etik Advokat Indonesia Bab XI Aturan Peralihan Pasal 22 ayat (3) berbunyi :”Komite Kerja Advokat Indonesia mewakili organisasi-organisasi profesi tersebut dalam ayat (1) pasal ini sesuai dengan pernyataan bersama tertanggal 11 februari 2002 dalam hubungan kepentingan profesi advokat dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintah”.
  4. Pernyataan bersama 7 organisasi profesi advokat di Jakarta pada 11 Februari 2002 membentuk KOMITE KERJA ADVOKAT INDONESIA ( disingkat KKAI ) sebagai wujud nyata persatuan dan kesatuan dari semua advokat/pengacara/konsultan hukum/penasehat hukum Warga Negara Indonesia yang menjalankan profesi Advokat Indonesia dalam menyongsong satu organisasi Profesi Advokat Indonesia (Indonesian Bar Association). Dengan bergabungnya 7 (tujuh) organisasi Profesi Advokat Indonesia tersebut diatas kedalam KKAI, maka FKAI telah meleburkan diri kedalam KKAI sehingga FKAI tidak ada lagi dan KKAI adalah satu-satunya forum organisasi Profesi Advokat Indonesia.
  5. Ketentuan pasal 34 Undang-Undang Advokat Nomor 18 tahun 2003 berbunyi : “Peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai Advokat, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dibentuk atau diganti dengan peraturan perundang-undangan yang baru sebagai pelaksana Undang-Undang ini”. KKAI dalam hal ini bertindak sebagai pelaksana atas UU Advokat.
  6. Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor : KMA/44/III/2002 tentang Pembentukan Panitia Bersama Ujian Pengacara Praktek tahun 2002 berdasarkan surat edaran Mahkamah Agung RI tersebut, disitulah pertama kali kekuasaan penyelenggaraan ujian dan pengangkatan advokat sebagian diserahkan kepada KKAI.
  7. KKAI memiliki legal standing sebagai badan negara dengan adanya fakta hukum Mahkamah Agung RI mengeluarkan surat edaran nomor : KMA/445/VI/2003 Perihal pelaksanaan Undang-Undang Nomor : I8 tahun 2003 tentang Advokat.Surat tersebut ditujukan kepada seluruh Ketua Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tata Usaha Negara, Ketua Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan,Tata Usaha Negara se- Indonesia tanggal 25 Juni 2003, dimana isi surat Mahkamah Agung tersebut, berbunyi :Mahkamah Agung menyerahkan kewenangannya ( levering ) meliputi penerbitan Kartu Advokat oleh organisasi Advokat, perpindahan atau mutasi Advokat, wajib diberitahukan kepada Badan yang disebut organisasi profesi Advokat ( dalam hal ini KKAI ),Untuk mengawasi dan mengangkat para Advokat sesuai Undang-Undang Advokat.
  8. KKAI sebagai organ Negara diatur lebih lanjut di dalam pasal 38 ayat (1) berikut penjelasannya di dalam Undang- Undang Nomor : 48 tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor : 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi : “Yang dimaksud Badan-badan lain antara lain meliputi Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Repulik Indonesia, Advokat dan lembaga pemasyarakatan”. Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa bantuan hukum, Institusinya adalah KKAI selaku organisasi profesi Advokat yang mengangkat Advokat diatur dalam pasal 2 ayat (2) Undang-Undng Nomor : 18 tahun 2003, sehingga KKAI merupakan alat kelengkapan kekuasaan kehakiman yang sejajar dengan Mahkamah Agung.
  9. Pasal 33 UU Advokat Bab XII Ketentuan Peralihan berbunyi : “ Kode Etik dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Profesi Advokat yang telah ditetapkan oleh IKADIN, AAI,  IPHI, HAPI, SPI, AKHI, HKHPM pada tanggal 23 Mei 2002 dinyatakan mempunyai kekuatan hukum secara mutatis mutandis menurut undang-undang ini sampai ada ketentuan yang baru yang dibuat oleh Organisasi Advokat.
  10. Pasal 30 ayat (2) UU Advokat Bab X Organisasi Advokat berbunyi : “Setiap Advokat yang diangkat berdasarkan undang-undang ini wajib menjadi anggota Organisasi Advokat”. Yang dimaksutkan adalah Organisasi Advokat sebagai anggota ( original member ) dari KKAI adalah Ikatan Advokat Indonesia (“IKADIN”),Asosiasi Advokat Indonesia (“AAI”),Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (“IPHI”),Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia (“HAPI”),Serikat Pengacara Indonesia (“SPI”),Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (“AKHI”),Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (“HKHPM”), serta Asosiasi Pengacara Syari’ah Indonesia (“APSI”) berdasarkan perintah pembentuk UU Advokat.
  11. Mempertimbangkan dinamika perkembangan lahirnya organisasi profesi advokat baru yang tak terelakkan, maka Organisasi Profesi Advokat yang lahir setelah diundangkannya UU Advokat Nomor.18.Tahun 2003 dapat ditetapkan menjadi anggota (member) KKAI atas persetujuan KKAI.

Penutup

          Tulisan yang saya beri judul Pelurusan Sejarah Organisasi Advokat  Secara Konstitusional tersebut semata-mata didorong, oleh rasa bertanggungjawab saya, selaku salah seorang saksi  sejarah, yang terlibat langsung baik sebelum maupun sesudah lahirnya UU Advokat tahun 2003. Selain itu juga tercatat, sebagai salah satu anggota, penandatanganan selaku deklarator atas lahirnya KKAI pada tanggal 22 januari tahun 2002. Tentu saja perasaan saya selaku manusia biasa, sungguh terharu, sejak lebih kurang tahun 1995 sewaktu jumlah organisasi profesi advokat masih terdiri dari Ikatan Advokat Indonesia (“IKADIN”),Asosiasi Advokat Indonesia (“AAI”),Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (“IPHI”), Tuhan YME telah memberi berkesempatan kepada saya mengikuti dinamika, bersama-sama advokat senior lainnya dalam perjuangan meningkatkan kesetaraan antara para penegak hukum ( Hakim,Advokat,Jaksa,Polisi ) dalam catur wangsa.

          Cita-cita terbentuknya kesetaraan catur wangsa tersebut, dari awal berdasarkan pengalaman saya, secara pro aktif telah difasilitasi oleh Pemerintah, melalui Departemen Kehakiman RI. Bahkan Mahkamah Agung RI di era Prof Bagir Manan, telah menegaskan secara hukum sebagai representasi dari kemauan politik pemerintah (political wil) , setelah lahirnya UU Advokat tahun 2003 Organisasi Profesi Advokat yang dimaksut adalah KOMITE KERJA ADVOKAT INDONESIA ( disingkat KKAI ).

          Sekarang tinggal berpulang dari para Advokat itu sendiri, akan dibawa kemana arah perjuangan advokat ini. Negara dan Pemerintah dalam Perspektif Teori Trias Politika, telah melaksanakan kewenangannya secara proporsional, sehingga saat ini seorang advokat sudah diberi status hukum sebagai penegak hukum oleh undang-undang, sejajar dengan Hakim, Jaksa, Polisi. Jika para pemegang kepentingan (stake holder ) para advokat, yang telah tergabung di organisasi-organisasi profesi advokat, tidak segera menyadari kesalahannya sendiri (introspeksi) yang selama ini terjadi, maka kemungkinan besar advokat Indonesia, dalam perannya selaku penegak hukum, dalam kaitannya dengan pembentukan negara hukum, yang modern dan demokratis, sulit terwujut. Bahkan yang mungkin akan terjadi secara tragis / menyedihkan, antar advokat sendiri sulit terhindar dari prilaku saling menghancurkan (distroyer) dalam menjalankan profesinya selaku advokat. Semoga Tuhan YME menolong Advokat Indonesia, dalam kiprahnya melaksanakan tugas pengabdiannya selaku penegak hukum, dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  

Artikel Lainnya : OpiniHardi

 

 

 


 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun