"Oalah, Bu, begini-begini kami ini muslimah toat. . . . !"
"Taat. . . . . .!' sergah Hajjah Murdikin. "Jangan ikut-ikutan lawakannya Asmuni Srimulat, sudah kuno. Nanti kalian tambahi lagi kata-kata 'hil yang mustahal'?"
Yu Saripah dan Mujilah tidak menyahut. Keduanya sudah berjalan cepat-cepat menjauh, menggendong berbagai barang dagangan ke dalam kios milik Bu Hajjah.Â
Selesai bekerja dua orang buruh gendong itu kembali ke tempat semula. Duduk santai. Ngobrol lagi, main sandiwara lagi. Dan tersenyum manis bila ada pedagang atau pembeli yang membutuhkan tenaga mereka.
Tak lama keduanya ngantuk berat, saling bersandar punggung, dan tertidur pulas di atas bangku kayu itu. Kompak, mendengkur pula.
Hujan kembali menderas. Keduanya bermimpi menjadi peragawati. Berjalan lenggang-lenggok di atas catwalk. Mengenakan adi busana, tapi bahan kainnya minim. Karena kurang konsentrasi pada satu gerakan mereka justru bertabrakan. Sialnya lagi, sepatu hak tinggi mereka terasa licin. Dan kekompakan belom berakhir, pada penampilan kedua mereka terjatuh begitu saja. Gedubrak. Terkaget. Bangun-bangun sudah tergolek di lantai basah lantaran ada saluran air yang bocor. ***
Sekemirung, 13 -- 17 Mei 2020 / 20 -- 24 Ramadan `1441
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H