Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dua Orang Buruh Gendong

17 Mei 2020   23:18 Diperbarui: 17 Mei 2020   23:34 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi buruh gendong - masanton.com

Hari merata oleh hujan, basah sejak pagi. Mendung tebal. Mestinya hujan lebat saja sekalian, agar cepat selesai. Lalu matahari bersinar terik,dan kehidupan kembali normal.

Itulah harapan Yu Saripah, janda tiga anak dan seorang buruh gendong di pasar tradisional kawasan Kulon, tak jauh dari Pesisir Kidul. Pasangan Yu Saripah adalah Mujilah, seorang gadis kasep alias telat, umur makin tinggi tapi masih klontang-klantung sebelum memutuskan jadi buruh gendong di pasar yang sama.

"Hujan, Muj. Ngalamat pulang nggak bawa uang. . . . . !" ucap Yu Saripah ketika didapati Mujilah terduduk di bangku kosong gpojok pasar.

"Jangan panggil aku Muj, tapi Muji atau Jilah. Nggak enak benar panggilan Muj. Memangnya aku suka ngemuj apa?"

"Waktu kecil, suka ngemuj permen 'kan?"

"Ya. tapi bikin panggilan yang umum. Bukan waton njeplak. . .  .!" sahut Mujilah dengan setengah tersenyum.

"Ohh, kasar betul kata-katamu. Aku ini lebih tua, lebih panas jadi ibumu. Jadi jangan sembarangan ngomong, kuwalat tahu?"

"Impas, Mak. Tadi kamu panggil aku Muj. Lha gantian kusebut waton njeplak alias asal bicara, impas. Jangan marah-marah, bisa cepat tua. . . .  !"

Yu Mujilah duduk di bangku yang sama dengan Saripah, Ehh salah, terbalik namanya. Yu Saripah duduk di bangku yang sama dengan Mujilah. Yu Sar umur 50, sedangkan Muji 25 tahun. Tidak masalah beda umur yang banyak, tetapi begitu ketemu mereka selalu klop, cucok.

Jika ada  orang yang mendengar tampak mereka seperti bertengkar. Tapi tidak. Itu satu bentuk kekangenan antar mereka. Namanya juga teman seprofesi, ya sama-sama buruh gendong di pasar, maka solidaritas dan soliditas perlu dipupuk. Dua kata mentereng itu hafal belaka di bibir dua perempuan berpenampilan jadul itu.

"Masih ingat waktu ikut demo tempo hari, Yu?"

"Ya, mana? Masih ada cerita lucu yang belum kita bahas?"

"Soal si Solid, masih ingat?"

"Siapa?"

"Ahh, masa lupa. Itu lelaki berjenggot yang menawarimu jadi isteri ke lima. Mas Solid yang keren, gaya, dan tampak lebih cocok jadi karyawan kantoran. Bukan buruh. Bukankah ia koordinator wilayah dalam setiap demo buruh. . . . .  !"

"Ya, kenapa dia rupanya?"

"Setiap orasi tak pernah lepas dari kata solidaritas dan soliditas 'kan? Seharian kit menghafal dua kata itu. Canggih ya? Mentereng. Diantara yang demo hanya dia yang makmur, entah dari mana uangnya. Maka kita panggil ia Mas Solid. . . .!"

"Bukan slilit, atau silit?"

"Hussh. . . .!"

"Wah, tambah parah kelakuanmu Jilah. . . . Jilah. . . .!"

"Belum habis jengkelnya dibilang asal njeplak, sekarang tambah digebah seperti ayam dengan kata 'hussh'. Tobat, perbendaharaan katamu maju pesat. Jangan-jangan kamu salah gaul, Nak. Kembalilah ke jalan yang benar. Ingat lho, "mulutmu harimaumu". . . . "

"Apa itu artinya sama dengan slogan "mensana in corpore sano'?"

"Mirip, tapi agak berjauhan."

"Sejauh mana?"

"Sejauh mata memandang. Ya, tidak begitu. Jauhan sedikit seperti istilah mutakhir yaitu "social distancing" itu lho. Maksudnya karantina atau isolasi. Setelah kata "stay at home" kita harus "washing hands", serta ditambah dengan "physical distancing". . . . .!"

Mujilah tepuk-tepuk tangan. Wajah melebar senang. Lalu tepuk jidat sendiri. .

"Wow. . . .wow. . . .wohhh, "speaking English" nih yee? Keren, Yu. Dapat pacar bule? Heibat dong. Menyerah aku, ampun. . . . . !" ujar Mujilah dengan wajah terkejut dan terheran-heran.

Mata Mujlah bertahan melotot, bibir dilebarkan, dan suara dibuat-buat. Bersamaan dengan itu dengan sudut mata ia melihat ke arah mobil bak terbuka di seberang jalan yang mengurangi kecepatan, lalu berhenti tepat di depan pintu gerbang pasar.

Hujan tinggal gerimis. Dua orang perempuan buruh gendong itu tak perlu aba-aba, seketika bangkit dan mengejar, seperti menguber mangsa. Cepat, sigap, tidak boleh telat.

"Boleh kami bantu, Bu Hajjah? Wah, Alhamdulillah.. . . .  !" serobot Mujilah setelah dekat.

"Aku hanya perlu satu orang. Dua terlalu banyak. Bawaannya sedikit. . .," ujar Bu Hajjah Murdikin dengan suara lembut layaknya suara puteri keraton.

"Sudah nggak apa-apa, Bu Hajjah. Bayar satu saja, tapi kami kerjakan berdua. Ibu bayarnya ringan, kami pun bawanya ringan. Bulan puasa begini bekerja harus santai. Kalau kerja terlalu berat, lalu mokah alias batal, 'kan rugi. . . .!" ucap Yu Saripah dengan nada ringan, tanpa bermaksud menggurui.

"Lho, memang kalian pada berpuasa? Bukannya tidak bisa beli sarapan?" tanya Bu Hajjah dengan nada bercanda.

"Oalah, Bu, begini-begini kami ini muslimah toat. . . . !"

"Taat. . . . . .!' sergah Hajjah Murdikin. "Jangan ikut-ikutan lawakannya Asmuni Srimulat, sudah kuno. Nanti kalian tambahi lagi kata-kata 'hil yang mustahal'?"

Yu Saripah dan Mujilah tidak menyahut. Keduanya sudah berjalan cepat-cepat menjauh, menggendong berbagai barang dagangan ke dalam kios milik Bu Hajjah. 

Selesai bekerja dua orang buruh gendong itu kembali ke tempat semula. Duduk santai. Ngobrol lagi, main sandiwara lagi. Dan tersenyum manis bila ada pedagang atau pembeli yang membutuhkan tenaga mereka.

Tak lama keduanya ngantuk berat, saling bersandar punggung, dan tertidur pulas di atas bangku kayu itu. Kompak, mendengkur pula.

Hujan kembali menderas. Keduanya bermimpi menjadi peragawati. Berjalan lenggang-lenggok di atas catwalk. Mengenakan adi busana, tapi bahan kainnya minim. Karena kurang konsentrasi pada satu gerakan mereka justru bertabrakan. Sialnya lagi, sepatu hak tinggi mereka terasa licin. Dan kekompakan belom berakhir, pada penampilan kedua mereka terjatuh begitu saja. Gedubrak. Terkaget. Bangun-bangun sudah tergolek di lantai basah lantaran ada saluran air yang bocor. ***

Sekemirung, 13 -- 17 Mei 2020 / 20 -- 24 Ramadan `1441

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun