"Mirip, tapi agak berjauhan."
"Sejauh mana?"
"Sejauh mata memandang. Ya, tidak begitu. Jauhan sedikit seperti istilah mutakhir yaitu "social distancing" itu lho. Maksudnya karantina atau isolasi. Setelah kata "stay at home" kita harus "washing hands", serta ditambah dengan "physical distancing". . . . .!"
Mujilah tepuk-tepuk tangan. Wajah melebar senang. Lalu tepuk jidat sendiri. .
"Wow. . . .wow. . . .wohhh, "speaking English" nih yee? Keren, Yu. Dapat pacar bule? Heibat dong. Menyerah aku, ampun. . . . . !" ujar Mujilah dengan wajah terkejut dan terheran-heran.
Mata Mujlah bertahan melotot, bibir dilebarkan, dan suara dibuat-buat. Bersamaan dengan itu dengan sudut mata ia melihat ke arah mobil bak terbuka di seberang jalan yang mengurangi kecepatan, lalu berhenti tepat di depan pintu gerbang pasar.
Hujan tinggal gerimis. Dua orang perempuan buruh gendong itu tak perlu aba-aba, seketika bangkit dan mengejar, seperti menguber mangsa. Cepat, sigap, tidak boleh telat.
"Boleh kami bantu, Bu Hajjah? Wah, Alhamdulillah.. . . . Â !" serobot Mujilah setelah dekat.
"Aku hanya perlu satu orang. Dua terlalu banyak. Bawaannya sedikit. . .," ujar Bu Hajjah Murdikin dengan suara lembut layaknya suara puteri keraton.
"Sudah nggak apa-apa, Bu Hajjah. Bayar satu saja, tapi kami kerjakan berdua. Ibu bayarnya ringan, kami pun bawanya ringan. Bulan puasa begini bekerja harus santai. Kalau kerja terlalu berat, lalu mokah alias batal, 'kan rugi. . . .!" ucap Yu Saripah dengan nada ringan, tanpa bermaksud menggurui.
"Lho, memang kalian pada berpuasa? Bukannya tidak bisa beli sarapan?" tanya Bu Hajjah dengan nada bercanda.