Mbak Murwo tercengang pada jumlah itu. "Dua puluh orang, Bu Tin? Dua puluh orang mati?"
"Betul. Dan enam orang lain masih dirawat. . . .!" sambung Bu Tin. Baru saja ia melihat di beria tv. Â Sebelumnya ia membaca di media online berita menggemparkan itu. Dibacanya berulang-ulang, sampai hafal. Ia tidak mau salah kutip dan tidak cermat. Menurutnya, pada saat ini kalau ngomong tanpa data lebih baik diam.Â
"Lalu soal Mak Enah itu bagaimana?" Â tanya Mak Fatmah.
"Ya, terkejut sekali mengetahui anaknya mabuk miras oplosan. Semula Jajang mengaku sakit perut akibat makan batagor. Di rumah sakit baru mengaku hal yang sebenarnya. . . . !" lanjut Bu Tin sebelum pesan  pecel, rujak, juice alpokat, dan beberapa potong gorengan.
"Bu Tin yang mau traktir ya? Banyak amat pesannya?" tanya Mak Fatmah dengan keheranan.
Kang Murbani dan Wak Ja'far yang dari tadi nguping pembicaraan para ibu di dekat gerobak Mbak Murwo hanya tertawa-tawa saja. Tidak berkomentar. Sesekali menyeruput kopi, lalu menyomot gorengan, dan kembali berkonsentrasi ke papan catur. Mungkin mereka berpikir, mengurus bangsa ini rumit, para pendukung parpol oposisi yang rajin menyinyirinya pun perlu kenekatan; tapi main catur jelas lebih mengasyikkan dari apapun. Tidak rumit dan tidak perlu nekat.*** (Besambung)
Cerpen sebelumnya:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H