Di pos ronda hanya dua orang yang sejak lepas Ashar sudah saling berhadapan. Dua patarung tangguh yang selalu mempertaruhkan segenap keunggulan pikir sebelum melangkah untuk menyudahi lawan. Siapa lagi kalau bukan Kang Murbani dengan Wak Ja'far.
Papan catur sudah ada diantara keduanya. Petak-petak hitam-putih yang berisi buah catur sedikit demi sedikit ditata sesuai tempat masing-masing, menyerupai dua pasukan perang yang bersiap menempuh segala cara untuk saling mengalahkan. Â
"Bila salah satu dari kita menang tiga set terus-menerus maka permainan selesai. Bla belum diteruskan untuk mendapatkan tiga kemenangan . . . .!" ucap Wak Ja'far ketika mulai memasang buah catur.
"Apa yang kita perebutkan kali ini, Wak?" tanya Kang Murbani penasaran. Tantangan bermain dilontarkan Wak Ja'far. Mereka tidak berjudi, tetapi selalu ada tantangan memenangkan permainan catur untuk meraih sesuatu. "Apa?"
Wak Ja'far tidak menjawab. Ia berjalan ke gerobak dorong jualan Mbak Murwo untuk pesan gorengan dan dua gelas kopi hitam. "Mbak, seperti biasa ya. . .! Ini uangnya!" Wak Ja'far menyerahkan uang lima puluh ribu rupiah. Lalu Mbak Murwo menyerahkan uang kembalian, tiga puluh ribu rupiah. Dua gelas kopi delapan ribu rupiah, dua batang rokok tiga ribu rupiah, dan sembilan ribu untuk gehu, bala-bala, combro, misro dan cireng.
Kopi panas segera disajikan, dua batang rokok diserahkan, namun gorengan akan dibuat dadakan. "Gorengannya ditunggu ya, Wak?" ucap Mbak Murwo seraya mengerjakan pesanan
Wak Ja'far sudah kembali ke pos ronda dan duduk. Kang Murbani masih menunggu jawaban dari lawan mainnya itu. "Ayo kita mulai," ujar Wak Ja'far. Keduanya bersalaman, Kang Murbani mulai melangkahkan bidak putih. "Ada warga baru di ujung kompleks perumahan kita. Kudengar ia seorang janda muda yang molek. Siapa yang menang kali ini ia yang berhak mendekati lebih dahulu. Bila sudah menyerah, yang lain baru boleh menggantikan. . . . !" Â
"Hahaha. . . . Kayak anak muda saja. Bagaimana kalau justru orang lain yang mendahului?"
"Mestinya mereka ikut main catur di sini. . .!"
Wak Ja'far yang giliran tertawa. "Kalau begitu kita bikin lomba terbuka. Ada uang pendaftarannya. Â Kalau pesertanya sepuluh orang saja lumayan uang kita. . . haha. Skak. . . . !"
"Enteng. Masih ada jalan. Jangan gembira dulu. . . . .!" ucap Kang Murbani sambil menyembunyikan Rajanya. "Janda muda masih jauh. . . .!"
Mbak Murwo datang membawa gorengan. "Janda muda, Wak Ja'far? Kang Murbani? Ngomongin saya ya?"
Kang Murbani dan Wak Ja'far saling pandang. Lalu kompak tertawa. Dipandanginya perempuan gemuk pendek dan berkulit hitam itu. "Iya, Ngomongin kamu, Mbak. Kami sedang bertarung sengit untuk penentuan siapa yang pantas menjadi pacarmu. . . hehehe!"
Mbak Murwo terkekeh kegelian. "Siapa juga yang mau sama aku. Mas Amin yang jelek itu pun tidak mau. Apalagi kalian? Jangan-jangan kalian bermain catur justru untuk mencari kalah. . .!"
Kang Murbani dan Wak Ja'far tidak mendengarkan apa omongan Mbak Murwo. Permainan memasuki situasi kritis. Harus konsentrasi tinggi. Sebab jika lengah sedikit saja ada ancaman skak-mat.
*
Bu Tin berjalan ditemani Mak Fatmah menuju pos ronda. Kini keduanya punya acara  hampir rutin, yaitu botram alias makan bareng-bareng. Tempatnya di warung Mbak Murwo samping pos ronda. Sesekali Yu Lik, isterinya Lik Sumar, ikut bergabung. Cara jajan mereka jadi unik karena mengajak pada kebersamaan.
Ide awalnya Bu Tin beli rujak, sedangkan Mak Fatmah beli pecel. Mereka duduk bersisian, lalu ngobrol ramai seperti biasa. Dua piring makanan di meja. Lalu makan bareng. Sesekali Bu Tin menyomot pecel, sebaliknya Mak Fatmah mengambil rujak. Pada waktu lain giliran Mak Fatmah beli rujak, Bu Tin beli gorengan.
Sore tadi acara serupa kembali berlangsung.
"Kasihan Mak Enah, ya. Ia tidak menyangka anaknya jadi korban. . . . !" Bu Tin membuka bahan pembicaraan.
"Tabrakan? Kebakaran? Atau. . . Â .?" Mak Fatmah menduga-duga saja.
"Miras oplosan. Dua puluh tewas, dan lainnya dirawat di RSUD Cicalengka, Kabupaten Bandung, salah satunya Jajang anak Mak Enah. . . . !"
Mbak Murwo tercengang pada jumlah itu. "Dua puluh orang, Bu Tin? Dua puluh orang mati?"
"Betul. Dan enam orang lain masih dirawat. . . .!" sambung Bu Tin. Baru saja ia melihat di beria tv. Â Sebelumnya ia membaca di media online berita menggemparkan itu. Dibacanya berulang-ulang, sampai hafal. Ia tidak mau salah kutip dan tidak cermat. Menurutnya, pada saat ini kalau ngomong tanpa data lebih baik diam.Â
"Lalu soal Mak Enah itu bagaimana?" Â tanya Mak Fatmah.
"Ya, terkejut sekali mengetahui anaknya mabuk miras oplosan. Semula Jajang mengaku sakit perut akibat makan batagor. Di rumah sakit baru mengaku hal yang sebenarnya. . . . !" lanjut Bu Tin sebelum pesan  pecel, rujak, juice alpokat, dan beberapa potong gorengan.
"Bu Tin yang mau traktir ya? Banyak amat pesannya?" tanya Mak Fatmah dengan keheranan.
Kang Murbani dan Wak Ja'far yang dari tadi nguping pembicaraan para ibu di dekat gerobak Mbak Murwo hanya tertawa-tawa saja. Tidak berkomentar. Sesekali menyeruput kopi, lalu menyomot gorengan, dan kembali berkonsentrasi ke papan catur. Mungkin mereka berpikir, mengurus bangsa ini rumit, para pendukung parpol oposisi yang rajin menyinyirinya pun perlu kenekatan; tapi main catur jelas lebih mengasyikkan dari apapun. Tidak rumit dan tidak perlu nekat.*** (Besambung)
Cerpen sebelumnya:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H