Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bermain Catur, Botram, dan Rumah Sakit Jiwa (1)

9 April 2018   17:27 Diperbarui: 9 April 2018   20:19 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
buah catur dalam lukisan cat air.sumber: www.artistslink.org

Di pos ronda hanya dua orang yang sejak lepas Ashar sudah saling berhadapan. Dua patarung tangguh yang selalu mempertaruhkan segenap keunggulan pikir sebelum melangkah untuk menyudahi lawan. Siapa lagi kalau bukan Kang Murbani dengan Wak Ja'far.

Papan catur sudah ada diantara keduanya. Petak-petak hitam-putih yang berisi buah catur sedikit demi sedikit ditata sesuai tempat masing-masing, menyerupai dua pasukan perang yang bersiap menempuh segala cara untuk saling mengalahkan.  

"Bila salah satu dari kita menang tiga set terus-menerus maka permainan selesai. Bla belum diteruskan untuk mendapatkan tiga kemenangan . . . .!" ucap Wak Ja'far ketika mulai memasang buah catur.

"Apa yang kita perebutkan kali ini, Wak?" tanya Kang Murbani penasaran. Tantangan bermain dilontarkan Wak Ja'far. Mereka tidak berjudi, tetapi selalu ada tantangan memenangkan permainan catur untuk meraih sesuatu. "Apa?"

Wak Ja'far tidak menjawab. Ia berjalan ke gerobak dorong jualan Mbak Murwo untuk pesan gorengan dan dua gelas kopi hitam. "Mbak, seperti biasa ya. . .! Ini uangnya!" Wak Ja'far menyerahkan uang lima puluh ribu rupiah. Lalu Mbak Murwo menyerahkan uang kembalian, tiga puluh ribu rupiah. Dua gelas kopi delapan ribu rupiah, dua batang rokok tiga ribu rupiah, dan sembilan ribu untuk gehu, bala-bala, combro, misro dan cireng.

Kopi panas segera disajikan, dua batang rokok diserahkan, namun gorengan akan dibuat dadakan. "Gorengannya ditunggu ya, Wak?" ucap Mbak Murwo seraya mengerjakan pesanan

Wak Ja'far sudah kembali ke pos ronda dan duduk. Kang Murbani masih menunggu jawaban dari lawan mainnya itu. "Ayo kita mulai," ujar Wak Ja'far. Keduanya bersalaman, Kang Murbani mulai melangkahkan bidak putih. "Ada warga baru di ujung kompleks perumahan kita. Kudengar ia seorang janda muda yang molek. Siapa yang menang kali ini ia yang berhak mendekati lebih dahulu. Bila sudah menyerah, yang lain baru boleh menggantikan. . . . !"  

"Hahaha. . . . Kayak anak muda saja. Bagaimana kalau justru orang lain yang mendahului?"

"Mestinya mereka ikut main catur di sini. . .!"

Wak Ja'far yang giliran tertawa. "Kalau begitu kita bikin lomba terbuka. Ada uang pendaftarannya.  Kalau pesertanya sepuluh orang saja lumayan uang kita. . . haha. Skak. . . . !"

"Enteng. Masih ada jalan. Jangan gembira dulu. . . . .!" ucap Kang Murbani sambil menyembunyikan Rajanya. "Janda muda masih jauh. . . .!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun