Berita tentang kematian pada pengunjung restoran Daun Bambu dua hari setelah kebakaran masih menghiasai layar kaca dan banyak media lain. Dari tujuh belas korban tewas di tempat, beberapa jenazah sukar dikenali karena sudah menjadi arang. Selebihnya menemui ajal karena karacunan asap, ada yang jatuh dari tingkat tiga restoran dalam usahanya menyelamatkan diri. Ada juga yang karena serangan jantung saat ledakan dan kemudian diikuti kebakaran besar.
Rumah sakit Pemerintah sangat sibuk untuk melakukan otopsi para korban. Pihak kepolisian terpaksa harus menggunakan cara lain unuk mengenai siapa korban sebenarnya, diantaranya dengan tes DNA.
Arjo merasa sangat terlibat dengan peristiwa kebakaran itu. Pertama karena salah satu korbannya orangtua Wasi yang sebelum meninggal menawarinya pekerjaan menjanjikan. Kedua, karena ia telah menerima uang muka untuk pekerjaan yang justru akan menguntungkan pihak yang berlawanan, yaitu mantan suami Wasi sekaligus mantan memantu Haji Lolong.
Tekait jumlah korban, Arjo merasa sangat prihatin karena dalam satu keluarga ada yang tewas hingga tiga orang. Beberapa diantara mereka tinggal di dalam kota, selebihnya tinggal di luar kota. Mereka hanya melintas dan tertarik untuk mencicipi masakan di rumah makan Daun Bambu. Namun niat itu ternyata mengantarkannya pada kematian.
Aneka cerita itu tertulis lengkap di media cetak nasional, juga menjadi topik bahasan media elektronik, radio dan televisi, serta media online. Arjo mengkliping beberapa cerita dan ulasan yang dimuat media cetak. Ada rasa penasaran di dalam benaknya untuk mengetahui berbagai kemungkinan hingga rumah makan yang letaknya strategis, bangunannya megah, dan sangat laris itu harus berakhir dengan tragis.
Hari itu ketika berjalan dari kamar kontrakannya, Arjo ketemu Tante Martje si pemilik rumah kost. Sepagi itu dandanannya sudah rapi, ditambah dengan senyum cerah.
“Maaf Tante, baru ketemu sekarang. . . . .!” ujar Arjo mendahului, sambil memperlambat langkah. Lalu singgah di ruangan utama yang dihuni Tante Martje dengan suaminya Bang Robby itu. “Mau bayar utang nih. . . . .!”
“Wah lagi banyak uang nih. Pegang proyek gede ya?” Tante Martje mendekat.
“Utang! Biasa, gali lubang tutup lubang, seperi lagunya Bang Haji Oma Irama. Saya mau melunasi utang, sekaligus bayar untuk satu bulan mendatang. Supaya tidak menjadi beban pikiran lagi. . . .!” ucap Arjo seraya mengeluarkan uang dari saku kemejanya. Jumlahnya sudah dipersiapkan pas, lalu diangsurkan ke tangan perempuan gendut itu.
“Terimakasih. Tante dengar dari cerita orang kampung, kamu ada di restoran yang terbakar itu ya?” tanya Tante Martje.
Arjo hanya tertawa, tidak mengangguk atau menggeleng.
“Beruntung kamu selamat, kabar dari televisi menyebutkan ada belasan orang tewas, belum lagi yang luka-luka. . . . .! Bagaimana awal-mula kebakaran itu?”
“Ceritanya panjang. Saya di sana dengan Haji Lolong. Meski saya berhasil menyelamatkannya, ia ikut jadi korban. Salam dari Bang Robby belum sempat saya sampaikan langsung kepadanya. Ia pingsan ketika terjadi ledakan pertama yang diikuti kebakaran hebat. Ia menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit. . . .!!” kata Arjo begitu saja, lalu melangkahkan kaki untuk meneruskan rencananya hari ini.
Ia akan ke rumah sakit lagi untuk mengorek beberapa keterangan dari para korban. Mungkin saja ada benang merah yang dapat dirangkainya tentang kemungkinan adanya sabotese, atau bahkan kemungkinan ada kaitan dengan urusan tertentu. Namun ia berpikir waktunya akan sangat mepet. Siang hari Arjo punya jadwal menjadi narasumber acara Bincang Jelata yang dipandu oleh Wasi. Materi tentang bahaya kebakaran dan upaya untuk menyelematkan diri dari bencana itu diusulkan Wasi karena pengalaman yang dialaminya sendiri.
Selain Arjo sebagai pengunjung restoran, dihadirkan pula Darwi Munar seorang juru masak senior restoran Daun Bambu, dan seorang tenaga pemadam kebakaran perempuan yang ikut mati-matian berjuang memadamkan api. Seperti biasa Wasistra Anggraini didampingi presenter kedua Madewi Sekartaji yang berupaya menggali berbagai persoalan di seputar penyebab kebakaran dan upaya pemadaman maupun penyelamatan korban.
“Kami bekerja sangat baik, melayani pengunjung dengan sepenuh hati. Sekitar dua puluh lima pekerja keseluruhan di rumah makan itu. Jadi alangkah mnyakitkan adanya tubuhan seolah-oleh pemilik rumah makan memang sengaja melakukan pembakaran karena tujuan tertentu.. . . .!” ujar Darwi dengan sangat emosional ketika ditanyakan sinyalemen adanya sabotase.
Wasi dan beberapa orang lain di situ hanya mengangguk-angguk. Memang tidak mudah membuktikan adanya hal yang mencurigakan, kecuali bila ada bukti-bukti yang menguatkan.
Selanjutnya Darwi Munar menambahkan: “Pemilik resoran, Pak Wirman Wiyono, bukan pengusaha yang berkategori suka menghalalkan segala cara. Ia merintis beberapa usahanya dengan ketekunan dan keuletan yang luar biasa besar. Dan hal itu ditularkan kepada semua karyawannya. Sehingga kami pun memiliki semangat bekerja dan produktivitas yang tinggi sesuai dengan penngkatan pendapatan yang kami peroleh. . . . ! Tapi entah kalau ada pihak lain yang hendak bermain curang dengan memanfaatkan situasi yang ada. . . . .!”
“Karenanya banyaknya korban tewas, tak urung pemilik restoran pun harus berurusan dengan polisi ya. . . .?” tanya Madewi untuk sekadar merespon pernyataan Darwi. “Nah, sekarang pertanyaan kami tujuan kepada Pak Arjo, salah seorang pengunjung dan bahkan sempat menyelamatkan seorang pengunjung lain. . . . . !”
“Silahkan, Bang, diceritakan hal-hal yang mungkin belum diungkapkan kepada media?” tambah Wasi seperti mengingatkan agar Arjo tidak mengulang hal-hal yang sudah disampaikan ke media.
“Membantu penyelamatan tentu sebuah tindakan mulia. Namun dalam situasi panik, kacau, dan begitu gawat seperti saat itu, tidak ada pilihan lain kecuali mengutamakan menyelamatkan diri sendiri. Ledakan dari gas, dan kebakaran yang cepat ke berbagai arah, menjadikan tiap orang tidak mampu berpikir jernih. Intinya tidak banyak yang dapat saya lakukan untuk ikut membantu penyelamatan. Hanya seorang kawan yang sempat saya bawa keluar dari arena kebakaran. Itupun kemudian nyawanya tidak tertolong. . . . . .!” ucap Arjo dengan lancar.
“Lalu sisi edukasi apa yang dapat dipetik dari peristiwa itu?” desak Wasi.
“Pengamanan tabung gas harus lebih diperhatikan. Selain itu interior ruangan dan perabotan lain mestinya bukan dari bahan yang mudah terbakar. Dan yang sangat penting, peralatan pemadaman sendiri haruslah lebih baik lagi dipersiapkan!” tambah Arjo. “Degngan itu minimal kebakaran tidak cepat membesar yang menyebabkan jatuh korban lebih banyak. . . . . .!”
“Saya setuju pendapat Bang Arjo. . . . . . . . .!” kata Lulita, seorang petugas pemadam kebakaran wanita, yang dengan gagah berani melakukan tugasnya. “Sejak lama ada pelatihan pemadaman bila kondisi darurat. Dan untuk institusi besar, termasuk usaha besar seperti rumah makan yang rawan kebakaran, mestinya sudah melakukannya. Mereka hanya perlu tahu hal-hal mendasar yang harus dilakukan pada saat awal api mulai berkobar: menggunakan alat pemadam sendiri, memperingatkan dan membantu orang lain untuk menyelamatkan diri, dan menghubungi petugas pemadam kebakaran. . . . . .!”
Dari rangkuman pembicaraan ketiga narasumber, pihak stasiun TV Nayaka kemudian menayangkan hasil liputan kebakaran, lengkap dengan beberapa hal pokok yang menjadi bahan pembicaraan dalam topik kebakaran siang itu. Teknisnya gambar telah disusun lebih dahulu berdasarkan skala prioritas, naskah narasi dibuat kemudian disesuaikan dengan poin-poin penting yang dikemukakan ketiga narasumber. Hasilnya hampir menyerupai rangkuman keseluruhan materi bincang-bincang, seperti dikehendaki produser.
Meskipun topiknya kurang menukik pada persoalan rakyat jelata, Produser Acara Mas Dayu menyatakan cukup puas dengan pilihan materi siang itu. Tak kalah senang Arjo yang hari itu mendapatkan honorarium sebagai narasumber. Dia membayangkan dengan uang yang didapat ia mampu membayar uang kontrakan. Namun ternyata honorarium yang diterima tidak cukup besar dibandingkan kebutuhannya. Begitupun lumayanlah, Arjo tersenyum ketika menandatangani kuitasi pembayaran. Wajahnya sumringah!
“Dari sini terus mau kemana, Bang?” tanya Wasi ketika berpapasan di pintu gerbang keluar stasiun. Arjo berjalan kaki, sedangkan Wasi di belakang kemudi mobilnya.
“Mau ke pangkalan ojek. Sudah beberapa hari ini saya tidak menyambangi teman-teman di sana. Aku tidak mau mereka memecat keanggotaanku di sana. Kenapa?” tanya Arjo sambil berjalan menepi.
“Kita makan di kafe langgananku dulu yuk?” ajak Wasi tanpa basa-basi. Ia sudah begitu yakin Arjo tidak akan menolak.
“Nggak salah nih? Pastilah ada lelaki lain yang lebih layak diajak makan di kafe. Arjo hanya seorang lelaki tua tukang ojek sepeda onthel. . . . .!”
“Jadi menolak nih?” ancam Wasi pura-pura marah.
“Bukan. Tapi berpikirlah dua-tiga kali dulu sebelum kamu bersungguh-sungguh mengajakku1”
Wasi tertawa ngakak. “Kayak dialog dalam drama komedi saja kalau diteruskan omong-omongan ini. Ayo naik ke mobil, Bang. . . . . . .!”
Arjo menuruti kemauan Wasi. Membuka pintu sedan itu, dan duduk manis di dalamnya. Ia teringat sebuah drama dengan lakon lelaki tua yang dipaksa menjadi bapak dari seorang perempuan muda cantik namun miskin. Perempuan itu terpaksa mencari bapak lain agar calon suaminya mau segera melamarnya. Sementara bapaknya sendiri yang juga kaya raya tidak merestui pernikahan putrinya, karena si calon menantu saingan bisnis yang selalu bermain curang. Pada saat acara pernikahan si bapak mempelai perempuan datang dan memaksa anaknya membatalkan pernikahan. Terjadi pertengkaran dan kekacauan sampai kemudian terjadi kompromi.. . . . perempuan muda menyerah, meski harus menikahi si lelaki tua agar semua warisan bapaknya kelak dapat dimilikinya!
Arjo tersenyum, kali ini tak mampu disembunyikannya dari pandangan Wasi. Sedan itu meluncur ke jalanan kota, pelan lalu lambat-laun melaju. Arjo memmbayangkan kalau saja ia yang membawa sedan mewah itu berapa banyak perempuan yang mau antri menunggu ajakannya untuk berkencan. Tapi yah, bukankah ia sekedar tukang ojek yang melarat dan memprihatinkan?
“Abang berpikir kotor ya?” tanya Wasi penasaran.
“Bukan. Cuma geli saja. Ini mirip cerita sebuah drama, lain kali saya ceritakan. . . . . !”
“Apakah semua cerita nyata selalu ada dalam kisah-kisah drama?” tanya Wasi dengan jengkel.
“Tenu saja. Sebab cerita drama memang dibuat dari kisah nyata. Dari imajinasi yang berdasarkan kisah nyata. Bahkan dari pikiran orang-orang prnulis drama yang tak mungkin lepas dari kisah nyata. . . . .!”
“Bohong!”
“Terserah, Neng, saja. Bohong atau bukan itu sering dipisahkan oleh pembatas yang sangat tipis. Pembatas itu namanya kepercayaan. Tidak perlu pembuktian, dan tidak perlu kebenaran, kalau seseorang tidak percaya pada orang lain maka apapun yang dilakukan orang lain itu hanya bermakna bohong. . . . .!”
“Apakah itu juga ada cerita dramanya?”
“Naskahnya belum ditulis. Tapi kalau Neng mau memerankannya, akan saya tuliskan dramanya. Tapi tentu Neng yang harus menyadiakan anggaran untuk biaya produksinya. . . .!”
“Bisa dibisniskan?”
“Kenapa tidak?”
Lalu-lintas macet Sam Ratulangi, lalu bebelok ke arah Jalan Paprika. Tinggal dekat lagi sebenarnya. Sederetan rumah-rumah tua di jalan ini diubah pemiliknya menjadi kafe-kafe dengan aneka nama yang nasionalistik. Sebut saja Kafe Naknan (kependekan dari kata Enak Tenan, Jawa), Niki Eco Sedoyo (Ini enak semua, Jawa), Jangbahugel (Jangan Berhubungan Gelap, Minahasa), Jangkaimah (untuk yang di rumah, Sunda), dan banyak lagi. Nama-nama itu sesuai dengan menu makanannya yang sangat kampung, namun khas daerah. Namun zemua makanan dan minuman divariasikan dengan nama, penyajian, bahan-bahan, serta terutama penampilan yang wah ala anak muda yang tak pernah kehabisan gaya.
Wasi melewati semua kafe itu. Ada satu lagi yang berbeda. Di kafe yang dituju suasananya lebih sederhana dan untuk semua usia. Live musik parkusi, halaman rindang di bawah keteduhan beberapa pohon sawo kecik dan kelengkeng, serta tata ruang yang mencangkok gaya tahun 1970-an seketika memantapkan perasaan Arjo bahwa Wasi telah sangat tepat memilihkan untuk dirinya. Perasaan si tua yang kembali muda oleh kenangan yang mulai kabur.
Wasi dan Arjo duduk di kursi pada meja tengah. Meja besar itu dikelilingi sepuluh kursi, mereka berhadapan di sudut meja. Seperti dua oarng kekasih, bukan. Seperti ayah dan anak, juga bukan. Mungkin lebih tepat serupa kakek dan seorang cucu perempuan, mungkin. Arjo menduga-duga apakah Wasi juga sedang sibuk memikirkan bagaimana mestinya hubungan mereka disebut.
Dua orang pramusaji lelaki-perempuan datang dengan membawa daftar menu.
“Jangan berkomentar apapun kalau itu hanya pujian. . . . ! Aku justru perlu kritik, dan seorang Arjo pasti tidak kekurangan bahan kalau sekadar untuk mengkritik. Tapi nanti setelah semua hidangan yang ada kita santap. Dan ada waktu beberapa menit untuk membuat semacam statement ihwal tampilan kafe dan cita-rasa masakan ala Bondan Winarno kalau mungkin. . . . .!” ucap Wasi ketika mempersilahkan Arjo duduk.
Arjo diam dan menunggu, mengamati, dan merasakan. Bahkan juga merasakan debar jantungnya manakali mendapati seulas senyum perempuan yang ada di depannya itu. Tampak begitu bersahaja, tidak ada nada manja apalagi sombong meski ia sebetulnya punya segalanya. Tentu saja kecuali rasa percaya diri karena kegagalannya dalam perkawinan dengan dua orang anak yang harus ditanggungnya.
Sambil menunggu pesanan Wasi menyempatkan diri ke toilet. Ia mengambil dari dalam tas dan memasang kerudungnya,. Kemudian menambah bedak tipis, coretan di alis dan polesan lipstik. Semua dilakukannya dengan sangat cepat, dan diakhiri dengan semprotan parfum Etienne Aigner dengan aroma khas buah lemon khusus perempuan. Lalu dirapikannya pakaiannya yang mulai kusut pada beberapa bagian.
Ketika muncul kembali di hadapan Arjo, Wasi coba mencermati apa reaksi lelaki itu atas penampilannya.
“Parfum itu membedakanmu dari banyak perempuan lain.. . . .!” gumam Arjo sambil memandang selintas. Menikmati beberapa detik aroma yang menguar hingga sudut penciuman terdalam. “Mungkin Neng pernah membauiku menggunakan parfum yang hampir sama!”
“Aku tidak yakin. Tapi mungkin saja pernah. Kalau abang senang dengan bau parfum iyu rasanya aku tidak sulit untuk mengikuti selera abang. . . .!” jawab Wasi malu untuk berbicara terus-terang.
“Adakah kenangan sesuatu dengan parfum itu?” desak Arjo.
“Mungkin saja. Berapa banyak orang yang kita kenal selama ini dengan berbagai parfum yang berbeda yang harus kita akrabi semata karena kita ada kaitan kerja, kaitan binis, atau sekadar sahabat misalnya!”
“Itu artinya, ya dan tidak, sebuah jawaban terbuka untuk ditafsir ulang. . . . . !” Arjo terkekeh sendiri. Ia ingat dengan beberapa dialog dalam drama yang menjawab sebuah pertanyaan dengan pertanyaan pula, lalu bertanya-jawab dengan diri sendiri, bahkan berdialog dengan benda mati. Makna dialog di sana tidak pernah tegas menyatakan ya atau tidak. Semua karakter, dan bahkan penonton, dibiarkan menafsir sendiri apa yang dia suka, apa yang dia mau.
“Semua hal meninggalkan kenangan tentu saja. . . . .! Bagaimana dengan abang sendiri?” ujar Wasi membalik pertanyaan setelah merasa tersudut pada pilihan jawaban yang makin sulit.
Arjo tidak menjawab sesuatu. Ia hanya menuding dua orang pramusaji yang datang dengan membawa aneka pesanan makanan ala kampung pesisir utara Jawa. Wasi dan Arjo melihat satu persatu masakan yang terhidang di meja. Ada dua belas macam. Dan sekali lagi Arso berpikir menu kali inipun cocok untuk sepuluh orang. . . . . . *** (Bersambung)
Kendal, 13 Juni 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H