“Pengamanan tabung gas harus lebih diperhatikan. Selain itu interior ruangan dan perabotan lain mestinya bukan dari bahan yang mudah terbakar. Dan yang sangat penting, peralatan pemadaman sendiri haruslah lebih baik lagi dipersiapkan!” tambah Arjo. “Degngan itu minimal kebakaran tidak cepat membesar yang menyebabkan jatuh korban lebih banyak. . . . . .!”
“Saya setuju pendapat Bang Arjo. . . . . . . . .!” kata Lulita, seorang petugas pemadam kebakaran wanita, yang dengan gagah berani melakukan tugasnya. “Sejak lama ada pelatihan pemadaman bila kondisi darurat. Dan untuk institusi besar, termasuk usaha besar seperti rumah makan yang rawan kebakaran, mestinya sudah melakukannya. Mereka hanya perlu tahu hal-hal mendasar yang harus dilakukan pada saat awal api mulai berkobar: menggunakan alat pemadam sendiri, memperingatkan dan membantu orang lain untuk menyelamatkan diri, dan menghubungi petugas pemadam kebakaran. . . . . .!”
Dari rangkuman pembicaraan ketiga narasumber, pihak stasiun TV Nayaka kemudian menayangkan hasil liputan kebakaran, lengkap dengan beberapa hal pokok yang menjadi bahan pembicaraan dalam topik kebakaran siang itu. Teknisnya gambar telah disusun lebih dahulu berdasarkan skala prioritas, naskah narasi dibuat kemudian disesuaikan dengan poin-poin penting yang dikemukakan ketiga narasumber. Hasilnya hampir menyerupai rangkuman keseluruhan materi bincang-bincang, seperti dikehendaki produser.
Meskipun topiknya kurang menukik pada persoalan rakyat jelata, Produser Acara Mas Dayu menyatakan cukup puas dengan pilihan materi siang itu. Tak kalah senang Arjo yang hari itu mendapatkan honorarium sebagai narasumber. Dia membayangkan dengan uang yang didapat ia mampu membayar uang kontrakan. Namun ternyata honorarium yang diterima tidak cukup besar dibandingkan kebutuhannya. Begitupun lumayanlah, Arjo tersenyum ketika menandatangani kuitasi pembayaran. Wajahnya sumringah!
“Dari sini terus mau kemana, Bang?” tanya Wasi ketika berpapasan di pintu gerbang keluar stasiun. Arjo berjalan kaki, sedangkan Wasi di belakang kemudi mobilnya.
“Mau ke pangkalan ojek. Sudah beberapa hari ini saya tidak menyambangi teman-teman di sana. Aku tidak mau mereka memecat keanggotaanku di sana. Kenapa?” tanya Arjo sambil berjalan menepi.
“Kita makan di kafe langgananku dulu yuk?” ajak Wasi tanpa basa-basi. Ia sudah begitu yakin Arjo tidak akan menolak.
“Nggak salah nih? Pastilah ada lelaki lain yang lebih layak diajak makan di kafe. Arjo hanya seorang lelaki tua tukang ojek sepeda onthel. . . . .!”
“Jadi menolak nih?” ancam Wasi pura-pura marah.
“Bukan. Tapi berpikirlah dua-tiga kali dulu sebelum kamu bersungguh-sungguh mengajakku1”
Wasi tertawa ngakak. “Kayak dialog dalam drama komedi saja kalau diteruskan omong-omongan ini. Ayo naik ke mobil, Bang. . . . . . .!”